Selidiki Pembantaian Rohingya, Dua Wartawan Reuters Divonis 7 Tahun

FAKTA BANTEN – Pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis penjara tujuh tahun untuk dua wartawan Reuters pada Senin (4/9/2018) karena. Mereka dianggap melanggar undang-undang rahasia negara ketika menyelidiki pembunuhan warga Rohingya di Rakhine.

Diberitakan Reuters, vonis ini dijatuhkan hakim pengadilan Yangon kepada Wa Lone, 32, dan Kyaw Soe Oo, 28. Keduanya dinyatakan bersalah melanggar Undang-undang Rahasia Negara peninggalan kolonial karena menerima dan mengumpulkan dokumen rahasia.

“Terdakwa telah melanggar Undang-undang Rahasia Negara pasar 3.1.c, dan dihukum tujuh tahun. Masa tahanan yang telah dijalani terdakwa sejak 12 Desember akan dipertimbangkan,” kata hakim.

Wartawan dan fotografer Reuters ini ditangkap pada 12 Desember lalu ketika menyelidiki pembunuhan 10 orang Rohingya oleh tentara dan polisi di desa Inn Din, Rakhine. Penyelidikan dilakukan di tengah pembantaian dan gelombang pengungsi Rohingya ke Bangladesh yang kini mencapai lebih 700 ribu orang.

Mereka ditangkap di sebuah restoran di Yangon sesaat setelah dua polisi memberikan mereka dokumen rahasia. Salah satu polisi dalam penyelidikan pengadilan mengatakan, dokumen itu diberikan untuk menjebak dua jurnalis Reuters sebagai hukuman karena menulis soal pembantaian Rohingya.

Kedua jurnalis menyatakan diri tidak bersalah dan hanya melaksanakan kerja jurnalistik yang bebas dan independen.
“Saya tidak takut,” kata Wa Lone usai putusan.

“Saya tidak melakukan kesalahan. Saya percaya keadilan, demokrasi, dan kebebasan,” kata dia lagi.

Vonis atas keduanya menuai kecaman dari negara-negara Barat dan kantor berita Reuters. Pemenjaraan jurnalis ini menjadi bukti Myanmar tidak sepenuhnya memeluk demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers usai reformasi dari pemerintahan junta pada 2016 lalu.

“Kami tidak akan menunggu hingga Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menderita akibat ketidakadilan ini dan akan mengevaluasi bagaimana meresponsnya dalam beberapa hari ke depan, termasuk apakah akan mencari bantuan dari forum internasional,” kata pemimpin redaksi Reuters, Stephen J Adler, dalam pernyataannya.

Duta Besar AS Scot Marciel menyampaikan keprihatinan yang sama.

“Hal ini mengecewakan bagi semua orang yang berjuang sangat keras untuk kemerdekaan media di sini. Harus muncul pertanyaan apakah proses ini akan meningkatkan atau menurunkan kepercayaan rakyat Myanmar terhadap proses peradilan mereka,” kata Marciel yang pernah menjabat jadi dubes AS di Jakarta.

Juru bicara pemerintahan Myanmar Zaw Htay menolak mengomentari vonis tersebut. Sebelumnya dia pernah dikutip mengatakan, pengadilan Myanmar independen dan kasus itu diproses sesuai hukum.

Vonis terhadap dua jurnalis Reuters ini dikeluarkan selang sepekan setelah rilis laporan tim pencari fakta PBB soal pembantaian Rohingya. PBB mencatat ada 10 ribu warga Rohingya dibantai dengan cara sadis.

Perkosaan massal dan pembunuhan anak-anak juga dibahas dalam publikasi PBB tersebut. Pembantaian Rohingya disebut memiliki “niatan genosida” dan PBB menyerukan para jenderal militer Myanmar diadili di mahkamah internasional. (*/Kumparan)

Honda