Ora Dadi Presiden, Ora Pathèken; Akad Nikah Lengser Keprabon Soeharto

Kronik Reformasi Mei 1998, Bagian 3 dari 4

*) Oleh: Fahmi Agustian • 21 Mei 2018 Mènèk Blimbing, Reformasi

Telepon berdering. Bu Via mengangkat gagang telepon. Ternyata dari Cak Nur (Nurcholis Madjid), “Waduh, Alhamdulillah, Dik Via, berkat doa Cak Nun dua hari yang lalu itu, Pak Harto menerima semua saran-saran kita. Artinya, Pak Harto bersedia untuk mundur dari jabatannya. Besok kita diundang bertemu untuk membicarakan langkah terbaik untuk mundur”.

Malam itu, 18 Mei 1998, Cak Nun sedang ada acara shalawatan di sebuah kampung di Jakarta Utara. Bu Via yang kebetulan sedang berada di rumah, menerima kabar langsung dari Cak Nur tentang kesediaan Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Cak Nur sendiri sangat kaget melihat betapa cepat respons yang disampaikan oleh Soeharto, mengingat saat itu keadaan Indonesia sangat genting.

Sebelumnya, pada sore hari itu (18/5), Harmoko sebagai ketua MPR ditemani wakil ketua MPR memilih jalan aman. Secara langsung melalui sebuah konfrensi pers ia meminta Soeharto untuk mundur. Tentu ini merupakan sebuah anomali, karena Harmoko adalah orang yang telah meyakinkan Soeharto untuk kembali dicalonkan menjadi Presiden Republik Indonesia menjelang Sidang Umum MPR dua bulan sebelumnya.

Naskah Husnul Khatimah yang diserahkan kepada Presiden Soeharto melalui Saadillah Mursyid benar-benar telah sampai di tangan Soeharto. Sang penguasa telah melunak. Raja Jawa itu madeg pandito. Pada saat naskah itu dikonfrensiperskan di Hotel Wisata pada 17 Mei 1998, Cak Nun sempat memimpin doa bersama seluruh yang hadir. Surat An-Nur ayat 35 dibacakan. Eky Syachruddin menangis sesenggukan.

Sembilan orang kemudian disepakati memenuhi undangan Soeharto untuk bertemu di Istana Negara. Kesembilan tokoh itu adalah; K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Ali Yafie, K.H. Cholil Baedowi, K.H. Ma’ruf Amien, Malik Fadjar, Sumarsono, Achmad Bagja, Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Nadjib. Yusril Ihza Mahendra yang saat itu bertugas sebagai penulis pidato Presiden Soeharto juga turut dalam pertemuan. Cak Nur yang mengajaknya untuk ikut dalam pertemuan. Karena Yusril adalah orang yang paling paham tentang Tata Negara dibanding sembilan tokoh lainnya. Iniliah Akad Nikah Lengser Keprabon-nya Soeharto

Pertemuan berlangsung di Ruang Jepara. Bukan dalam rangka memastikan apakah Soeharto bersedia mundur dari jabatan Presiden atau tidak. Melainkan yang dibicarakan adalah tentang prosedur turunnya Soeharto. Agar proses tersebut berlangsung secara konstitusional, arif, dan tidak menimbulkan gejolak baru. Juga tidak memperparah kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sedang rentan.

Tentu saja pertemuan itu dikawal ketat oleh ABRI. Bahkan, sejak 18 Mei 1998 malam hari, ada 16 Bom yang sudah dipasang. Masing-masing di 8 titik jalan tol dan 8 titik pom bensin. Ada 3 rumus untuk meledakkan Bom tersebut: 1.) Apabila Soeharto memberi kode untuk diledakkan, 2.) Soeharto diam lebih dari 1 menit, 3.) Soeharto pingsan dalam pertemuan tersebut. Nyatanya, 3 rumus tersebut tidak berlaku. Soeharto tampak bahagia dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan inilah Cak Nun kemudian “mengkursus” Soeharto untuk berani mengatakan Ora dadi Presiden, Ora pathèken.

Orang yang bersalah, maka dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan. Dan juga memperbaiki hal-hal yang harus diperbaiki akibat kesalahannya itu. Soeharto saat itu mengusulkan untuk membentuk Komite Reformasi.

Cak Nur saat itu menyarankan agar Soeharto sendiri yang memimpin Komite Reformasi itu. Soeharto harus memulai reformasi dari dirinya sendiri. Dari dalam dirinya sendiri. Kemudian bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang sudah ia perbuat. Membayarkan sesuatu yang memang harus ia bayar. Mengembalikan semua yang harus dikembalikan sesuai dengan aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

Ada satu kisah yang tidak banyak orang mencatatnya. Lima menit sebelum memasuki Ruang Jepara, Cak Nur dan Cak Nun melakukan gentlemen agreement. Saling berjabatan tangan dan sama-sama bersumpah untuk tidak bersedia terlibat dalam pemerintahan pasca lengsernya Soeharto. Hal ini semata-mata untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang diperjuangkan saat itu bukan dalam rangka mengejar kekuasaan.

Ada banyak tokoh yang sebelumnya terlibat dalam pemerintahan Orde Baru, menjelang lengsernya Soeharto menarik dukungan kepada Pemerintah. Kemudian dengan tanpa rasa malu ikut naik dalam gerbong gerakan Reformasi saat itu.

Dalam waktu yang sangat genting itu, keputusan harus diambil dengan cepat namun juga harus tepat. Nampaknya, keputusan Soeharto untuk mundur sudah terendus oleh pihak yang tidak turut dalam pertemuan pagi itu di Istana Negara.

