Sebaran Abu Vulkanik Krakatau, BMKG Imbau Warga Banten Pakai Masker dan Kacamata

Sankyu

JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus memantau kondisi cuaca dan sebaran debu vulkanik Gunung Anak Krakatau.
Melalui laman Twitter resminya, @infoBMKG, pada Rabu (26/12/2018), pukul 19.00 WIB, terlihat adanya pola sebaran debu vulkanik dengan arah pergerakan menuju Barat Daya-Barat.

Sebaran debu tersebut mencapai ketinggian lebih dari 10 kilometer.

Atas pantauan tersebut, BMKG mengimbau masyarakat untuk gunakan masker serta kacamata jika hendak keluar rumah.

“Pada peta sebelah kiri terlihat warna ungu yang dilingkari garis kuning adalah debu vulkanik yang terlihat oleh citra satelit,” tulis akun BMKG pada Rabu (26/12/2018).

“Jangan lupa sobat selalu menggunakan masker dan kacamata jika hendak keluar rumah,” imbuh akun BMKG.

Sebaran debu vulkanik Gunung Anak Krakatau ini juga jadi peringatan, terlebih untuk pihak penerbangan agar lebih berhati-hati.

BMKG: abu vulkanik buat kaca pesawat seperti gelas pecah
Sebelumnya diberitakan, tim BMKG belum berhasil mendekati Gunung Anak Krakatau.

Padahal tim sudah dua kali berangkat pada hari berbeda menggunakan pesawat Boeing 737 dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju perairan Selat Sunda.

Sejatinya, dua penerbangan pada tanggal 23 dan 24 Desember yang dijadwalkan pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan 09.00 WIB tersebut bertujuan membawa rombongan dari BMKG beserta TNI untuk lenih dekat terhadap objek Gunung Anak Karakatau.

Jarak yang dekat dengan Gunung Anak Krakatau diperlukan, untuk mumudahakan tim BMKG yang dikepalai oleh Dwikorita Karnawati itu bisa memotret langsung kondisi terkini Gunung Anak Krakatau.

Namun, cuaca yang tidak mendukung ditambah awan tebal akibat abu vulkanik dari erupsi menyebabkan Dwikorita gagal mendekat ke Gunung Anak Krakatau dalam dua penerbangan berturut tersebut.

Ia menjelaskan, kondisi seperti di atas mengharuskan pesawat untuk balik arah ke bandara lantaran sangat berbahaya jika penerbangan dilanjutkan.

Bahkan, dari penuturannya, partikel-partikel dari abu vulkanik Gunung Anak Krakatau tersebut sempat ada yang menempel di kaca pesawat.

Tidak ingin keadaan bertambah buruk baik bagi pesawat maupun keselamatan penumpang saat itu, akhirnya pesawat pun benar-benar harus kembali ke daratan Pulau Jawa.

“Yang pertama hari Senin tanggal 24 itu kena abu vulkanik, ada kaca yang tertempel abu vulkanik kaya gelas pecah, kaya pecahan gelas. Itu bisa membahayakan mesin pesawat sehingga harus balik dan saat itu awan tebal,” kata Dwikorita kepada TribunJakarta.com, Rabu (26/12/2018).

Sekda ramadhan

“Yang kedua hari Selasa itu karena awannya jauh lebih tebal lagi sehingga kami tidak bisa memotret, jarak pandang tidak memadai dan itu membahayakan keselamatan pesawat sehingga harus balik lagi. Itu pagi sekitar jam 9 bahkan yang pertana jam 6 pagi yang pertama. Tapi cuaca tidak mendukung, semakin siang itu tidak kondusif,” tambahnya.

Padahal ketinggian penerbangan kala itu, dikatakan Dwikorita cukup tinggi berkisar di antara 5.000 sampai dengan 15.000 kaki.

Namun karena Gunung Anak Krakatau yang masih erupsi, kondisi itu pula yang berdampak terhadap keselamatan penerbangan meski jaraknya belum terlalu dekat.

“Karena ini menurut Bapak Panglima (TNI) untuk melakukan survei itu harus cukup tinggi agar kamera itu memotretnya bisa utuh. Kalau terlalu rendah itu selain membahayakan karena masih erupsi vertikal, terlalu rendah itu membahayakan dan angle foto pemotretannya itu enggak bisa utuh,” kata Dwikorita.

Ia mengatakan, dalam dua penerbangan tersebut dirinya juga belum dapat melihat secara langsung kondisi Gunung Anak Krakatau terkini.

“Saya kemaren enggak, tapi menurut pilotnya, ini sebenarnya sudah dekat Bu sudah di depan hanya kami tidak bisa menembus ini awan terlalu tebal. Sehingga jarak pandang itu loh tapi dari radar kan kelihatan cuma kalau masuk di awan kan juga terguncang-guncang dong,” ujarnya.

Meski berada tidak jauh dari Gunung Anak Krakatau dan sudah merasakan dampak dari erupsinya.
Hal tersebut tidak membuat Dwikorita merasa cemas atau takut.
Profesi serta jabatannya selaku Kepala BMKG membuat Dwikorita harus siap dalam segala kemungkinan yang terjadi.

Menurutnya, selama tetap memperhitungkan unsur keselamatan, maka tidak ada lagi alasan untuk cemas.

“Kalau kami ini jadi ditanamkan dalam proses investigasi ini safety adalah nomor satu. Jadi kita kalau was-was dan sebagainya kita sudah tidak jadi pertimbangan,” kata Dwikorita.
Dirinya pun berencana untuk melakukan penerbangan kembali ke Gunung Anak Krakatau.

Namun waktunya masih belum dipastikan karena bergantung pada cuaca.

Pemantauan langsung melalui jalur penerbangan tersebut, kata Dwikorita sangat diperlukan untuk melihat dan mengabadikan potret kondisi Gunung Anak Krakatau terkini.

“Tujuan penerbangan adalah untuk memotret Gunung Anak Krakatau kondisi terkini seperti apa.

Perkembangannya sejak tanggal 23 Desember kan kita tidak tahu kondisinya secara lebih jelas, lebih akurat yang sudah ada retakan-retakan pada lereng di sebelah mana. Seperti apa kondisi lereng itu kan tidak bisa melihat, tidak bisa mendekat,” katanya.

Menurutnya, cuaca pada hari ini di sekitar Selat Sunda pun diprakirakan turun hujan.

Hal itu juga yang membuat BMKG memberikan imbauan agar masyarakat tidak mendekati daerah pesisir pantai sekitar Selat Sunda dakam radius 1 kilometer.

“Cuaca itu kami lihat sampai sehari ini tidak bagus. Jadi ini hujan lebat menurut prakiraan kami sampai sore dan malam mulai mereda. Tetapi kalau malam kan sudah tidak kondusif (untuk melakukan penerbangan), mohon maaf sekali ini terpaksa yang hari ini rasanya tidak aman,” kata Dwikorita. (*/TribunJakarta.com)

Honda