Quo Vadis DPD RI

Sankyu

Quo Vadis DPD RI

Oleh: Dr. Tuty Mariani

Awal dibentuknya lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sesuai hasil Pemilu 2004, merupakan hasil amandemen konstitusi UUD 1945 sebagai buah dari Reformasi Ketatanegaraan RI. Bersamaan dengan itu dibentuk juga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Filosofis dan historis keanggotaan DPD RI adalah non partisan partai politik (parpol), mewakili daerah provinsi, dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan keterpilihannya mewakili daerah pemilihan provinsi. Rakyat pemilih pun tahu bahwa yang dipilih adalah wakil daerah bukan dari parpol, berkedudukan di pusat, bertugas dan berfungsi sebagai senator yang memperjuangkan aspirasi rakyat dari dapilnya. Berbeda dengan wakil dari parpol, perwakilan dari parpol yang berkedudukan di pusat adalah DPR RI.

Pertama kali DPD RI dipimpin Ginanjar Kartasasmita yang diketahui publik sebagai aktivis atau kader Golkar. Meskipun demikian publik memaklumi, karena saat menjadi Ketua DPD RI, Ginanjar tidak sedang memegang pposisi strategis partai, sehingga dinilai tidak terlalu memiliki conflict of interest. Periode kedua dipegang Irman Gusman, bisa dikatakan “murni” senator asal Sumatera Barat. Belum selesai periode kedua digantikan oleh Muhammad Saleh senator asal Bengkulu.

Sekda ramadhan

Kini terpilih secara aklamasi Oesman Sapta Oedang (OSO) yang belum lama terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Hanura. Dengan demikian OSO yang senator asal Kalbar tersebut, sekarang menjadi ketua umum parpol sekaligus Ketua DPD RI, yang filosofis historisnya bukan untuk mewakili parpol.

Sebagian anggota DPD tidak setuju terpilihnya OSO dengan alasan adanya putusan MA yang membatalkan aturan masa jabatan pimpinan 2,5 tahun melainkan kembali 5 tahun. Sehingga mereka memandang terpilihnya OSO inkonstitusional. Berbeda dengan mereka, saya ingin menanggapinynya dari perspektif steril tidaknya pimpinan DPD RI dipegang oleh seorang pucuk pimpinan parpol yang tentu sarat dengan kepentingan politik. Padahal keberadaan OSO di gedung parlemen Senayan karena dipilih masyarakat Kalbar lintas parpol.

Benar, bahwa hak setiap anggota DPD RI untuk dipilih menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD RI. Masalahnya, bagaimana nantinya OSO bisa memilah dan membedakan posisinya, antara sebagai senator dengan ketum parpol? Benar, selama ini kita tidak bisa menafikan, bahwa tidak sedikit para senator di Indonesia adalah kader parpol atau berafiliasi terhadap parpol tertentu. Masalahnya dalam kasus OSO, bukan hanya kader parpol tapi malah ketua umum parpol dan bukan hanya sekadar memegang jabatan alat kelengkapan DPD RI, tapi malah menjadi Ketua DPD RI, sementara tahun 2019, saat pelaksanaan Pemilu sudah di depan mata. Bagaimana kita bisa percaya dengan kedua posisi tersebut OSO sama sekali tidak memiliki conflict of interest?

Barangkali dengan latar belakang keterpilihan seorang senator, semua anggota layak dipilih menjadi Ketua DPD RI, tidak perlu silau dengan ketokohan atau popularitas seorang senator yang sudah menjadi tokoh nasional. Sehingga kelayakan selanjutnya untuk menjadi pertimbangan terpilihnya seorang menjadi Ketua DPD RI adalah netralitasnya dari kepentingan parpol, lebih mengedepankan kepentingan daerah asalnya. Kalau hal ini luput dari pertimbangan para senator, kita patut mempertanyakan hendak dibawa ke mana sebenarnya keberadaan DPD RI?

Penulis adalah ahli hukum tata negara

 

 

 

Sumber: kanigoro.com

Honda