Formulasi Menjaga Bahasa Lokal Cilegon Agar Tetap Lestari

Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

MELIHAT semakin banyaknya anak-anak muda generasi millenia di Kota Cilegon yang semakin tidak memahami bahasa daerah aslinya, dan yang paham pun seakan mereka malu menggunakannya dan lebih condong memakai bahasa gaul dari luar yang tersebar melalui teknologi informasi, tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Cilegon saat ini, agar bagaimana caranya bahasa daerah yang diwariskan leluhur ini tidak semakin terkikis atau bahkan hanya tinggal kenangan.

Bahasa merupakan bagian terpenting dari kebudayaan mengingat bahasa adalah alat untuk menyampaikan informasi dan menjadi identitas atau ciri khas suatu masyarakat di daerah maupun sebuah Negara. Selain itu bahasa juga merupakan alat komunikasi (budaya) yang paling sering digunakan dibanding praktek budaya lainnya.

Seperti halnya bahasa Jawa Cilegon pada masyarakat Cilegon, bahasa ini juga lazim disebut bahasa Jawa Banten atau bahasa Jaseng (Jawa Serang), karena memang bahasa Jawa dialek ini juga dituturkan di bagian Utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah Barat Kabupaten Tangerang.

Keunikan dan Sejarah Bahasa Jawa Cilegon

Selain memiliki keunikan yang menjadi ke khas-annya tersendiri, dialek bahasa Jawa Cilegon ini dianggap sebagai dialek kuno, kolaborasi dari akulturisasi bahasa Jawa Cirebon, Jawa Tengah, Jawa Timur dan kuatnya pengaruh bahasa serapan Sunda dan Melayu di wilayah sekitarnya yang menambah khasanah kekayaan bahasa ini.

Jika mengacu pada fakta sejarah, bahasa Jawa Cilegon Banten ini mulai dituturkan sejak zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Sebagaimana bahasa Betawi di Jakarta yang didominasi bahasa Melayu pasca Fatahillah seorang Panglima dari Pasai hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten), berhasil menaklukan Sunda Kelapa (Nama Jakarta waktu itu) dari armada Portugis.

Sangkan paran bahasa Jawa Cilegon sejak masa Kesultanan Banten, berasal dari laskar gabungan Kesultanan Demak (wilayahnya mencakup Jawa Tengah Jawa Timur) dan Kesultanan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Padjajaran (Banten, Sunda Kelapa/Jakarta) yang bahasa sebelumnya adalah bahasa Sunda.
Maka Bahasa Jawa Cilegon dan Banten umumnya mulai terlihat bedanya dari bahasa asalnya Demak dan Cirebon, mengingat daerah Kesultanan Banten dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda, seperti halnya bahasa Melayu yang dibawa Panglima Fatahillah di Jakarta, yang juga memiliki ke khas an tersendiri dan kini lebih dikenal dengan bahasa Betawi.

Warisan Bahasa Leluhur dan Aplikasinya

Bahasa Jawa ini di Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama inggil) dan standar. Bebasan atau bahasa halusnya sudah menjadi bahasa utama Kesultanan Banten yang menempati Keraton Surosowan dan kini masih kerap digunakan dalam obrolan dengan orang tua atau orang yang dihormati. Sedangkan yang standar adalah bahasa keseharian masyarakat Cilegon dan umumnya masyarakat di daerah-daerah Banten Lor atau Utara.

Bahasa Cilegon ini ada dua versi pelafalan, ada yang berakhiran ‘a’, juga ada yang ‘e’ atau (lebih medok) ‘eu’, seperti: ‘kula’ atau ‘kule’, ‘ora’ atau ‘ore’, ‘apa’ atau apeu’. Seperti di Kecamatan Ciwandan yang masyarakatnya lebih banyak menggunakan lafal ‘a’ dalam pengucapan kata dalam kalimat komunikasinya, berbeda dengan di Kecamatan Purwakarta yang lebih dominan dengan laval ‘e’ atau ‘eu’.

Bahasa Cilegon yang Kian Terpinggirkan

Pergeseran zaman yang membawa pengaruh teknologi khususnya informasi dan komunikasi baik secara nasional maupun global yang masuk dan semakin mudah diakses, tentu saja membawa pengaruh perubahan kebudayaan khususnya pada bahasa.

