Dari Sunan Ampel Hingga Pajak Kuncir: Kontribusi Muslim Tionghoa di Indonesia

CILEGON – Abad ke-20, Muslim Tionghoa mulai aktif kembali dalam bidang dakwah dan perjuangan mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Medan ada Haji Abdussomad Yap A Siong, muballigh dan tokoh pejuang kemerdekaan RI berdasarkan SK Menteri Urusan Veteran No. 01/A/KPTS/MUV/1968 tanggal 3 Januari 1968. Haji Abdusomad Yap A Siong, Abdul Hamid Soei Njo Sek, dan beberapa Muslim Tionghoa lainnya pada tahun 1930-an mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di Medan yang menjadi wadah dakwah dan perjuangan mendukung gerakan kemerdekaan RI.

Di Makasar Ong Kie Ho mendirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII). Pendirian PTII untuk mewadahi dakwah dan aspirasi politik Muslim Tionghoa di Makasar dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Melihat perkembangan partai Islam Tionghoa di Makasar, pemerintah Belanda takut aktivitasnya menjadi semakin radikal, maka pemimpin partai ditangkap dan dibuang ke Jawa.

Dalam masa vakum setelah pembuangan ketua PTII, komunitas Muslim Tionghoa di Makasar kemudian mendirikan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM) dan menjadi cabang dari induk organisasi Muslim Tionghoa di Medan.

Bek Go sebagai ketua PTM di Makasar masih diakui keulamaannya sebagai utusan resmi Kongres Muslimin Indonesia 1949 di Yogyakarta. Dalam kongres, gagasan dan usulan Bek Go yang jadi rekomendasi kongres sangat jauh ke depan, seperti mengusulkan ada Kementerian Agama, pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, dan pemeliharaan bahasa Indonesia secara menyeluruh dalam kegiatan resmi.

Pembauran etnis Tionghoa dengan memilih Islam akan mempercepat proses asimilasi dan akulturasi. Agama Islam dijadikan sebagai faktor kohesi (perekat) yang berfungsi sebagai peredam terhadap kejutan budaya (cultural shock), karena perbedaan kultur, strata sosial, dan ras. Prinsip-prinsip dalam agama Islam, seperti “semua umat Islam bersaudara”, tanpa memandang ras, asal usul, dan kekayaannya, akan menghilangkan rasa sungkan untuk bergaul dan bersatu dalam kesatuan jamaah atau ranah pemukiman. Keserasian sosial antara masyarakat Tionghoa dan Indonesia akan terjalin karena persaudaraan dalam iman dan Islam.

Akulturasi antara kedua kelompok masyarakat akan mudah berproses saling memberi dan menerima unsur-unsur (traits) budaya masing-masing. Apalagi kalau mereka tinggal dalam wilayah bersama, tidak dalam pemukiman segregatif, seperti kampung pecinan. Keterikatan terhadap tempat hidup bersama, baik secara fisik atau emosional, menyebabkan komunitas mempunyai kepribadian kelompok yang kuat.

Apalagi kalau masjid dan madrasah dijadikan rallying point ‘tempat bertemu dan bermufakat’, sehingga terjalin persenyawaan unsur-unsur budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam.(*)

* Alumni UIN Sunan Kalijaga, Penulis Buku ‘Muslim Tionghoa di Yogyakarta, Mantan Ketua PW PII Yogbes

 

 

Sumber: kanigoro.com

Honda