Masyarakat Cilegon Harus Berdaulat Pangan, dengan Tidak Menjual Lahan Pertanian

FAKTA BANTEN – Ada istilah bagi orang Indonesia “Kalau belum makan nasi seperti belum makan”, sebuah ungkapan yang bermakna selain nasi merupakan makanan pokok kita, perut kita juga seolah sudah cocok dengan nasi. Sehingga ketika makan makanan selain nasi, seperti roti, mie atau lainnya kita merasa seolah-olah belum makan.

Nasi yang merupakan komoditas utama penduduk sudah seharusnya terus dijaga dan terus dikembangkan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun, yang terjadi di Kota Cilegon malah justru sebaliknya dengan terus berkurangnya lahan pertanian di kota tersebut.

Fakta akan nasib petani di Kota Cilegon yang kian termarginalkan oleh pesatnya arus pembangunan. Hal itu terjadi, lantaran lahan untuk bercocok tanam di Kota Cilegon terus mengalami penyusutan setiap tahunnya.

Dari data dua tahun terakhir yang diperoleh dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Cilegon, lahan pertanian sawah di Kota Cilegon pada 2016 seluas 1.611 hektar, namun pada 2017 lahan pertanian sawah tersisa 1.595 hektar. Sementara, lahan pertanian non sawah juga mengalami penyusutan yang signifikan. Lahan Pertanian non sawah pada 2016 seluas 7.624 hektar, dan pada 2017 tinggal tersisa 7.310 hektar.

Diketahui, penyusutan lahan pertanian diakibatkan oleh banyak hal, seperti beralih fungsinya dari persawahan menjadi pemukiman dan indsutri.
Dengan lahan pertanian yang tersisa saat ini, sudah selayaknya untuk dipertahankan agar tidak terus berkurang, dan terus mengembangkan pertanian di Kota Cilegon sebagai profesi usaha, karena dahulu merupakan mata pencaharian utama masyarakat Cilegon.

Kartini dprd serang

Menyikapi hal ini, Pemkot Cilegon selaku pemegang kebijakan penuh atas peraturan yang berlaku, sudah sepatutnya dengan berubahnya lahan pertanian menjadi pemukiman atau industri bukan hanya menjadi kewenangan DKPP Kota Cilegon saja. Hal ini juga perlu adanya peranan Pemkot Cilegon yang dalam hal ini, DPUTR (Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang) yang mengurusi masalah tata ruang, Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) dan tentunya adalah Walikota Cilegon sebagai puncak pimpinan tertinggi di Kota Cilegon untuk berupaya menjaga penyusutan lahan pertanian tersebut.

Selain Pemkot, masyarakat Cilegon juga sudah seharusnya memiliki daya upaya menjaga lahan pertanian yang dimilikinya secara perorangan agar tidak beralih fungsi dengan tidak menjualnya kepada pihak-pihak pemilik modal besar untuk industri dan properti dan sebagainya. Kita pertahankan untuk warisan anak cucu kita kelak.

Diketahui, lahan pertanian di Kota Cilegon saat ini yang masih banyak terdapat di Kecamatan Cibeber dan Jombang. Dua kecamatan yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cilegon kedepan, sangat rentan terkangkangi oleh pembangunan di bidang perdagangan dan jasa.

Maka ketika Pemkot Cilegon mungkin sulit diandalkan untuk menjaga lahan pertanian tidak berkurang dengan mengalihfungsikannya. Maka, masyarakat Cilegon sendirilah yang harus bisa mandiri dan berdaulat menjaga dan melestarikannya.

Sebuah upaya kemandirian sikap hidup di tanah kelahiran tercinta, menjaga lahan pertanian yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Kita harus bisa berdaulat pangan untuk masa depan. Maka selama Pemkot belum bisa diandalkan menjaga lahan pertanian, mengutip pesan guru bangsa Emha Ainun Nadjib: “Mari kita ciptakan negeri kesabaran kita sendiri, propinsi ketekunan, kabupaten kerja keras, kecamatan mandiri dan desa barokah kita sendiri. Sebuah desa yang barokah bisa lebih luas dari dunia, apalagi negara”. (*)

Polda