Mengenal Pahlawan Nasional Brigjen KH Syam’un, Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Dprd ied

JAKARTA – Presiden Jokowi resmi menganugerahi Brigjen KH Syam’un menjadi Pahlawan Nasional. Namanya kini sejajar dengan sultan dari Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dan Ketua Pemerintah Darurat RI Syafurdin Prawiranegara yang lebih dahulu dianugerahi pahlawan nasional oleh pemerintah.

Brigjen Syam’un merupakan cucu dari Kiai Wasyid yang merupakan pemimpin perjuangan Geger Cilegon pada 1888 melawan Belanda. Lahir pada tahun 1883 K.H Syam’un menjadi pelopor pengajaran Islam tradisional melalui Al-Khairiyah di Banten yang kemudian tersebar di Jawa sampai Sumatera.

Keturunan Brigjen KH Syam’un, Ali Mujahidin yang juga Ketua PB Al-Khairiyah, menerima plakat anugerah Gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis (8/11/2018) / Dok

Dalam perjuangannya, KH Syam’un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air atau Peta pada 1943-1945 dan terlibat untuk pembentukan pemerintah daerah dan diangkat menjadi bupati Serang.

Dikutip dari biografi KH Syam’un, yang disusun oleh Mufti Ali dkk, Kamis (8/11/2018), yang merupakan adaptasi dari naskah akademik usulan Pemprov Banten untuk gelar pahlawan nasional, Brigjen KH Syam’un juga pernah menjadi komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan berada di garis depan pengusiran tentara Jepang pada 1945.

Pada Oktober 1945 sampai Januari 1946, Brigjen KH Syam’un turut berupaya menumpas Gerakan Dewan Rakyat. Kemudian, diangkat menjadi panglima TKR Divisi 1000/I dan kemudian diangkat menjadi komandan Brigade I/Tirtayasa periode 1946-1947. Brigade I/Tirtayasa merupakan cikal bakal Korem Maulana Yusuf Serang.

Syam’un muda menempuh pendidikan di Makkah dan Mesir. Saat kepulangannya ke Banten pada 1915, ia mendirikan pesantren di kampung halamannya di Citangkil, Cilegon. Beberapa tahun kemudian, pesantren ini bertransformasi menjadi madrasah Al-Khairiyah yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tapi juga pengetahuan umum. Madrasah ini kemudian menjadi pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten dan masih tetap ada sampai sekarang.

Dari gerakan pesantren dan madrasah, KH Syam’un bertransformasi menjadi tokoh militer dan ikut andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia khususnya di Banten. Status sosialnya sebagai ulama di Banten menjadikan Syam’un diangkat menjadi komandan batalyon (daidancho) Peta bersama K.H Achmad Chatib oleh Jepang.

Setelah Jepang kalah oleh pasukan sekutu, KH Syam’un kemudian diangkat menjadi ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk Keresidenan Banten dan Serang pada 1945. Badan ini kemudian yang mengusir tentara Jepang di markas Kenpetai melalui baku tempak di kampung Benggala.

dprd tangsel

Pada Oktober 1945 begitu dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komandemen 1/Jawa Barat membentuk Divisi 1 TKR dengan nama Divisi 1000/1 dengan panglima divisinya yakni K.H Syam’un dengan pangkat kolonel.

Di bawah pimpinanya, Divisi 1 TKR menumpas Gerakan Dewan Rakyat yang menangkap tokoh-tokoh penting pemerintahan di Banten. Bahkan karena gerakan ini, ada desas-desus Banten akan melepaskan diri dari Indonesia. Hal ini kemudian mendorong Sukarno dan Hatta harus turun ke Banten dan meyakinkan rakyatnya.

Pada 1946, terjadi penggantian jabatan di Banten dan pilihannya jatuh kepada KH Syam’un untuk menjadi Bupati Serang. Naiknya ulama di lingkungan pemerintahan diharapkan menjaga kedaulatan RI dari ancaman termasuk tentara Belanda yang datang setelah Jepang kalah dari sekutu.

Saat Tentara Keamanan Rakyat mengalami perubahan dan restrukturisasi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 1946, Komandemen 1/Jawa Barat berubah menjadi Divisi I/Siliwangi dan dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor A.H Nasution. Divisi ini kemudian membawahi lima brigade salah satunya Brigade I/Tirtayasa di Banten dengan komandan Kolonel K.H Syamun.

Plakat bukti Anugerah Pahlawan Nasional kepada Brigjen KH Syam’un yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia / Dok

Dalam perkembangannya, karena merangkap menjadi bupati, KH Syam’un kemudian diganti oleh Letnan Kolonnel Soekanda Bratamenggala.

Saat terjadi agresi militer Belanda pada 1948-1949, terjadi perang gerilya di berbagai daerah termasuk di Banten. KH Syam’un yang waktu itu Bupati Serang ikut bergerilya ke Gunung Cacaban di Anyer. Saat itu, terjadi peperangan sengit antara tentara dan pasukan agresi militer Belanda di sana.

Dua bulan kemudian, KH Syam’un meninggal saat bergerilnya di usia ke-66, karena penyakit yang dideritanya.

“Dalam perjuangan gerilyanya di hutan dan di gunung, ia rela meninggalkan jabatannya sebagai seorang bupati untuk bersusah payah di hutan dan sakit. Sampai akhir hayatnya ia tetap berusaha untuk membela negara dan menjaga kehormatan bangsa dari ancaman bangsa lain,” tulis buku tersebut. (*/detik)

[socialpoll id=”2521136″]

Golkat ied