Bau Busuk Pilkada Langsung

Sankyu

Oleh: Arif Supriyono

Tiba-tiba saya ingat peristiwa sepuluh tahun lalu. Saat itu, saya menjadi tim penilai pusat anugerah Citra Pelayanan Prima. Anugerah ini diberikan pada instansi pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang dianggap mampu memberikan pelayanan paling baik kepada masyarakat.

Kala itu, saya bersama beberapa anggota tim lainnya mendapat tugas untuk melakukan penilaian di wilayah Nusa Tenggara Timur. Sebagaimana biasanya, sebelum melakukan penilaian terhadap instansi/lembaga yang dijadikan unggulan oleh pemerintah daerah atau kementerian yang bersangkutan, kami memberi tahu (bisa menghadap langsung atau melalui surat) kepada pimpinan lembaga tersebut.

Sebelum melakukan penilian ke lapangan, kami sempat diundang Wakil Gubernur NTT, Esthon L Foenay. Di ruang kerja wagub NTT, kami lalu berkenalan. Wagub sempat bertanya kepada saya: asalnya dari mana? Saya pun menjawab, bahwa lahir dan besar di Jawa Timur.

Pembicaraan wagub ternyata langsung mengarah ke Pilkada Jatim yang saat itu baru saja selesai (putaran pertama) dan harus dilanjutkan ke putaran kedua. Dua calon yang maju ke putaran kedua adalah Soekarwo dan Khofifah Indar Parawansa. Wagub sempat menanyakan ke saya, akan memilih Soekarwo apa Khofifah? Saya langsung menepis pertanyaan itu dengan menjawab, bahwa saya telah ber-KTP Depok, Jawa Barat.

Foenay, yang kala itu belum lama menjabat wagub, menjelaskan kedekatannya dengan Soekarwo. Keduanya pernah bersama-sama menempuh pendidikan/kursus sebagai pimpinan daerah di Jakarta dan berada dalam satu tim. Tanpa ada yang meminta, wagub NTT menceritakan, beberapa hari sebelumnya telah menelepon Soekarwo serta menanyakan perihal pilkada di Jatim. Iseng-iseng dia juga menanyakan dana yang dikeluarkan tim Soekarwo selama pilkada Jatim putaran pertama.

Wagub NTT mengaku sangat terkejut mendengar jawaban Soekarwo. “Mas Karwo bilang, seluruhnya kira-kira menghabiskan dana sekitar Rp 1,4 triliun. Saya benar-benar kaget, kok bisa sebanyak itu,” kata wagub.

Pada kesempatan lain, dalam sebuah diskusi, pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, juga sempat mengutarakan hal ini. Dia menjelaskan, dana yang diperlukan tim Soekarwo saat Pilkada Jatim memang berada di kisaran Rp 1,4 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar untuk ukuran sepuluh tahun lalu.

Besarnya jumlah dana yang dibutuhkan oleh calon kepala daerah (termasuk gubernur) untuk maju dalam pilkada sudah bukan rahasia lagi. Nyaris semua pihak sudah mengetahui. Dana itu antara lain untuk kepentingan pelaksanaan kampanye, alat peraga, honor bagi para saksi, dan kegiatan lain yang terkait. Tentu saja ada beberapa calon yang tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu, namun jumlah kandidat seperti ini sangatlah terbatas.

Di samping itu, ada dana lain yang juga diperlukan calon kepala daerah (mungkin juga calon presiden/cawapres). Dana ini sering disebut sebagai mahar politik. Dalam istilah umum, mahar merupakan mas kawin atau harta yang diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak perempuan.

Dengan logika pemahaman seperti itu, maka mahar politik adalah pemberian sejumlah uang kepada partai politik dengan maksud agar sang calon diusung oleh partai tersebut untuk maju dalam pemilukada atau pilpres. Mahar politik ini sekaligus sebagai simbol, bahwa telah terjadi proses ‘lamaran atau pinangan’ dari sang calon kepada partai politik.

Sekda ramadhan

Selama ini, besar-kecilnya nilai mahar politik hanya berdasarkan kesepakatan saja. Tak ada aturan baku yang dijadikan ketetapan. Bahkan tak jarang, yang terjadi kemudian adalah bentuk ‘pemerasan’ oleh orang-orang partai terhadap sang calon. Karena ingin aman dan bisa mulus diusung partai itu, sangat mungkin sang calon sengaja tak menolak ‘pemerasan’ yang dilakukan oknum partai tadi.

