Sejumlah Organisasi Lingkungan Hidup Kritisi Raperda RZWP3K Banten

SERANG– Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Raperda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) antara DPRD Provinsi Banten dan sejumlah OPD Provinsi Banten yang digelar pada Rabu (17/7/2019), menuai kritik dari beberapa organisasi lingkungan hidup yang juga turut hadir dalam acara tersebut.

Seperti yang disampaikan Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jakarta, Tb. Soleh Ahmad yang merasa heran soal Raperda RZWP3K yang saat ini sudah memasuki tahap akhir di Pansus DPRD Provinsi Banten tersebut namun untuk KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) Raperda-nya justru masih dalam proses revisi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) Republik Indonesia.

“Raperda ini posisinya sudah mau tahap akhir. Tapi anehnya, KLHS masih direvisi di Kementrian. Padahal untuk melihat kondisi lingkungan di pantai Banten kan harus melihat KLHS dulu. Dari situ baru bisa menentukan zonasi,” ucapnya.

Menurut Tb. Soleh Ahmad, KLHS merupakan hal yang sangat penting dalam pembahasan Raperda RZWP3K. Karena, lanjutnya, dengan adanya KLHS tersebut, pemerintah akan bisa menganalisa kondisi wilayah pantai di Banten.

“Mampu gak sih wilayah laut Banten itu menampung beban industri yang besar itu? Mampu apa enggak. Agak aneh kalau zonasinya ditentukan dulu tapi KLHS belum rampung,” ujarnya.

Bahkan Ia pun merasa heran mengenai analisis bencana yang disampaikan tim Pansus DPRD Provinsi pada RDP tersebut. Pasalnya, tim Pansus hanya membeberkan mengenai peta rawan bencana tanpa mengikutsertakan kajian analisisnya.

“Soal analisis bencana, kalau kita lihat tadi kan ini lebih banyaknya pada peta rawan bencana yang dimasukin aja. Tapi analisisnya belum ada,” ungkapnya.

“Bencana alam yang terjadi di Banten itu apa sih? Ketika ada aktivitas industri besar, kuat tidak? Kan pasti ada abrasi,” imbuhnya.

Perwakilan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), April Perlindungan menambahkan bahwa draft Raperda RZWP3K yang disampaikan tim Pansus masih dianggap belum memberikan ruang hidup untuk para nelayan di Banten dan masih dirasa sangat minim.

“Kita memandang alokasi ruang hidup nelayan tuh masih terpinggirjan. Dalam daftar ini, masih banyak wisata di sepanjang pesisir,” kata April.

Dicontohkan April, proses pengerjaan reklamasi di Kampung Dadap, Tangerang, justru hanya dijadikan tempat wisata berbasis privat dan bukan untuk kepentingan masyarakat umum.

“Reklamasi di Dadap itu masih berjalan, dan akan dilegitimasi ketika Raperda ini disahkan, karena sebagian masuk wilayah Banten. Di Kampung Dadap, wisata-wisatanya berbasis privatisasi, hanya dikuasi oleh segelintir orang saja,” ungkapnya.

Pun begitu yang dikatakan oleh Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata yang mengatakan bahwa Raperda RZWP3K di Banten yang akan disahkan dapat melanggar undang-undang perlindungan nelayan, karena tidak mencantunkan indentifikasi ruang penghidupan bagi para nelayan.

“Ruang penghidupan nelayan termasuk wilayah tangkap, tempat tinggal, tempat labuh kapal. Bisa dilihat sendiri dalam petanya tidak ada wilayah runag penghidupan dan akses nelayan,” tutur Martin.

Justru, menurut Martin, disahkannya Raperda RZWP3K hanya akan menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi. Mengingat adanya banyak indikasi kepentingan bagi perusahaan-perusahaan besar.

“Seperti kita ketahui, sudah ada kasus korupsi mengenai Raperda Zonasi di Kepulauan Riau. Nah ini dapat menjadi ceoah baru, karena bisa ada titipan-titipan dari perusahaan-perusahaan besar agar kegiatan yang dilarang oleh undang-indang itu bisa dikegitimasi,” tandasnya.

Diketahui, sejumlah pihak dari organisasi lingkungan hidup dan kelompok nelayan menolak adanya Raperda RZWP3K di Banten yang disinyalir akan menghilangkan hak dan kebebasan para nelayan Banten dalam berakatifitas. (*/Qih)

Honda