ICW Nilai APBD Rentan Dipakai Incumbent dalam Pilkada di Banten

Sankyu

SERANG – Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Banten, Almas menyampaikan bahwa ada tiga pola pemanfaatan keuangan negara di daerah yang dilakukan untuk kepentingan calon kepala daerah, terutama calon incumbent.

Pertama, mempolitisir keuangan negara, seperti hibah dan bansos, meski tidak di korupsi, tapi digunakan untuk pencitraan para calon incumbent. Kedua, meminta sumbangan dari pihak ketiga, terutama dari pengusaha, dengan perjanjian pemberian proyek jika menang kontestasi. Ketiga, secara terang-terangan mengkorupsi keuangan negara, dibuktikan dengan banyaknya para calon kepala daerah yang terjerat KPK beberapa hari terakhir.

Almas pun menilai, bukan hanya pada tataran Pilkada, tapi sampai ke Pilkades pun politik uang seolah tak terhindarkan. Menurutnya, berdasarkan temuan ICW di Banten, maraknya pemberian sembako dan uang tunai saat kontestasi kepada masyarakat menjadi hal yang kerap terjadi.

Dirinya pun menjelaskan, bahwa politik uang sudah merambah bukan hanya pada kontestasi Pilkada, melainkan sudah sampai ke para calon legislatif (caleg) pun melakukan hal yang sama.

“Jika di Banten, masyarakatnya masih permisif dengan menerima uang antara 5.000 sampai 10.000, maka di daerah lain biayanya ada yang lebih mahal lagi,” ujar Almas di salah satu cafe di Kota Serang, Rabu (4/3/2018).

“Kalau dana kampanye di tingkat daerah paling enggak 50 miliar rupiah. Itu yang legal, bagaimana yang ilegal? Bagaimana mahar politik? Bagaimana dana sebelum tahap kampanye?” tegasnya.

Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Didih M. Sudih menerangkan, peran pihaknya sebagai wasit dalam penyelenggaraan Pemilu, yang diberi kewenangan menangani pelanggaran politik.

“Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh incumbent lebih kepada melakukan mutasi jabatan untuk kepentingan salah satu calon, dan hal itu bisa terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif,” ujar Didih M. Sudih.

Sekda ramadhan

Ia pun menuturkan bahwa penggunaan uang yang besar oleh para calon, dirasa bisa mempengaruhi pemenangan si calon. Dan terkait adanya persoalan bantuan sosial yang dilakukan, itu menjadi pertanyaan apakah itu menguntungkan atau merugikan.

Sementara itu, Akademisi Untirta, Leo Agustino menilai bahwa salah satu penyebab adanya penyelewengan uang negara untuk kepentingan Pilkada dikarenakan biaya kampanye yang begitu mahal.

Leo menerangkan, kalau pola korupsi sebelum era reformasi, penguasa khususnya di Jakarta lebih mengutamakan penggunaan pola strong-man atau penggunaan orang-orang kuat di daerahnya masing-masing.

“Strong man digunakan untuk mengeruk keuangan daerah. Lalu disetorkan ke pemerintahan di Jakarta. Sehingga inilah yang menjadikan politik dinasti menjadi permisif di daerah,” tutur Leo.

“Saat era reformasi, pusat tidak ada, maka tidak ada setoran lagi ke atas, maka itu menjadi pundi-pundi di daerah,” imbuhnya.

Leo pun mengungkapkan bahwa untuk memenangkan kontestasi pemilu di daerah, setidaknya para calon harus menyiapkan dana sekitar Rp. 10milyar – Rp. 50milyar. Bahkan ia menilai ada yang nominalnya lebih dari Rp. 100milyar.

Dosen ilmu politik Universitas Tirtayasa itu menilai bahwa realita politik di Indonesia masih mengenal istilah “cukong” atau petarung uang. Dimana cukong ini menginvestasikan uangnya ke salah satu calon, lalu setelah menang ada timbal balik yang diminta dari cukong tersebut mendapatkan pekerjaan untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkannya.

“Sejak tahun 2006 sampai 2007, freedom house menempatkan Indonesia kedalam negara demokrasi sebagian, demokrasi yang terbatas. Salah satu penyebabnya semakin massifnya korupsi yang terjadi di era reformasi,” tandasnya. (*/Ndol)

Honda