Ini 4 Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional di Tahun 2017

Sankyu

JAKARTA –  Presiden Joko “Jokowi” Widodo menggelar penganugerahan gelar pahlawan kepada empat tokoh, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (5/11/2017).

Ada empat tokoh yang tahun ini mendapatkan gelar pahlawan. Mereka adalah almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati dari Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan almarhum Lafran Pane dari D.I Yogyakarta.

Pemberian gelar yang diwujudkan dalam bentuk plakat itu diberikan Presiden Jokowi kepada para ahli waris.

Dilansir Antaranews, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebut pedoman pemberian gelar mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 26 tentang syarat khusus untuk gelar diberikan kepada seorang yang telah meninggal dan semasa hidupnya melakukan sejumlah hal.

Beberapa hal itu antara lain, pertama, pernah memimpin dan melaksanakan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kedua, tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Ketiga, melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.

Keempat, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. Kelima, pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat martabat bangsa.

Keenam, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi. Dan ketujuh, melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Keempat tokoh tadi mungkin asing bagi Anda. Untuk itu, berikut kami sajikan sedikit informasi tentang keempat pahlawan ini.


Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Seperti Hamka, Zainuddin Abdul Majid juga memiliki nama singkatan, yakni Hamzanwadi. Lahir di Pancor, Selong, Lombok, Timur pada 5 Agustus 1898, Hamzanwadi merupakan pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat.

Catatan silsilah hidupnya sulit terlacak. Sebab, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan biodata keluarganya hangus terbakar saat rumahnya mengalami tragedi kebakaran.

Namun, banyak yang meyakini bahwa Hamzanwadi merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.

Hamzanwadi menghabiskan waktu remajanya untuk belajar agama langsung di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi. Sepulangnya, Hamzanwadi langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, hingga akhirnya dikenal luas oleh masyarakat.

Waktu itu, dia juga dikenal dengan nama “Tuan Guru Bajang”. Pada 1934, Hamzanwadi mendirikan pesantren Al-Mujahidin untuk tempat pemuda Sasak belajar agama.

Selanjutnya, 22 Agustus 1937, Hamzanwadi mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan pertama kali menamatkan santri pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Pada zaman penjajahan, Hamzanwadi menjadikan madrasah NWDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Bersama guru-guru madrasah, Hamzanwadi juga membentuk gerakan yang diberi nama Gerakan Al Mujahidin.

Gerakan Al Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia.

Laksamana Malahayati

Dalam sejumlah riwayat sejarah, Laksamana Malahayati digambarkan sebagai panglima perang Kesultanan Aceh yang mampu menaklukkan armada angkatan laut Belanda dan bangsa Portugis pada abad ke-16 Masehi.

Beliau adalah putri Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Malahayati merupakan keturunan Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539.

Sekda ramadhan

Malahayati bertemu dengan suaminya saat mengenyam pendidikan akademi militer dan ilmu kelautan di Baital Makdis atau Pusat Pendidikan Tentara Aceh. Dalam perang melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses memukul mundur musuh, namun, pertempuran itu mengakibatkan seribu orang Aceh tewas, termasuk sang suami.

Sepeninggal suaminya, Malahayati membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan bangsa Portugis. Armada pasukannya diberi nama Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.

Pangkalannya berada di Teluk Lamreh, Krueng Raya, Aceh. Ada 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal dilengkapi dengan Meriam. Bahkan, kapal paling besarnya dilengkapi lima Meriam.

Malahayati juga membangun benteng yang dinamai Benteng Inong Balee bersama pasukannya.

Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris menempuh jalan damai saat hendak masuk ke wilayah Aceh. Surat dari Ratu Elizabeth I yang dibawa James Lancaster untuk Sultan Aceh membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.

Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, juga mencoba menggoyang kekuasaan Aceh pada 1599. Upayanya gagal. Pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh armada Inong Balee.

Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati pada 11 September 1599.

Laksamana Malahayati adalah perempuan Indonesia ke-13 yang mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Sultan Mahmud Riayat Syah

Sultan Mahmud Riayat Syah merupakan tokoh yang sangat disegani di Tanah Melayu terutama di Kepulauan Riau. Sultan Mahmud Riayat Syah adalah pemimpin Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Sultan Muhammad Syah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Mahmud Riayat Syah adalah raja kedelapan sekaligus raja terakhir dari Kesultanan Melaka. Dia terpilih menjadi raja karena menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Syah I, melangkahi saudaranya yang lebih tua, yakni Munawar Syah.

Kisah kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah yang begitu tersohor adalah perlawanannya terhadap pasukan Belanda di Tanjungpinang.

Kumparan, yang mengutip cerita Abdul Malik, Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (mengutip antropog E.Netscher, residen Belanda di Riau –1861-1870), Sultan menjadi penghalang besar bagi perdangan Belanda di Selat Malaka sehingga Kejayaan Belanda di Malaka pun runtuh.

Namun, akhir kekuasaannya berakhir setelah Portugis pada tahun 1511 mampu menaklukan Melaka. Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian memindahkan ibukotanya ke Bintan.

Tak lama setelah itu, Portugis kembali menyerang Bintan dan berhasil membumihanguskannya, Sultan Mahmud Riayat Syah lalu mengundurkan diri ke Kampar, yang akhirnya wafat pada tahun 1528.

Lafran Pane

Lafran Pane adalah adik dari Sanusi Pane, sastrawan Angkatan Pujangga Baru, dan Armijn Pane yang mashur karena novelnya “Belenggu” dan penerjemah surat-surat RA Kartini dan sahabatnya di negeri Belanda Ny Abendanon, yang kemudiandiberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Ketiga bersaudara ini adalah putra dari tokoh dan budayawan, Sutan Pangurabaan Pane.

Lafran Pane memang tidak memilih jalur sastrawan seperti dua kakaknya, pun sang ayah. Dia lebih menekuni jalur politik.

Pria kelahiran 5 Februari 1922 ini menempuh jalur pendidikan sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta. Dari kampusnya itulah, Lafren muda bersama kawan-kawannya mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

HMI pun turut dalam segala macam bentuk perjuangan untuk melawah penjajahan Belanda. Namun, gerak HMI menjadi terbatas ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. HMI, termasuk semua aksi kepemudaan dan kemahasiswaan dibungkam.

Usai masa revolusi, ketika ibukota RI kembali ke Jakarta, kepengurusan HMI diserahkan kepada kader-kader penerusnya. Sementara, Lafran Pane tetap di Yogjakarta, menekuni dunia pendidikan dengan menjadi dosen di IKIP Yogyakarta. (*/beritatagar.id)

Honda