Teater Banten di Festival Seni Multatuli

Sankyu

Oleh : Peri Sandi HuizcheK (KoordinatorFestival Teater Multatuli)

Seharusnya catatan kuratorial dituliskan di awal perhelatan, karena akan menjadi acuan pembacaan sekaligus menjawab sejauh mana objektivitas menyertai pemilihan setiap kelompok yang akan terlibat dan sejauh mana tawaran konsep setiap kelompok sesuai dengan tema penyelenggaraan. bahkan hal demikian bisa meminimalisir debat yang tak berkesudahan serta menjauhkannya dari cemohooh argumentum ad himenem yang dilayangkan pada panitia bahkan pada festivalnya. Apa boleh buat, kendala itu selalu ada, baik dari dalam maupun dari luar penyelenggaraan.

Maka untuk mengawali catatan ini, Saya akan memulainya dari ujaran seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht No. 37, Amsterdam. Dalam novel Max Havelaar “Pergilah ke teater, dan dengarkan semua kebohongan yang diceritakan kepadamu” atau “Ya! Banyak orang dirusak oleh panggung drama …. karena kita melihat, kita percaya”.

Dari dua ujaran tersebut kiranya teater dicitrakan berbahaya, sebab penuh kepalsuan dan kebohongan. Namun perlu diketahui ujaran itu keluar dari mulut seorang pembisnis, seorang makelar kopi yang tergolong kelas borjuis.

Saya pun curiga makelar itu tahu percis cara kerja teater yang mampu membius penonton dalam upaya menggerakan hatinya, kemudian ia menyangka bahwa para penonton itu akan turut menuntut perubahan sistem dengan berbagai cara, seperti menggerakan pemberontakan kaum buruh yang menjadi budak segilintir orang termasuk dirinya. Ya, sebab sisilain pertunjukan teater memiliki fungsi katarsis.

Sisi lain dari itu, teater rupanya dicap untuk berbicara persoalan pelik yang terjadi pada kehidupan sosial.

-Teater sebagai Kaca-kaca Sosial

Di era milenial, segala informasi tumpah-ruah, berseliweran, tumpang-tindih, dan bersipongan di berbagai media. Ya, semua orang sudah pasti tahu, bila ada berita menarik-unik di detik ini, serta-merta akan cepat tersebar kemena-mana, sebab berita-berita itu sampai pada ruang privasi setiap orang, menempel di benaknya, bila setuju ia sebarkan dengan pujian, namun bila tidak, dilawan oleh pengetahuan yang referensial atau celetukan angin lalu. Begitu dan begitu. Susul-menyusul menggiring opini masyarakatnya.

Dalam kaca mata perubahan sosial, fenomena tersebut adalah bagian dari kinerja informasi-komunikasi yang menggerakan dinamika sosial melalui ciber war, tak ayal lagi dampak dari perang ciber tersebut memunculkan sejumlah karya design-Meme dengan berbagai pendekatan propaganda.
Selain itu perubahan sosial ditopang juga oleh kekuatan lain seperti sistem birokrasional, ideologi, modal dan teknologi untuk mengubah tatanan masyarakat bahkan hal itu melatarbelakangi terciptanya sejumlah karya kesenian beserta metoda penciptaannya.

Teater pada dasarnya diilhami oleh persoalan sosial yang sedang terjadi, bahkan ia mampu membawakan kilasan yang telah lalu atau gambaran dan cara pandang di masa depan. Hanya saja tampilannya direka sedemikian rupa menjadi pementasan. Itulah kenapa teater di Indonesia disebut Sandiwara; Simbolisasi berita. Simbolisasi berita yang disajikan oleh teater bisa berwujud narasi-cerita, bentuk artsitik, bentuk pemanggungan, sistem pelatihan dan tampilan keaktoran yang direpresentasikan melalui tubuhnya.
Teater sebagai produk sosial-budaya, mulai dari era Yunani kuno, lahirnya revolusi industri Prancis hingga postmodern , atau di Indonesia ditandai peradaban Hindu-Budha sampai Islam, dinamika sosial-politik seperti pecahnya Kesultanan Mataram, periode kolonial-kemerdekaan, hingga kerusuhan 98/99. Kesenian khususnya teater mengalami pergeseran fungsi, perubahan bentuk-nilai, dan temuan dalam kontek estetika. Maka tidak salah apabila perkembangan kesenian khususnya teater disebutkan sejalan dengan pertumbuhan dan dinamika sosial yang terjadi di lingkungannya.

