Internet Kian Murah, Operator Berdarah-darah

CILEGON – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengungkap bahwa harga tiap kilobyte (KB) data internet yang dibeli masyarakat Indonesia makin murah. Turunnya harga data internet ini menurut Mastel terjadi terlalu cepat sehingga membuat operator berdarah-darah.

Sebagai contoh, pada 2010 menurut Ketua Umum Mastel Kristiono harga tiap KB data adalah Rp1, dalam 9 tahun harganya turun drastis menjadi Rp0,015/KB. Harga tiap Megabyte (MB) data pada 2019 juga turun minus 40 persen dibanding 2018.

“Belum lagi dibebani operator masih memberikan layanan aplikasi seperti Youtube, Iflix dsb sehingga lebih terbebani. Ini tidak wajar, ini jadi harus dibenarkan karena kalau tidak, hancur semua,” lanjutnya.

Apalagi sebagian besar konten yang dikonsumsi masyarakat bukan konten dalam negeri. Jadi, meski konektivitasnya tinggi, tetapi lalu lintas internet lari ke luar negeri.

Sebab, menurutnya situasi yang terjadi saat ini tidak adil bagi pada pemain lokal dan operator. Pemain OTT asing seperti Whatsapp, Line, dan Telegram telah menggerus layanan yang dulu dikuasai operator seperti SMS dan telepon.

Mereka mengambil alih layanan dan dibiarkan beroperasi di jaringan pemain telekomunikasi yang tiap tahun makin terseok-seok. Sebab, pendapatan mereka dari telepon dan SMS terus berkurang, sementara pendapatan dari internet tak seberapa. Untuk itu, Kristianto berharap peraturan mengenai Over The Top (OTT)dapat dikeluarkan tahun ini.

Kapitalisasi operator surut

Masalah lain menurut Kristiono adalah pertumbuhan dan kapitalisasi perusahaan telekomunikasi kalah agresif dari layanan yang menumpang di infrastruktur mereka.

Meski trafik data internet naik 131 persen dan pembangunan BTS tumbuh 17 persen, tapi pendapatan operator dari jualan data hanya tumbuh 5 pesen. Total, penurunan pendapatan operator telekomunikasi di Indonesia turun mencapai minus 6,4 persen pada 2018.

“Ini masalah karena 4 perusahaan telko ini kalah pertumbuhannya dan kapitalisasinya dengan perusahaan yang ‘menumpang’ pada [infrastruktur] telko seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak dan Tokopedia. Padahal mereka perusahaan yang sudah ada puluhan tahun,” ujar Kristiono.

Lihat juga:

Pertumbuhan Telko Indonesia Sentuh Minus Sepanjang 2018

Untuk itu, Kristianto berharap pemerintah bisa ikut campur untuk mengurangi biaya frekuensi PNBP (penerimaan bukan pajak) yang ditanggung operator.

“Semoga Departemen Keuangan ngerti juga karena telko ini infrastruktur penting dan strategis sama dengan transportasi,” imbuh Kristiono.

Selain itu, dia juga menganggap pemerintah perlu menentukan tarif atas dan bawah. Kebijakan ini diperlukan untuk menjaga persaingan operator agar lebih sehat. (*/CNN Indonesia)

Honda