Generasi Malang di Leuwi Malang Pandeglang

Sankyu

*) Oleh: Keluarga Mahasiswa Cibaliung (Kumaung)

PENDIDIKAN adalah salah satu kebutuhan yang mesti dipenuhi dan diberikan kepada setiap anak, bukan hanya untuk mengejar cita-cita yang setinggi langit namun juga untuk bekal mereka bertarung dengan masanya kelak.

Tak muluk-muluk untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi, kita mungkin sebagian yang beruntung bisa mencicipi belajar hingga tingkat menengah, tapi sebagian dari kita masih jauh api dari panggang jika berbicara tentang pendidikan.

Tak jauh dari Ibu Kota Jakarta, salah satu kabupaten yang masih termasuk di wilayah administratif Provinsi Banten ini ternyata masih menyimpan kisah pilu pendidikan generasi penerusnya.

Boro-boro berfikir untuk sekolah yang berstandar internasional dengan ISO 9001/2000 mencari sekolah yang layak saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Ya, ini dia Leuwi Malang, salah satu kampung di Selatan Pulau Jawa ini seakan tak punya asa untuk membuat generasinya semakin baik.

Tak ada sekolah dengan kualifikasi yang mumpuni disini, yang ada hanya sekolah filial (kelas jauh) dengan kondisi bangunan fisik yang sangat tidak layak.

Pada tahun 2014 didirikan kelas jauh SDN 2 Sorongan di Kampung Leuwi Malang sebagai alternatif bagi anak untuk tetap bisa menyelesaikan pendidikan di tingkatan Sekolah Dasar.

Dengan adanya sekolah tersebut bukan berarti mereka, generasi Leuwi Malang bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas, dengan ruang kelas yang hanya terbuat dari bambu, beratap daun rumbia dan beralaskan tanah, anak-anak ini seakan dijauhkan dari gemerlap “zaman now”.

Kelas jauh tersebut berdiri dari tahun 2014, sebelumnya siswa-siswi asal Leuwi Malang ini sekolah ke Parung Kokosan di Kecamatan Cikesik atau ke Sorongan yang menjadi sekolah induknya sekarang.

Alasan didirikannya kelas jauh tersebut adalah karena aksesnya yang sangat jauh dari Leuwi Malang ke pusat Pemerintahan Kecamatan atau ke tempat yang dekat dengan jalan raya.

Bahkan sebelum tahun 2014, siswa-siswi ini harus menyebrangi sungai yang mengelilingi kampung Leuwi Malang dengan menggunakan rakit yang terbuat dari bambu, mengingat letak geografisnya seperti pulau yang di kelilingi oleh dua sungai yaitu sungai Cikalong dan Cibaliung.

Tak hanya mendapatkan rintangan sungai, setelah menyebrangi sungai dengan menggunakan rakit, siswa-siswi ini juga harus menempuh jalan terjal yang hanya bermaterialkan batu keras dan tanah.

Sama halnya dengan sungai, terdapat dua akses jalan juga untuk menuju atau keluar dari Lewi Malang yaitu Jalan Cikaroya dan Curug. Dengan kondisi yang demikan, sangat jarang sekali siswa-siswi ini menamatkan sekolahnya atau melanjutkan ke jenjang pendidikan ke tahap selanjutnya.

Sebab, jika turun hujan yang berkepanjangan maka siswa-siswi ini tidak bisa menyebrangi sungai karena air sungai yang deras, meluap atau banjir juga rakit yang biasa digunakan hanyut terbawa air, selain itu juga jalan yang dilaluinya sangatlah licin untuk dlalui bahkan tidak bisa jika menggunakan kendaraan roda dua, selama hujan turun, maka selama itu pula mereka meliburkan diri sehingga tidak tumbuh motivasi untuk tetap terus melanjutkan pendidikan.

Sekda ramadhan

Kembali ke ruang belajar yang harus digunakan para anak-anak ini untuk mengenyam ilmu, Jika turun hujan, kerap sekali aktivitas belajar terganggu karena air hujan yang menembus atap kelas membasahi para siswa-siswi yang sedang belajar.

Kurangnya buku bacaan siswa dan buku mata pelajaran, juga media pembelajaran yang lainnya. Bahkan white board saja baru ada baru-baru ini, sebelumnya menggunakan kertas yang ditempel didinding sekolah yang terbuat dari anyaman bambu.

Jumlah siswa di Kelas Jauh tersebut sebanyak 25 siswa dengan dan hanya didukung 2 ruang kelas saja, padahal siswanya terdapat siswa kelas 1 dan kelas 4.

Dalam proses belajar mengajarnya dibarengkan atau digabungkan di 2 kelas tersebut, yang membedakannya hanya mata pelajaran yang disampaikan oleh guru pengajar.

Yang lebih miris lagi adalah tenaga pengajar atau guru yang mengajarnya hanya 1, sering berganti – ganti guru pengajar karena tidak pernah ada yang bisa bertahan lama.

Sekarang ini yang mengajar di sekolah tersebut bernama Pak Lukman berusia 27 tahun asal Ciamis yang mengikuti program pemerintah untuk mengajar ditempat tertinggal dan terbelakang. Pak Lukman mengajar di sekolah tersebut baru beberapa bulan saja dari bulan Agustus 2017.

Bukan saja tentang akses, mata pencaharian para orang tua anak-anak di kampung ini seakan menali hasrat para generasi penerus ini untuk melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi.

Penduduk Kampung Leuwi Malang rata-rata mata pencahariannya adalah bertani dan memanfaatkan sungai yang mengelilingi kampung dengan menangkap ikan.

Terdapat sekitar 30 kepala keluarga di Kampung Lewi malang dengan keadaan ekonomi yang minim.

Begitu mirisnya kondisi pendidikan di Pandeglang dan Banten Selatan ini, sama sekali jauh dari jangkauan kebijakan pemerintah, karena sampai saat ini persoalan tersebut belum terselesaikan.

Padahal salah satu tujuannya negara ini merdeka juga adalah untuk mencerdasakan kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam preambul UUD 1945, hak dan kewajiban rakyat untuk mengakses pendidikan dalam UUD 1945 Pasal 31, telah diatur juga bahwa APBN dan APBD sebanyak 20% dialokasikan untuk pendidikan, namun ternyata hal itu belum dirasakan oleh siswa-siswi yang ada di Leuwi Malang.

Terlebih lagi, ketika menjelang Pemilihan Kepala Daerah baik Kabupaten Pandeglang ataupun Provinsi Banten selalu memberikan janji-janji manisnya kepada masyarakat dalam hal pendidikan, namun janji hanya sebatas janji bagi siswa-siswi di Leuwi Malang, belum bisa dirasakan bukti konkritnya.

Penulis dan mahasiswa yang turun langsung melakukan investigasi ke lokasi mengharapkan kepada Pemerintahan Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten untuk turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut. Solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah dengan memperbaiki akses di Leuwi Malang seperti perbaikan jalan dan jembatan untuk penyebrangan.

Selain itu juga berupa buku bacaan siswa, buku mata pelajaran dan media untuk menunjang aktivitas pembelajaran lainnya.

Penulis dan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Cibaliung juga mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta memberikan solusi dari persoalan yang dirasakan oleh siswa-siswi Leuwi Malang. (*)

* Penulis:
1. Dandan Hilmawan mahasiswa UNSERA.
2. Anggun mahasiswa UNTIRTA.
3. Ade Fauzi mahasiswa UIN SMH Banten.

Honda