Masih Berdaulatkah Kita Atas Diri Kita dan Bangsa Ini?

Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

DI ZAMAN NOW ini sepertinya tidak sedikit orang yang tak lagi peduli soal kedaulatan akan diri sendiri terlebih pada bangsanya. Terlebih untuk sekadar sibuk memikirkan pentingnya kedaulatan dalam kehidupan diri pribadi dan bernegara.

Kata kedaulatan asalnya dari kata daulat yang artinya kekuasaan atau pemerintahan. Berdaulat berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Dengan demikian negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte dan mengontrol negara tersebut.

Seperti di dalam suatu rumah tangga, seluruh anggota keluarga mempunyai kebebasan untuk mengatur rumah tangga tersebut, baik bentuk rumah, tata ruangnya maupun pernik-pernik yang akan dipasang dalam rumah tersebut. Semua itu dilakukan untuk kesejahteraan dan kenyamanan seluruh penghuni rumah. Demikian pula negara yang berdaulat mempunyai kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Lalu, bagaimana dengan negara kita?

Menurut Jean Bodin, kedaulatan mempunyai empat sifat sebagai berikut;
– Permanen, yaitu kedaulatan itu tetap ada selama negara itu berdiri.
– Asli, yaitu kedaulatan itu tidak berasal dari kekuasaan lain.
– Bulat, artinya kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara.
– Tidak terbatas, yaitu kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, sebab apabila kedaulatan itu terbatas maka kekuasaan tertinggi akan lenyap.

Namun sepertinya hal diatas hanya tinggal teori saja Dan bila melihat realitas yang terjadi. Cobalah tanyakan pada kita sendiri: “Mau milih pakai celana tapi tidak makan atau kalau pengen makan tapi tidak pakai celana?” Mungkin saat ini kebanyakan orang lebih memilih bisa makan meski harus tidak pakai celana. Namun sayang di negara ini sepertinya belum ada lembaga apapun yang melakukan survay tentang itu.

Belum lagi soal kedaulatan atas tanah kelahiran kita Indonesia tercinta, dimana sebagai khalifah fil ardlh kita berkwajiban menjaga dan mengelolanya hingga anak cucu bukan untuk dijual-jual diberikan kepada orang asing.

Lihatlah fakta saat ini, kepemilikan modal, atas tanah, serta aset-aset seperti mall-mall, perumahan, perusahaan-perusahaan, pabrik serta pendayagunaan sumber daya lainnya. Tapi sepertinya kita masih cuek-cuek saja atau sengaja disibukkan oleh suatu hal yang jauh tak penting dari urisan kedaulatan. Mungkin di negara kita bukan hanya harta bendanya yang terus diambil. Namun juga harga diri, martabat, kedaulatan sebagai modal dasar perlawanan atas itu semua sepertinya juga sudah dikoyak-koyak.

Padahal substansinya, kedaulatan menyangkut harga diri, martabat dan kehormatan yang secara nilai tak bisa diukur oleh sebanyak apapun materi.
Dan sudah berabad-abad silam leluhur kita megajarkan pentingnya menjaga kedaulatan diatas nyawa dan harta benda. Ini adalah ilmu ‘sangkan paran ing urip’ yang mesti dimiliki setiap orang.

Masih ingatkah kita sejarah perjuangan para pahlawan kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia? Pada masa itu bangsa kita mengalami suasana penjajahan di bawah imperialisme Belanda dan Jepang. Karakteristik penjajah adalah selalu membatasi ruang gerak dan mengeksploitasi seluruh hasil alam tanah air ibu pertiwi.

Sebagai orang yang lahir di Banten, saya pribadi tidak kecewa dan menyesali tidak runtuhnya bangunan keraton Kesultanan Banten sebagaimana keraton kerajaan atau kesultanan lain di Indonesia-untuk menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya, karena leluhur pemerintah Banten dulu mengajarkan saya bagaimana mempertahankan kedaulatan atas tanah air dan Agama, dengan mengorbankan harta benda dan nyawa sekalipun. Leluhur saya memberi pelajaran penting bagi anak cucunya untuk memperjuangkan kedaulatan, harga diri, martabat dan kehormatan

