Pemancing Pesisir Cilegon yang Semakin Terampas Haknya

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

TINGGAL di kota seperti Cilegon dimana banyak wilayahnya berada tidak jauh dari laut, tidak heran tidak sedikit warga yang memiliki hobi atau kebiasaan memancing sebagai hiburan atau kegiatan mengisi waktu senggang di luar rumah.

Ada kesenangan tersendiri dalam memancing, terutama saat ada tarikan yang kuat. Konon saat itu organ kita memproduksi adrenalin – zat yang menyeimbangkan hormon-hormon yang dibutuhkan oleh tubuh.

Selain itu mengkonsumsi ikan juga bagus untuk kesehatan karena mengandung banyak Omega 3.

Manfaat memancing lainnya ialah semacam olah-raga, rekreasi menghilangkan stress, melatih kesabaran dan memusatkan pikiran serta pengalaman yang mengasyikkan, menikmati udara segar dan pemandangan indah.

“Give yourself a reward after a hard work” – dan bagi saya itu semacam hadiah setelah bekerja keras. Dari memancing saya juga kadang mendapat teman-teman yang juga berhobi sama. Kami dapat berbagi pengalaman dan tips yang berguna.

Maka jangan heran kalau banyak sekali tempat atau kolam pemancingan di Cilegon yang berbayar. Kenapa berbayar? Animo mancing masyarakat Cilegon yang tinggi ini kini dijadikan bisnis yang menggiurkan, karena sarana tempat mancing seperti sawah yang semakin tergusur, sungai yang tercemar, dan pesisir laut yang direklamasi.

Bila bicara kedaulatan, kegiatan memancing adalah hak setiap manusia di alam jagat raya yang dianugrahkan oleh Tuhan, yang sudah turun menurun diwariskan nenek moyang kita dulu. Dan ketika alam dipagari atas nama negara bernama Indonesia, rakyatnya dalam tiang pancang UUD 45 pun dijamin kebebasannya untuk berkumpul dan berpendapat. Apalagi hanya sekadar untuk memancing.

Kenapa hak para pemancing semakin terampas haknya? Bukannya acara kegiatan mancing di televisi Nasional swasta makin terus tayang karena rating penghoby yang menonton cukup tinggi.

Secara spesifik yang akan saya kuliti sedikit adalah faktor pada pemancing pesisir, karena pemancing (Teger) di sawah dan sungai pernah saya ulas sekitar sebulan yang lalu juga di faktabanten.co.id ini.

Perairan laut Kota Cilegon yang berada di Selat Sunda, secara fisik menghampar dengan luas dengan panjang garis pantai 25 Km, serta luas perairan laut 185 Km2 (Data Disperla Cilegon), yang menjadikan Kota Cilegon ini dulunya banyak yang berprofesi sebagai Nelayan.

Kebanyakan masyarakat Cilegon sekarang khususnya berusia remaja, mungkin belum mengetahui akan nama-nama pesisir pantai Cilegon yang terbentang dari ujung Utara di Pulomerak dan ujung Barat di Ciwandan.

Apalagi kisah akan kehidupan masyarakat pesisir Cilegon yang bukan hanya bisa bebas memancing, di era tahun 70-an sampai 90-an saja, masyarakat Cilegon merasakan kemakmuran dari pesisir alam yang menyuguhkan keindahan hutan mangrove serta muara sungai dengan aneka ragam hayati kekayaan biota lautnya yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di pesisir Cilegon kala itu.

Mungkin ada (pelaku sejarah) yang semasa kecilnya pernah mengalami hal tersebut. Sebab yang saya alami waktu saya kecil dulu melihat realitas masyarakat Cilegon. Apalagi cuma mancing, kebutuhan pangan tinggal pergi ke Alas Tancang (pesisir hutan bakau), bebas mau ambil apa dari alam, bisa pakai jaring atau bahkan dengan tangan kosong. Ambil ikan macam-macam jenis dan bergatung musimnya, bisa cari klorak (sejenis siput), udang, nenar, kepiting, dan lainnya.