Hal ini memang terjadi juga di daerah-daerah lainnya di Banten, namun khusus di Cilegon yang terus dipadati oleh industri dan makin ramainya tempat hiburan malam, mau tidak mau mengundang migrasi penduduk dari daerah- daerah lain bahkan orang asing dari Negara lain untuk datang ke Cilegon.

Dengan demikian, interaksi sosial masyarakat di Cilegon semakin heterogen dan secara perlahan-lahan mengikis bahasa asli Cilegon kian terpinggir dan mulai jarang digunakan oleh masyarakat asli Cilegon.

Dan mirisnya, “daya tawar” berbahasa masyarakat Cilegon dalam menggunakan bahasa aslinya di daerahnya sendiri, secara garis besar bisa dikatakan kurang berdaulat bila dibandingkan dengan masyarakat di daerah-daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, apalagi masyarakat Madura yang jangankan berada di daerahnya sendiri, ketika berada di daerah lain bahkan di Negara lain pun mereka umumnya cenderung masih menggunakan bahasa daerahnya. Dan mereka begitu percaya diri dengan bahasa aslinya itu. Sedangkan masyarakat Cilegon? Silahkan nilai sendiri dengan ekspert masing-masing…

Formulasi Dalam Menjaga Kelestarian Bahasa Lokal Cilegon

“Setelah mengurai ‘benang merah yang kusut’, sudah kudune untuk segera ‘dirajut’, atau setidaknya jangan sampai ‘bertambah kusut’ dan menjadi ‘entut’ yang tinggal baunya”

Ungkapan tersebut untuk menggambarkan tiga formulasi sebagai upaya mencegah bahasa asli Cilegon tidak semakin terkisis dan dilupakan oleh masyarakat Cilegon. Tujuan tiga formulasi itu tertuju kepada; Pemerintah Kota Cilegon, Masyarakat Cilegon, Pribadi Orang Cilegon

1. Pemerintah Kota Cilegon

Sebuah fakta yang sangat menyedihkan bahwa pembelajaran bahasa apalagi sastra Jawa Cilegon di sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan, sejak Cilegon mendaulat jadi Kota 18 tahun silam, belum juga mendapatkan perhatian serius dari Pemkot Cilegon. Apalagi membuat kebijakan menjadikan bahasa Jawa Cilegon sebagi Mulok (Muatan Lokal), mengingat dulu mulok bahasa sunda diberikan dalam pendidikan dasar karena pada waktu itu Banten masih satu Provinsi dengan Jawa Barat. Dan kini 17 tahun Banten sudah menjadi Provinsi dan Cilegon sudah menjadi kota yang mandiri, tapi dalam berbahasa lokal belum kunjung diupayakan mandiri.

Tentunya orang Cilegon tidak ingin seperti suku Indian di Amerika dan suku Aborigin di Australia kini termarginalkan dan menjadi langka karena Pemerintahannya.

Konon pada tahun 2011, ada catatan; Kabid Kebudayaan yang saat itu sudah menyurati Walikota Cilegon agar menyetujui kebijakan penerapan bahasa Jawa Cilegon sebagai (pelajaran) Mulok pada sekolah dasar yang ada di Cilegon. Tapi hingga kini sudah adakah kebijakan itu?

Mulok merupakan upaya menjaga kelestarian bahasa lokal yang lebih foundamental karena ditamankan kepada anak-anak. Namun, setidaknya Walikota Cilegon juga bisa membuat kebijakan lain berupa Perwal (Peraturan Walikota) sebagaimana yang dilakukan banyak kepala daerah kepada jajarannya. Seperti Kabupaten Lebak yang bahkan wilayahnya belum dipengaruhi banyak Industri sebagaimana Cilegon, sudah memproteksi bahasa aslinya Sunda di Lebak dengan Peraturan Bupati agar tidak kikis dan tetap terjaga. Dimulai dengan mewajibkan semua pegawai di lingkungan kabupaten Lebak menggunakan bahasa Sunda pada hari tertentu.

Walaupun Perwal ini tidak menyentuh secara luas dan langsung kepada masyarakat Cilegon, tapi setidaknya para pejabat di lingkungan Pemkot Cilegon sebagai pelayan masyarakat akan memberikan support dan contoh yang bisa diikuti oleh masyarakat Cilegon untuk terus menggunakan dan tetap melestarikan bahasa Jawa Cilegon ini.