Sekitar 2-3 abad sebelumnya, kita semua perlu belajar pada sikap berdaulat Kertanegara Raja Singosari. Serbuan Yuan-Mongol ke Jawa adalah invasi Kekaisaran Tiongkok-Mongol di bawah Dinasti Yuan ke tanah Jawadwipa (pulau Jawa sekarang).
Pada tahun 1293, Kubilai, Hilagu Khan, Khan Agung Kekaisaran Mongol dan pendiri Dinasti Yuan, mengirim invasi besar ke pulau Jawa dengan 20,000 sampai 30,000 tentara. Ini adalah ekspedisi untuk menghukum Raja Kertanegara yang menolak membayar upeti dan tunduk pada Tiongkok, bahkan karena tersinggung kedaulatannya diusik, Kertanegata melukai utusan Mongol tersebut.

Dan dalam konteks kekinian, kedatangan invasi yang lebih halus namun serakah dan hendak menguasai apapun di negara ini, harus bisa belajar pada peristiwa besar itu. Karena mesti diketahui hanya dengan tentara hanya 10.000 mampu mengalahkan kekuatan besar dari Utara itu. Jawa adalah tanah wingit yang tak bisa diprediksi oleh akal sehat manusia.

Lihatlah perumahan-perumahan, toko, mall, supermarket, serta pusat-pusat putaran keuangan di negara kita, apakah itu milik kita. Bukannya kita saat ini hanya bagian dari “pengemis” terhadap kepemilikannya? Kita dipaksa minta pekerjaan, orang-orang desa seolah diundang datang untuk jadi jongos di perkotaan dengan menjadi assisten, satpam, cleaning servise. Bahkan yang mengaku tokoh lokal pun selalu ‘memando’ kepihak perusahaan-perusahaan untuk dapat jatah pekerjaan, proyek, jatah ini itu baik dengan proposal, audiensi hingga demonstrasi.

Maka, masih berdaulatkah kita atas diri kita dan bangsa ini?
Inilah kupersembahkan Mantra dari guru bangsa Emha Ainun Nadjib, yang dipentaskan bersama Joko Kamto dan seniman-seniman lainnya di Jogjakarta (26/3/2018)- Mantra #2019 untuk kedaulatan para generasi bangsa ini:

” Ini mesu diri
Bukan mengurusi kursi
Ini lelaku sejati
Menyelam hingga ke lubuk Sang Diri.

Ini perjalanan nyawiji
Memerdekakan diri
Dari dunia dan ambisi
Kumasuki gerbang telinga Dewa Ruciku sendiri

Pancer dumunung ana aku
Gatiku pikir gatiku raga gatiku rasa
Sadulurku papat kalima pancer
Kang lungguh ana tengahing jagat
Aku pancer dadi ratuning jagat

Papat-papating atunggil
Tunggalku mapat
Papatku manunggal
Jagatku njalma kiblat
Kiblatku njalma jagat

Wahai kalian yang berhamburan di sana
Yang berputar-putar kebingungan
Yang terjebak oleh angin seribu penjuru
Yang tengah buta terhadap kasunyatan
Karena terbentur dinding fatamorgana

Wahai kalian yang terjerembab di lembah-lembah
Yang mempertengkarkan kerendahan
Yang melompati waktu
Karena tidak sabar terhadap ketinggian
Dan tidak bertapa di gua kemuliaan

Tutuplah mulut kalian
Gembok rapat-rapat kedua bibir kalian
Bukalah gerbang jiwa
Bertapalah di sukma
Sumèlèh rebah di telapak tangan Sang Maha Titah

Kalian adalah Bima
Yang disorong merenangi samudera
Belajarlah tetap bernapas
Di sela-sela lalulintas antara air dengan udara
Mulutmu jangan ternganga karena alpa
Hingga dimasuki oleh buih-buih tipudaya dunia

Bertapalah dalam gerak
Bergeraklah dalam tapa
Matahari di depanmu hanya sedepa
Tempuhlah dengan kesabaran dan puasa
Takkan tersentuh oleh tanganmu yang fana
Karena ia akan datang menyapa

Ketika jiwamu baka
Madhep mantep sumeleh teteg
Sidik amanah tabligh fathonah
Berhentilah gugup oleh bayangan-bayangan fana
Merdekakan diri dari kerumunan prasangka
Menep bersila di gua baka”. (*)

 

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Honda