Saking banyaknya hasil tangkap sampai dawuk penuh, hasilnya sebagian dimasak, sebagian ditukar beras dan kalau ada lebihnya kasih ke tetangga atau ngirim saudara yang jauh di pegunungan.

Masih ingatkah dengan nama pesisir di Cilegon yang dulu lazim disebut alas dan tancang, seperti;
1. Pesisir, Alas Ciwandan
2. Alas Cine Cigading
3. Pesisir, Alas Cemara Cigading
4. Alas Kecepit Penawuan
5. Alas Tarub Kubang Welut
6. Alas, Pesisir Sentigi Samangraya KDL
7. Alas, Pesisir Legon Utara KDL
8. Alas, Pesisir Tanjung.
9. Alas, Tanjang Kiaji Umar
10. Alas, Pesisir Watu Lunyu
11. Alas, Merebo
12. Alas, Pesisir Lelean
13. Alas, Pesisir Tangkal Layu
14. Alas Ki Mufan
15. Alas Mi Wilan
16. Pesisir Semegur.
17. Alas Mabak
18. Tancang Sekong
19. Pesisir Pulorida
20. Kelapa Pitu
21. Suralaya, dan lain sebagainya.

Namun alas pesisir itu kini hanya tinggal kenangan, kini hampir semuanya sudah dikangkangi oleh para kapitalis. Akibat ulah campur tangan manusia berganti pula wajah pesisir di Cilegon akibat kepentingan reklamasi pantai untuk pembangunan pabrik-pabrik raksasa, pelabuhan-pelabuhan dan perhotelan hampir semua pesisir.

Belum lagi soal pencemaran air dan terjadinya penyempitan muara-muara sungai, menghilangkan hutan mangrove yang sudah tentu merusak ekosistem dengan keanekaragaman dan kekayaan hayati biota lautnya yang dulu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat pesisir Cilegon.

Cilegon kini bangga menjadi kota dengan segala bentuk modernisasi, ambisi kemakmuran, nafsu kemajuan, seakan kita lupa pada kearifan lokal dari para nenek moyang kita yang begitu bersahaja memperlakukan harmonisasi dengan alam. Bahkan saking gemarnya pada sistem produk kapitalis, para pemangku kebijakan tidak menjadikan potensi pesisir sepanjang 25 Km itu satu pun titik pantai sebagai destinasi wisata untuk kebahagiaan masyarakatnya.

Malah objek wisata Pantai Kelapa Tujuh dan Pulorida yang sudah ada di Kecamatan Pulomerak sebagai tempat rekreasi masyarakat pun, kini ditutup dan direklamasi untuk kepentingan industri.

Beberapa nama pesisir sebagaimana disebut diatas itu kini keberadaannya sudah tidak ada, beberapa yang tersisa pun sulit diakses masyarakat, karena tertutup tembok-tembok pagar kapitalisme.

Hal ini tentunya berimbas pada nasib pemancing, selain pesisir spot mancing yang tidak bisa dan sulit diakses, rumpon ikan-ikan di pesisir pun ikut berkurang. Sungguh kasihan mereka yang tidak mengalami kemudahan mancing di pesisir Cilegon. Yang dulu kemurahan alamnya menyuguhkan seperti kita di Supermarket tinggal ambil saja. Kini untuk mancing saja harus menunggu libur kerja pada setiap akhir pekan. Sampai-sampai ratusan penghoby mancing laut dari Cilegon dan sekitarnya, kerap memadati pemecah ombak yang dibangun ASDP disisi Pulau Merak Besar. Itupun harus bayar jasa antar-jemput perahu.

Dan ada diantaranya yang cerdik bisa memancing gratis di pesisir yang sudah menjadi kawasan kapitalis dengan memanfaatkan kedekatan dengan pihak Security. Ada yang harus rela merangkak di bebatuan untuk bisa memancing gratis.

Bahkan mungkin dalam kamus regulasi Security industri tertentu yang terdapat pelabuhan, keberadaan orang mancing di kawasannya adalah musuh yang harus dibasmi, bagai maling yang harus dicegah, diusir dan bila ngeyel mereka harus ditangkap. (*)

 

Diatas tanah reklamasi, Merak, 29 Oktober 2017.

Honda