Manajemen: Terjadinya PHK Massal PT Indoferro Karena Kebijakan Pemerintah

CILEGON – Kebijakan PHK massal oleh PT Indoferro terhadap ribuan karyawannya diakui manajemen akibat dari kebijakan pemerintah pusat yang kembali membuka keran ekspor bijih bauksit dan nikel kadar rendah.

Kondisi ini diakui membuat harga nikel di pasar global jatuh, sehingga pabrik smelter PT Indoferro yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel, tidak mampu melanjutkan produksinya.

Direktur Pengembangan Bisnis Indoferro, Jonatan Handojo, menjelaskan, gara-gara pemerintah membuka kembali ekspor, harga nikel turun sampai di bawah US$ 11.000/ton.

Padahal, biaya produksi di smelter saja sudah US$ 9.000/ton. Ditambah biaya-biaya lain seperti bunga bank, depresiasi, dan lain-lain maka pengusaha smelter tekor kalau harga nikel di bawah US$ 11.000/ton. “Kalau harga nikel normal US$ 11.000-12.000/ton, kita masih bisa hidup. Kalau sudah sampai US$ 9.000/ton mati. Kita punya ongkos produksi sudah lebih dari US$ 9.000/ton. Belum bayar bunga bank, pinjaman pokok, perhitungan depresiasi. Enggak mungkin,” jelas Jonatan seperti dikutip detik finance, Jumat (21/7/2017).

Kartini dprd serang

Indoferro diakuinya mengikuti kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi dengan melarang ekspor mineral mentah mulai 11 Januari 2014. Namun pihaknya kecewa, karena ternyata pemerintah tidak konsisten. Akibatnya harga nikel anjlok, tak menguntungkan lagi buat pengusaha smelter.

“Hancurnya (Indoferro) karena pemerintah membuka ekspor bijih nikel lagi. Kalau itu tidak dibuka pemerintah, harga masih stabil, kita masih untung,” Jonatan mengungkapkan.

Selama ekspor bijih nikel masih dibuka, kata Jonatan, harga akan tetap rendah dan tak ekonomis bagi industri pemurnian nikel di dalam negeri.

“Beberapa pengamat lembaga keuangan maupun perbankan menyebutkan bahwa selama bijih nikel masih keluar dari Indonesia, harga enggak bisa naik,” tutupnya. (*)

Polda