Menggoreng Isu Rohingya

Oleh: Hersubeno Arief

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut ada kelompok yang “menggoreng” isu penderitaan muslim Rohingya untuk menyerang pemerintah.

Tito mengaku tidak asal bicara. Melalui sebuah alat bernama opinion analysis, ditemukan fakta percakapan di twitter dibelokkan untuk membakar sentimen umat Islam agar antipati terhadap pemerintah.

“Itu gaya lama,” kata Tito. Mengingatkan dia pada cara-cara menggoreng isu pada Pilkada DKI 2017. Jelas maksudnya adalah ketika kelompok Islam menyerang Ahok yang dinilai menista agama.

Baca Juga : Myanmar Blokir Akses Bantuan PBB untuk Warga Rohingya

Statemen Tito nampaknya benar adanya. Kalau kita mengamati percakapan di berbagai platform pertemanan di medsos, banyak muncul kekecewaan, karena pemerintah dinilai lamban bertindak. Banyak juga yang menyerang Jokowi baik sebagai presiden, maupun pribadi.

Sayangnya Tito berhenti di situ. Dia tidak melanjutkan untuk mengeksplorasi adanya fakta lain, bahwa isu Rohingya juga digunakan untuk menyerang Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Beberapa aktivis medsos dan peneliti yang kebetulan dikenal sebagai pendukung Ahok dan Jokowi, menggunakan isu Rohingya sebagai bukti bahwa di manapun negaranya, yang namanya minoritas itu selalu menderita. Selalu ditindas. Termasuk di Indonesia. Contoh yang disebut adalah Ahmadiyah.

Dalam bahasa lain, para pendukung pemerintah ini menyatakan “Sebagai mayoritas, kalian kan juga sering menindas dan berlaku sewenenang-wenang terhadap minoritas. Jadi gak usah ribut-ribut lah kalau muslim Rohingya sekarang ditindas oleh pemerintah dan mayoritas warga Budha di Myanmar. Urus dan beresin masalahmu sendiri di Indonesia.”

Perhatikan. Nasib Rohingya disamakan dengan komunitas Ahmadiyah, Syiah atau kelompok minoritas lainnya. Mayoritas Islam di Indonesia adalah penindas seperti mayoritas penganut Budha di Myanmar.

Ini langkah cerdik memanfaatkan isu Rohingya sebagai serangan balik sekaligus pengalihan isu.

Pernyataan Tito mengingatkan publik kepada kasus Saracen. Kelompok yang disebut sebagai “sindikat” penebar kebencian dan isu SARA juga dituding menyerang pemerintahan Jokowi. Posisioningnya juga cukup jelas. Melalui berbagai framing pemberitaan, mereka disebut sebagai pendukung Prabowo Subianto, rival Jokowi pada Pilpres 2014. Prabowo sampai sejauh ini juga rival paling potensial Jokowi pada Pilpres 2019.

Sampai pada poin semangat untuk memberantas hoax, berita bohong penebar kebencian, hampir sebagian besar mayoritas masyarakat Indonesia, utamanya komunitas muslim, sangat mendukung Polri.

MUI juga telah mengeluarkan panduan “Bermedsos syar’ie,” sesuai dengan tuntunan agama. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang baru mendapat penghargaan sebagai gubernur terbaik dalam komunikasi publik, juga sudah mengenalkan jurnalisme tabayun. Tujuan keduanya sama. Prihatin, sedih dan khawatir dengan fitnah, ucapan kebencian yang merajalela di medsos.

Umat Islam yang waras dan sangat sadar bahwa dosa menggunjing, ghibah, apalagi fitnah pasti sangat mendukung pemberantasan hoax.

Dalam Islam hukumnya super berat. Ghibah, menggunjing sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Fitnah bahkan divonis lebih kejam dari pembunuhan.

Namun ketika Polri hanya berhenti menangkap para penentang pemerintah, maka muncul kekecewaan dan perlawanan. Banyak sekali aktivis medsos, tokoh pendukung pemerintah yang juga aktif memproduksi ucapan kebencian, namun dibiarkan melenggang bebas.

Ketika mereka dilaporkan ke polisi, kasusnya tidak segera diproses, atau malah dihentikan penyidikannya (SP3).

Polisi diposisikan memihak, tidak imparsial. Sebagai penegak hukum, polisi harus berdiri di atas semua golongan. Polisi bukan alat kekuasaan, apalagi hanya sekedar alat pemerintah. Polisi adalah pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Masyarakat yang terbelah

Pro kontra seputar pembelaan terhadap muslim Rohingya semakin menegaskan adanya pembelahan yang besar pada masyarakat kita. Sebuah polarisasi dua kutub yang ekstrem. Pendukung pemerintah vs penentang pemerintah. Ini merupakan kelanjutan polarisasi Pilkada DKI 2017. Penista agama vs pembela agama. Toleran vs intoleran. Pluralisme vs anti pluralisme. Cinta NKRI vs anti NKRI. Saya Pancasila vs Kamu bukan Pancasila.

Cara berpikir yang selalu dalam posisi bertentangan secara diametral ini adalah cara berpikir yang selalu mencari-cari perbedaan. Cara berpikir menunggu lawan lengah dan terkam habis, tanpa ampun.

Tidak mengherankan ketika mantan Menkominfo Tifatul Simbiring kedapatan memposting foto yang salah soal Rohingya, dia langsung dihabisin oleh penggiat dunia maya. Sebagai aktivis PKS, dia berada dalam kubu penentang pemerintah. Apalagi dia pernah mendoakan agar Jokowi gemuk.

Begitu juga sebaliknya. Ketika Presiden Jokowi kedapatan mengklaim kerja berbagai lembaga kemanusiaan membantu Muslim Rohingya sebagai kerja pemerintah, dia juga langsung dihabisi. Goreng menggoreng.

Polarisasi ini semakin memburuk karena lembaga-lembaga pemerintah, termasuk Presiden Jokowi sendiri tidak dalam posisi merangkul semua kepentingan. Dalam banyak isu, pemerintah terbawa arus yang kian memperparah perbedaan kedua kutub.

Situasi semacam ini tak boleh dibiarkan berlarut. Jokowi bukan presidennya Projo, atau PDIP. Jokowi adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, lepas siapapun presiden pilihannya dan apapun partai politiknya.

Presiden juga harus bersikap seperti dicontohkan salah seorang Presiden Filipina Manuel Quezon “ My loyalty to my party ends. When my loyalty to my country begins.”

Polri adalah lembaga negara, bukan alat pemerintah, apalagi alat untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintah. Kata kuncinya adalah adil. Tidak memihak.

Sebagai salah satu penegak hukum, Polri harus bertindak sebagaimana dilambangkan pada sosok Dewi Yustisia. Dia memegang timbangan, menghunus pedang dengan mata tertutup. Dia akan menebas siapapun yang bersalah, termasuk manusia dan dewa sekalipun.

Bagi siapapun yang sedang mabuk kekuasaan dan bermimpi akan berkuasa selamanya, harap dicamkan petuah Bapak Bangsa dan Presiden RI pertama Ir Soekarno, “Kekuasaan seorang presiden ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”  (*)

Honda