Menengok Kehidupan di Cilegon pada Masa Kerajaan Pajajaran

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

KISAH sejarah akan kehidupan masyarakat Kota Cilegon pada zaman Kesultanan Banten mungkin pernah kita dengar atau membacanya dari buku atau tulisan-tulisan blog di internet. Apalagi kisah pada saat Cilegon masih tergabung dengan Kabupaten Serang sampai 18 tahun lalu memisahkan diri menjadi Kotamadya, yang bisa disebut baru “kemarin sore”.

Namun pernahkan mendengar, membaca atau terbesit dalam renungan kesadaran kita pada kisah sejarah kehidupan masyarakat Cilegon pada masa Kerajaan Pajajaran? Sebuah kisah sejarah yang mungkin belum terungkap dalam buku-buku yang beredar maupun di mbah google yang katanya canggih itu.

Berdasarkan cerita yang turun menurun dari nenek moyang ke anak cucunya, pada masa Kerajaan Pajajaran dulu, konon sudah ada cikal bakal Kota Cilegon, dan ada dua kota yang menjadi kota kenamaan saat itu, yakni Kotasari dan Kotabhumi. Tapi banyak masyarakat pribumi pasundan di kedua kota tersebut harus mengungsi karena tidak berkenan masuk Islam yang didakwahkan oleh Sultan Hasanudin.

Sebagaimana diceritakan oleh Ali Fahmi, pemuda Cilegon yang mengetahui kisah sejarah ini secara turun menurun dari bapaknya hingga nenek moyangnya.

“Kotasari dan Kotabhumi merupakan kota kenamaan pada masa Pajajaran, namun kota tersebut harus ditinggalkan oleh warga pribumi sunda, yang saat itu mengalami kekalahan atas dakwah Islam dibawah Panji Sultan Hasanudin,” ucap Ali Fahmi.

“Hanya sebagian kecil saja yang mau menerima Islam dengan di bawah kekuasaan Sultan Banten. Diantaranya Ki Ukuk, salah satu tetua adat yang mau menerima Islam dengan syarat, yakni adu ilmu kekuatan dengan Panglima yang diutus Sultan Hasanudin untuk mengislamkan Kotasari dan Kotabhumi, sebuah langkah bijak yang diambil untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih meluas,” jelasnya.

Adu tanding ilmu silat dan kanuragan akhirnya dilakukan, sehingga akhirnya Islam bisa diterima di tanah Cilegon ini.

“Dan tibalah saatnya waktu yang ditentukan dan disepakati, pergulatan tak terelakkan, di tengah hujan deras, antara panglima utusan Sultan dengan Ki Ukuk, singkat cerita Ki Ukuk mendapat pukulan hingga tidak dapat lagi berdiri sampai 3 hari 3 malam lamanya. Hingga Ki Ukuk terendam pasir yang terbawa derasnya hujan.
Barulah Ki Ukuk menyatakan kekalahannya beliau beserta sanak keluarga kerabat rela menerima Islam dan bersyahadat. Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ki Buyut Banjir,” jelas Ali Fahmi.

Kemudian putra dari Ki Ukuk adalah Buyut Ralli generasi Ciora yang pertama kali berangkat menunaikan haji ke Tanah Suci. Namun beberapa bukti peninggalan sejarah seperti prasasti sudah hilang diburu para kolektor. Prasasti Patung Arca pun yang menjadi bukti sejarah, sudah pecah belah kemudian hilang. Sebagian rumah sakit Krakatau Medika yang sebelumnya menyatu hingga kampung Kubang Wates itu dulunya sebuah komplek pemakaman yang cukup besar di masa Pajajaran.

Cilegon merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, Kotabhumi dan Kotasari yang menjadi kotanya, sementara Cilegon yang ramai sekarang dulunya hanyalah kampung kecil yang kemudian berkembang seiring dengan dibuka dan dilebarkannya jalan Raya Anyer-Panarukan oleh Deandels.

Diketahui Jalan Anyer-Panarukan dibangun bertujuan untuk melemahkan perekonomian jalan Utara yang sudah ada pada masa Pajajaran dan diperbaiki dan terus digunakan Kesultanan Banten. Tujuan kedua Belanda, yakni untuk memuluskan transportasi dalam mengeksploitasi hasil bumi. Mulai dari situlah perlahan Cilegon menjadi ramai ditambah lagi cukong-cukong China yang tidak punya posisi strategis di titik jalan Utara (Kesultanan Banten, Kasemen, Trate, Pecek, Kotabumi, Grogol, Merak). Setelah jalan Deandels terbuka barulah China berdiri menjalankan usaha perdagangannya.

Kartini dprd serang

“Ini dikisahkan dari H. Zuhri bin H Seluri bin H. Zakaria bin H. Hamin bin H. Tria bin H. Asid bin H. Ralli,” jelas Ali.

Dari kisah sejarah yang masuk kategori cerita rakyat tersebut, sepertinya masih sangat relevan dengan dengan cerita rakyat lainnya. Semisal di Kotasari sebagai kota ternama pada masa Pajajaran dengan ajaran Hindu-Budha nya, di Bukit Watulawang juga beredar kisah bahwa dulunya merupakan tempat peribadatan masyarakat saat itu.

Alur cerita rakyat itupun sejalan dengan beberapa versi sejarah yang ada, dimana banyak yang menyebutkan dakwah Islam Sultan Hasanudin bermula dari Utara sebagaimana penyebaran Islam di Pulau Jawa lainnya.

Kalau di Utara bertemu Ki Ukuk, ketika dakwahnya mulai merambah wilayah pedalaman Selatan, Sultan Hasanudin pun harus berhadapan dengan tetua atau penguasa setempat seperti Pucuk Umun, yang juga kemudian dimenangkannya melalui pertarungan Adu Ayam, untuk menghindari pertumpahan darah secara meluas. Dan masyarakat yang tidak berkenan mengikuti ajaran Islam, dibiarkan mengungsi ke sebuah wilayah di pedalaman, yang konon kini bernama suku Baduy.

Perlahan namun pasti pengaruh ajaran Islam di Banten terus meluas dari utara ke kepedalaman Selatan, apalagi setelah diberdirinya Keraton Surosowan.

Transisi nilai dari Hindu-Budha ke Islam yang berimbas pada perlaihan kerajaan Pajajaran ke kesultanan Banten ini juga mirip sebagaimana pada transisi pada Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak. Dimana Raden Fatah anak dari Brawijaya V, atas setting politik Walisongo mendirikan kesultanan di wilayah Utara. Dan perlahan tapi pasti peralihan Majapahit di Trowulan ke Glagah Wangi, Demak.

Begitu pula dengan Pajajaran, berakhirnya zaman Pajajaran secara resmi pada 1579 Masehi ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf anak dari Sultan Hasnudin. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu mengharuskan demikian.

Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf mengklaim merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

**

Wallahua’lam bishowab…
Dari kisah sejarah diatas, ada hikmah yang bisa kita petik. Dimana para pejabat atau tetua adat saat itu ketika ada hal prinsipil yang bertentangan sehingga sulit ditempuh jalan keluar dan harus ditentukan dengan perang. Tetua adat yang menjabat selalu melindungi rakyat menghindari peperangan luas yang melibatkan dan mengorbankan rakyat. Dengan bijak dan ksatria mereka maju terdepan dalam perang. Yang sekarang sudah jarang dan sulit kita jumpai lagi karakter bijaksana dan ksatria seperti itu, pada pejabat-pejabat di negara ini. (*)


*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten

Polda