2. Masyarakat Cilegon

Kalau masyarakat di sebuah komplek perumahan tidak menggunakan bahasa Jawa Cilegon baik dalam interaksi kesehariannya maupun dalam suatu forum warga, masih merupakan suatu kewajaran mengingat latar belakangnya, dan tercatat adanya kompleks perumahan di Cilegon sejak mulai berdirinya pabrik Krakatau Steel pada kisaran tahun 60-70an.

Berbeda dengan masyarakat Cilegon yang berada di perkampungan yang notabanenya sambungan generasi dari peradaban Kesultanan Banten sejak berabad-abad silam. Tentunya bahasa Jawa Cilegon masih dominan digunakan masyarakat dalam komunikasi sehari-hari, baik yang standar maupun yang beubasan.

Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, tentu kita sering menjumpai mulai banyaknya anak-anak muda yang tidak bisa bahasa Jawa Cilegon, dan bisa pun mulai enggan dan malu menggunakannya dalam berkomunikasi.

Apalagi tidak sedikit pula para orang tua di Cilegon sekarang yang mengajari anak balitanya yang baru bisa bicara dengan bahasa Nasional. Dan bayangkan saja kedepan akan bagaimana bahasa Jawa Cilegon ini, kalau generasinya sejak dini tidak ditanamkan pelajaran bahasa daerahnya sendiri dan juga bahasa leluhurnya?

Tentunya kembali lagi pada masyarakat Cilegonnya, terus acuh terhadap keadaan yang ‘mengancam’ eksistensi bahasa (Jawa Cilegon) nya sendiri, apa kedepan akan mulai berupaya untuk menjaga kelestariannya.

3. Pribadi Orang Cilegon

Kalau saja dalam kepribadian diri setiap masing-masing orang Cilegon sudah tertanam ingin menjaga bahasa Jawa Cilegon ini, tentu saja persoalan ini sudah beres dan bisa dianggap selesai.

Namun dalam beberapa kasus, misalnya ada seorang bapak yang menyuruh anaknya menggunakan bahasa Nasional ketika bicara kepada orang tua temannya karena tidak bisa beubasan.

Bapak itu tidak bisa disalahkan memang, mungkin karena tidak ingin anaknya dan dirinya ikut malu. Tapi tentunya salah kalau setelah itu sang bapak tidak mengajari anaknya belajar beubasan, setelah sedari dini tidak mengajarkannya.
Maka, hendaknya disela kesibukan, para orang tua masih bisa mengajarkan bahasa warisan leluhur Cilegon ini kepada generasi penerusnya.

Mengacu pada hasil survay pada masyarakat Cilegon, baik secara langsung maupun di Media Sosial Facebook, masih banyak masyarakat Cilegon yang secara pribadi menjawab tidak ingin bahasa Jawa Cilegon ini tersingkirkan dari Cilegon, tetapi setelah diamati, dalam prakteknya mereka hanya aktif menggunakan bahasa Jawa Cilegon di Kampungnya saja, dan mereka cenderung kurang membawa bahasa Jawa Cilegon ketika berada di wilayah perkotaan, lebih-lebih pada responden facebook, bila dilantau dari status dan komentarnya yang lebih kerap menggunakan bahasa Nasional.

Mestinya kalau mereka benar-benar tidak ingin bahasa Jawa Cilegon ini ditinggalkan, mereka harus lebih aktif menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari termasuk ketika menulis status dan komentar di media sosial. Selain sebagai bentuk berdaulatnya masyarakat Cilegon dalam hal menjaga kelestarian (budaya) bahasa Jawa Cilegon, juga bisa sebagai bentuk ajakan pembiasaan dan pembelajaran kepada masyarakat Cilegon untuk lebih aktif menggunakan bahasa daerahnya sendiri.

**

Formulasi ini bukanlah formula primordialisme, karena penekanannya hanya pada aplikasi bahasa lokal Cilegon. Dan kalau sampai ada yang mengatakan itu, cobalah lihat realitas masyarakat Cilegon selama ini yang begitu welcome dan inhern terhadap ratusan pabrik, mau menjual tanah-tanahnya untuk dibuat perumahan-perumahan bagi kaum urban.

Semoga ketiga formulasi diatas bisa menginspirasi Pemkot Cilegon dan masyarakat Cilegon untuk terus aktif menggunakan bahasa Jawa Cilegon untuk bisa survive, atau setidaknya untuk terus menjaga kelestariannya. (*)
* Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten

Honda