Pasal Penjerat Pengusaha Pembakar Hutan Dihapus di RUU Cilaka

JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik hilangnya pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) di RUU Cipta Kerja (sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja). Walhi mendapati pemerintah dan tim dari pengusaha menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam pasal 88. Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Namun, dalam RUU Cilaka, isinya hanya tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.” Lalu terhadap Pasal 49 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah juga mengubah agar tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi. Awalnya bunyi pasal itu adalah “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.” Namun pada RUU Cilaka diubah menjadi “Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya.” Pada Pasal 98 ayat (1) UU PPLH, pelanggaran terkait baku mutu udara ambien, baku mutu air, dan baku mutu air laut bisa langsung diberi sanksi pidana penjara dan denda. Namun, ketentuan ayat (1) pada RUU Cilaka diubah dengan menambahkan sanksi administratif berupa denda Rp3-10 miliar. Ketentuan pidana dipecah dan dibuat ayat baru yaitu ayat (2), berlaku jika denda administratif tidak dibayar pengusaha. “Janji Jokowi untuk berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup hanya bualan. Karhutla dan kerusakan lingkungan hidup akan akan memperparah kondisi krisis apabila RUU ini dipaksa untuk disahkan,” ucap Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem Esensial Nasional Walhi Wahyu A. Perdana dalam keterangan tertulis, Jumat (14/2/2020). Wahyu juga menambahkan ada persoalan lain yang tidak kalah buruk. Ia mencontohkan ada upaya penghapusan partisipasi publik. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU PPLH, publik dapat menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTUN) yang diterbitkan oleh Pemerintah dihapus. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.” Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus.” “Ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis,” ucap Wahyu. RUU Cipta Kerja sudah diserahkan ke DPR, Rabu (12/2/2020). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim kalau RUU ini diperlukan guna menggenjot perekonomian dan “menciptakan lapangan pekerjaan.” (*/Titro)

Honda