Dalam pelaksanaannya, bukan tidak mungkin pula besarnya biaya mahar politik ini justru melebihi pengeluaran lainnya. Pemanfataan uang dari hasil mahar politik pun tak banyak yang tahu. Bahkan sering kali pengurus partai juga tak mengerti detailnya.

Menilik kondisi yang demikian, mahar politik sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan dari pelaksanaan pilkada/pilpres dalam sistem demokrasi. Pemberian mahar politik seolah-olah menjadi pesta pora demokrasi dalam arti sesungguhnya bagi tangan-tangan kotor yang bermain. Sangat ideal bila mahar politik semacam ini ditiadakan karena sesungguhnya inilah lumpur berbau menyengat yang mengotori proses demokrasi.

Namun kenyataannya, hampir mustahil menghilangkan mahar politik tersebut. Ini lantaran mahar politik juga menjadi salah satu sumber utama pendapatan partai politik. Ibaratnya, tak mungkin pula sebuah partai politik memberikan kendaraan gratis untuk dinaiki kandidat yang berasal dari luar partainya. Sayangnya, proses pengawasan terhadap transaksi dalam mahar politik ini terabaikan.

Badan Pengawas Pemilu (di pusat maupun di daerah) selama ini juga tak mampu melakukan pengawasan efektif atas terjadinya transaksi berupa mahar politik ini. Padahal, itu jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran dalam proses demokrasi. Mahar politik dengan nilai yang seakan tak bisa diukur standarnya itu adalah bentuk nyata dari anomali proses rekrutmen politik.

Incaran Bawaslu selama ini bukan ke masalah mahar politik. Kalaupun membidik pelaku politik uang, yang menjadi perhatian Bawaslu lebih banyak ke persoalan adanya serangan fajar dan serangan dhuha (pemberian uang pada calon pemilih) yang hendak menuju bilik-bilik tempat pemungutan suara, serta bagi-bagi sembako saat pelaksanaan kampanye.

Lantaran sangat sulit –dan mungkin tidak logis– jika dihapuskan, maka perlu dibuat aturan yang tegas dan standar soal mahar politik tersebut. Komisi Pemillihan Umum (KPU) sangat perlu untuk membuat ketentuan tentang mahar politik. Misalnya, bisa saja dibuat aturan seragam, bahwa besarnya mahar politik disamaratakan antara satu partai dengan partai lain. Artinya, sang calon akan memberikan sejumlah uang yang sama jumlahnya pada setiap parpol untuk secara resmi mengusungnya sebagai kandidat partai itu. Tak ada bedanya besarnya mahar antara satu parpol denngan parpol lainnya.

Akan tetapi, penyamarataan nilai mahar ini tentu akan dirasakan tidak adil oleh partai besar yang memiliki suara atau kursi DPRD/DPR lebih banyak. Untuk itu, akan lebih tepat dan adil jika nilai mahar ke partai politik ditentukan berdasarkan perolehan suara pada pemilu terakhir, misalnya per suara dikonversi dengan rupiah tertentu. Bisa juga per kursi DPR/DPRD dinilai setara dengan sekian rupiah.

Dengan begitu, maka mahar politik kita legalkan namun ada aturan tegas yang harus diikuti sehingga tak ada lagi aroma transaksional yang sering kali baunya lebih busuk dari sekadar bagi-bagi uang untuk pemilih. Aturan soal mahar ini harus disertai sanksi yang mengikat kuat bagi pelanggarnya.

Bila perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diminta untuk bisa masuk dan mengawasi proses pemberian mahar tersebut, baik untuk pilkada maupun pilpres. KPK dan Bawaslu bisa melakukan kerja sama dalam hal ini demi efektivitas pelaksanaan pengawasan di lapangan. Jangan sampai kedua lembaga ini malah saling sikut dalam proses pengawasan yang terjadi.

Penertiban soal mahar politik ini mendesak dan sangat perlu untuk dilakukan. Hal itu karena substansi demokrasi akan hilang jika politik uang yang jadi panglima. Jika partai politik menolak adanya penertiban soal mahar politik, maka sejatinya tak ada lagi makna demokrasi dalam realitas politik.

Pemerintah dan KPU harus bisa menghilangkan transaksi liar dalam pemberian mahar politik. Bila memang partai politik secara serentak menolak diadakannya penertiban dan pembatasaan dalam pemberian mahar politik, maka pilihannya ada dua: kembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau pengangkatan langsung oleh presiden. Sebenarnya, bagi saya, pilkada atau pilpres secara langsung tetap akan lebih baik (jika tak ada ekses politik uang yang masif) dibandingkan pemillihan oleh DPRD/DPR/MPR. (*/Republika)

Honda