Pada 19 Mei 1998 malam harinya, sebanyak 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII menandatangani sebuah surat yang isinya pernyataan pengunduran diri dari Kabinet Pembangunan VII. Dan menolak untuk duduk dalam Komite Reformasi maupun dalam susunan Kabinet yang baru. Di alinea pertama surat itu bahkan secara tegas meminta Soeharto untuk segera mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Padahal, sehari sebelumnya Soeharto masih bertemu dengan Ginandjar Kartasasmita untuk membicarakan Reshuffle Kabinet. Dan Ginandjar sempat memberikan usulan nama-nama Menteri yang akan diganti dan yang menggantikan. Soeharto sangat terpukul, merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang ia percaya. Situasi ini membuat Soeharto tak punya pilihan lain. Keputusan pun ia ambil, berhenti.

20 Mei 1998, Amien Rais marah besar kepada Cak Nur. Komite Reformasi yang hendak digagas dituding oleh Amien Rais sebagai salah satu strategi licik Soeharto agar ia tidak melepaskan kekuasaan. Akibatnya, gagasan Komite Reformasi disalahpahami oleh banyak pihak. Hingga akhirnya Komite ini urung terwujud. Masuknya nama Soeharto dalam Komite Reformasi tersebut menjadi salah satu alasan penolakan para tokoh reformasi.

Padahal, menurut hemat Cak Nun saat itu, hanya ada tiga orang tokoh Orde Baru yang masuk dalam Komite Reformasi itu seharusnya tidak perlu ditakuti. Karena ada 40 tokoh lainnya yang merupakan para pejuang reformasi. Namun ternyata, seorang Soeharto masih dianggap terlalu besar bagi mereka. Sehingga mereka enggan untuk berhadapan dengan Soeharto dalam satu meja untuk berunding bersama.

Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Soeharto pada akhirnya membulatkan tekadnya untuk meletakkan jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998; 1.) Melihat amuk massa rakyat yang sudah tidak bisa dikontrol, kerusuhan dan penjarahan semakin meluas, 2.) Soeharto gagal merayu Cak Nur untuk terlibat dalam Komite Reformasi, 3.) 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII meminta Soeharto untuk mundur dan mereka tidak bersedia untuk dilaibatkan dalam Komite Reformasi. Praktis, Soeharto kehilangan banyak kekuatan untuk berkuasa saat itu.

Seharusnya, lengsernya Soeharto dibarengi dengan lengsernya seluruh elemen-elemen Orde Baru saat itu. Habibie yang menjadi wakil presiden juga harus turun. Begitu juga dengan seluruh Menteri di Kabinet Pembangunan VII. MPR dan DPR yang merupakan produk Orde Baru juga harus dibubarkan.

Namun ternyata, hanya Soeharto saja yang mengundurkan diri. Secara langsung pada pukul 09:00 Wib, Soeharto mengumumkan keputusannya untuk berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia.

21 Mei 1998 dinihari, Cak Nur, Cak Nun, Malik Fadjar, Utomo Dananjaya dan S. Drajat kembali menyusun sebuah naskah yang ditujukan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Karena ia akan diangkat menjadi Presiden keesokan harinya. Dalam naskah tersebut, B.J. Habibie dinyatakan sebagai Presiden transisional, dan diberi waktu selambat-lambatnya 6 bulan untuk melaksanakan Pemilihan Umum.

Berikut adalah kutipan dari naskah yang disusun malam itu.

Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan bangsa dan negara, dengan ini menyatakan:

Sesudah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi.

Kami bersepakat bahwa Presiden BJ Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.

Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme.

Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi serta UU Pers; sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi.

Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru.

Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.

Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 WIB

Tertanda:
Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, A Malik Fadjar, Utomo Danandjaya, S Drajat.

Secara tiba-tiba, menjelang konferensi pers, Amien Rais datang. Cak Nur masih berada di dalam rumah. Sedangkan 4 tokoh lainnya sudah siap di lokasi konferensi pers. Amien Rais kemudian berbicara dengan Cak Nur di dalam rumah, berdua. Yang terjadi saat konferensi pers ternyata diluar skenario. Acara yang seharusnya dibuka oleh Utomo Dananjaya, dilanjutkan dengan penjelasan singkat oleh Cak Nun.

Namun, yang terjadi kemudian dalam membaca naskah tersebut, Cak Nur beberapa kali melakukan kesalahan ucapan. Sehingga ada beberapa poin yang harus diulang agar sesuai dengan naskah yang sudah disusun. Di akhir pembacaan naskah, Cak Nur berucap: Jakarta, 21 Mei 1998, pukul 00.30 WIB, Tertanda: Nurcholis Madjid-Amien Rais. Cak Nun, Malik Fadjar, Utomo Dananjaya dan S. Drajat saling berpandangan. Bingung satu sama lain.

21 Mei 1998, seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, Soeharto resmi mengundurkan diri dan B.J. Habibie diambil sumpah jabatannya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.

“… Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI”

20 tahun berlalu, bahkan hingga akhirnya Soeharto wafat, tak pernah sekalipun kita melihat ada proses pengadilan terhadap Soeharto. Bahkan, ketika Soeharto sudah tidak berkuasa di Indonesia pun, tidak ada satu penguasa pun yang berani menyeret Soeharto ke meja pengadilan.

Fahmi Agustian, Penulis Adalah Aktivis Maiyah Kenduri Cinta.

(Sumber: Caknun.com)

Honda