Sebagian kelompok teater ada yang memfokuskan dirinya untuk mencari-temukan gaya pemanggungan inovatif untuk menjawab tantangan zaman, ada pula yang setia merawat konvensi teater tradisi dan ada pula yang mengacu pada konvensi teater modern, serta ada pula yang mengaduk-campurkan konvensi tradisi dan modern, demi merangkum daya ungkap serta dipahami oleh masyarakatnya.

Lantas bagaimana kehidupan teater di Banten?

Sekda ramadhan

-Teater Banten

Pasca Teater Studio Indonesia yang terbaca ke Nasional bahkan menembus dunia internsional, sejatinya tetap hidup dalam pementasan-pementasannya, namun tidak banyak yang menuliskan secara lengkap kelompok Teater Banten, minimnya pembacaan pada perkembangan teater Banten disinyalir banyak faktor yang menjadikannya terbengkalai dari pandangan peneliti, namun lebih jauh dari itu, teater Banten senantiasa berdenyut di hampir setiap sekolah, universitas dan komunitas-komunitas yang memfokuskan diri pada penggalian estetika teater.

Pembacaan teater tiga tahun terakhir di Kota-Kabupaten Serang, memunculkan nama-nama yang giat melakukan pertunjukan: kelompok Teater Cafe Ide Untirta, Teater Kain Hitam-Gesbika UIN Banten, Kelompok Teater Windu-Solied Art, Teater Nol Jawilan, Teater Samagaha-Lisbu, Produksi Sendratasik Untirta dan sejumlah kelompok teater sekolah baik yang bersifat eskul ataupun tujuan Pensi dari guru Seni Budaya, serta ada beberapa kelompok yang terpisah dari sekolah dan kampus diantaranya: Teater Kembali, Teater Koridor dan Lab. Banten Girang yang hingga saat ini tetap melahirkan karya. Di Cilegon memunculkan nama-nama yang terakses dari pementasan yang dibawakannya: Teater Wong Kite, Teater Lidi dan Teater Raudhatul Jannah (Terajana). Di Pandeglang menjamur teater sekolah yang giat melakukan pementasan, katakanlah Teater Agata, Teater Bukit, Jurusan Tata Artistik Teater, Teater Eskalapa, Lingkung Seni Wisrawa, Pandawa Production dan satu UKM Kreasi UNMA serta satu kelompok teater yang berbaur dengan warga yang menamai dirinya Halaman Budaya Banten Bejalar Teater. Sedangkan di Tangerang, kelompok-kelompok teater jarang terakses dari pantauan Banten, mereka lebih terbaca sebagai bagian dari kelompok Jakarta, katakanlah Lab. Teater Ciputat, Teater Syahid UIN Ciputat, Teater Alamat Cina Benteng, dan grup teater yang bernaung di bawah Universitas Muhammadiyah Tangerang, mereka sering mementaskan pertunjukan teater sebagai bagian dari matakuliah umum. Di Kabupaten Lebak sendiri terbaca beberapa Kelompok, diantaranya: Teater Gates, Teater Guriang, Teater Gandrung, kelompok teater yang hidup di sekolah dan kelompok Gentra Budaya Sobang yang sampai saat ini setia mengusung bentuk tradisi Ubrug sebagai media ungkap meski dengan segala keterbatasannya.

Namun, nama-nama kelompok itu kerap kali bias dari pantauan pengamat, terutama pembacaan pada sejauhmana perkembangan dan ketajaman estetika yang diusung oleh setiap kelompok, dampak dari hal itu setiap kelompok melaju sendiri-sendiri bahkan ada beberapa yang mati suri serta ada pula yang membukarkan diri.

Uji-coba yang dilakukan untuk mengumpulkan teater Banten seperti Temu Teater Banten, Festival Teater yang diselenggarakan Taman Budaya, dan Festival dengan tajuk lomba untuk mendapatkan juara, sejatinya upaya untuk saling membaca kecendrungan estetik dari setiap kelompok yang tampil dalam acara festival tersebut, merangkum kendala yang menjadi benteng penghalang untuk berkembang, akses apresiasi ke luar Banten, akses pengetahuan dan wacana yang berkembang, kondisi pengelolaan acara, perkembangan apresiator/penonton Teater Banten, serta momentum festival untuk merayakan pencapaian estetik. Kerap kali pertemuan-pertemuan demikian menyampingkan tujuan utamanya serta abai pada basis data (database). Padahal database dapat digunakan untuk arsip, meninjau perkembangan bentuk dan pemikiran, serta menjadi pintu masuk untuk melahirkan kebijakan autentik-proporsional.

