Gunung Anak Krakatau Meletus, Akankah Peristiwa 1883 Terulang?

Sankyu

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

FAKTA BANTEN – Beberapa pekan belakangan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda terus meningkat sehingga menimbulkan letusan yang menerus. Hampir setiap harinya, Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi.

Terakhir diketahui pada Sabtu (14/7/2018) Gunung Anak Krakatau melakukan erupsi sebanyak 398 kali dengan amplitudo 24 sampai 58 mm, durasinya antara 20 sampai 279 detik. Dengan gempa tremornya terjadi terus menerus antara 2 sampai 45 mm, amplitudo dominan 20 mm. Tinggi letusan maksimum 800 meter.

Lava pijarnya bisa terlihat pada malam hari. Suara dentuman bahkan sampai terdengar di beberapa kawasan Pandeglang. Padahal jaraknya sangat jauh, karena secara teritori masuk pada wilayah Provinsi Lampung.

Dan kemarin, Minggu (15/7/2018) pukul 12.00 – 18.00 WIB, tercatat PVMBG melaporkan bahwa Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak 81 kali. Asap kawah bertekanan sedang dengan intensitas sedang berwarna hitam setinggi 500-700 meter dari puncak kawah.

Meski demikian, pihak otoritas terkait masih menyatakan letusan tersebut tidak membahayakan penerbangan, pelayaran dan wisata. Status tetap Waspada (level II).

Masyarakat dihimbau agar tidak berada di dalam radius 1 km dari puncak kawah yang berbahaya. Di luar radius 1 km kondisinya aman.

Pemantauan aktivitas gunungapi terus dilakukan dari pos pengamatan Gunungapi Krakatau PVMBG di Pasauran, Kabupaten Serang, Banten.

Namun, dengan kondisi Gunung Anak Krakatau yang demikian, banyak masyarakat yang khawatir letusan Gunung Anak Krakatau akan sedahsyat letusan Gunung Krakatau tahun 1883.

Letusan yang sangat dahsyat sehingga menyebabkan Gunung Anak Krakatau sempat hilang. Meski pada tahun 1927 muncul kembali gunung api ke permukaan laut yang kemudian dinamakan Gunung Anak Krakatau. Sejak saat itu gunung kecil ini terus meletus untuk tumbuh. Rata-rata setiap tahun bertambah tinggi 4-6 meter.

AKANKAH BENCANA KRAKATAU TERULANG?

Letusan Krakatau 1883 bermula pada tanggal 26 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan puncaknya dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera pada tanggal 27 Agustus 1883. dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya.

Sekda ramadhan

Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya.

Dampak letusan ini juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia;
terdengar hingga 3.000 mil jauhnya, menimbulkan setidaknya 36.417 korban jiwa; 20 juta ton sulfur dilepaskan ke atmosfer; menyebabkan musim dingin vulkanik (mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1.2 °C selama 5 tahun); dan merupakan salah satu letusan gunung api paling hebat dalam sejarah .

Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Konon, tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km dari Krakatau.

Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km di sebelah utara Krakatau.

Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000 jiwa.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian.

Kawasan pesisir Banten khususnya Cilegon, Serang dan Pandeglang luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km jauhnya

Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2° C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.

Tidak ada catatan sejarah yang mencatat berapa lama dampak yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau dan dampaknya seperti tsunami, longsor, wabah penyakit, ternak mati hingga gagal panen dan lain sebagainya.

Begitu juga jumlah masyarakat yang mengungsi juga tidak ada dalam catatan sejarah.
Kerugian yang ditimbulkan akibat letusan G.Krakatau sangat besar. Belanda memerlukan waktu puluhan tahun untuk kembali membangun dan memulihkan perkebunan dan pertanian di wilayah Hindia Belanda khususnya di Banten dan Lampung.

*
Apakah letusan 1883 akan terulang kembali, atau letusan-letusan yang terjadi hampir setiap hari dalam beberapa pekan terakhir dari Gunung Anak Krakatau hanya fenomena biasa. Wallahu a’lam Bishowab… (*/Ilung)

(Dikutip dari Berbagai Sumber)

Honda