Kurangnya database, memunculkan pertanyaan sejauh mana pencapaian estik Teater Banten saat ini, terlebih bila disandingkan dengan wacana agung teater yang hidup di kota-kota besar di Indonesia?

-10 Teater Banten dan Tema Multatuli
Melalui Festival Seni Multatuli, sejumlah kelompok akan diundang tampil untuk menyuarakan pencapain estetiknya, mereka adalah kelompok yang merepresentasikan pencapaian estetik di Sekolah, Universitas dan Komunitas. Tiga lokus tersebut memiliki ciri tersendiri, terutama dalam metoda pelatihan yang dipakai, sistem pengetahuan teater, bentuk pemanggungan, dan manajemen pementasan.
Ada banyak kelompok yang merepresentasikan hal tersebut, terlebih kelompok yang hidup di Sekolah dan Kampus, karena di kedua lokus ini terdapat sistem yang tergolong baik untuk menopang-hidupkan geliat teater di Banten. Sedangkan komunitas yang mefokuskan dirinya pada penggalian teater belum menjamur seperti di kota-kota besar lainnya sehingga pemilihannya dapat tergolong mudah dengan acuan teritori Kabupaten-Kota yang ada di Banten.

Sering kali pemilihan ini menjadi momok debat yang tak ada ujungnya, disinyalir tidak mewakili objektifitas pembacaan pada setiap kelompok yang hidup di sekolah dan kampus. Spekulasi tidak dipilihnya kelompok dalam ajang festival teater bisa jadi ajang tersebut hanya diadakan untuk kebutuhan anggaran sisa dan yang penting ada, sehingga festival tersebut hanya sekali bergulir dan tidak akomodatif kepada kelompok lainnya, kemudian kelompok yang tidak kebagian pentas hanya bisa gigit jari lalu nulis status tak karuan di medsos dengan dalih kritik.

Ketegasan dalam pemilihan kelompok yang akan pentas pada perhelatan Festival Seni Multatuli didasari pembacaan sejauh mana kelompok tersebut melakukan pergumulan dengan metoda pelatihan, pembacaan wacana teater saat ini, pencarian bentuk pemanggungan, dan strategi manajerial dalam menghidupi kelompoknya. Selain itu kuota yang disediakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak tidak lebih dari 10 kelompok, hal tersebut berdampak pada banyak kelompok lain yang tidak akan terlibat.

10 kelompok itu, sejatinya merepresentasikan kelompok teater yang hidup di Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Tangerang. Diantaranya adalah Kelompok Teater Gates, Teater Syahid, dan Teater Genta Bahana Banten, tiga kelompok ini mewakili pencarian estetik di dunia Kampus. Sedangkan Teater Gandrung, Terajana, Solid-Art mewakili pencarian estetika teater yang berada di sekolah dan empat kelompok teater lain yang mewakili citra komunitas yaitu Teater Kembali, Halaman Budaya Banten Belajar Teater, dan Teater Wong Kite, serta ada satu kelompok teater yang mewakili teater tradisi Ubrug yaitu Gentra Budaya Sobang.

Selanjutnya 10 kelompok itu membaca tema Multatuli, mereka dipersilahkan mencuplik adegan dari tiga novel dan satu buku puisi yang disedikan: novel yang berjudul Max Havelaar karya Eduar Douwis Dekker atawa Multatuli, Sajak-sajak W.S Rendra Demi Orang-orang Rangkasbitung, Novel terjemahan bahasa Sunda R.T.A. Sunarya yang berjudul Saija karya Multatuli, dan novel saduran Bakri Siregar yang berjudul Saidjah dan Adinda. Selain itu, peserta dibolehkan merujuk penciptaanya pada esai-esai budaya tentang pro-kontra keberadaan novel Max Havelaar dan Multatuli sebagai asisten Residen Lebak.

Momentum Festival Seni Multatuli adalah celah yang bisa dikendarai oleh setiap kelompok untuk saling membaca, mengembangkan gagasan, berjejaring, dan kembali menguatkan prosesnya. Semangat Multatuli adalah semangat merubah kondisi, semangat mengakomodasi, dan melahirkan gagasan pertemuan yang brilian dalam perkembangan Teater Banten.(*/Admin)

[socialpoll id=”2513964″]

Honda