Tradisi Angon Wedus; Cilegon yang Kehilangan Bocah Angon

Dprd ied

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

APA yang ada dalam bayangan Anda kalau mendengar kata angon? Mungkin banyak diantara remaja di Kota Cilegon saat ini yang justru tidak mengetahui atau belum pernah mendengar kata angon.

Tetapi bagi Anda yang dewasa usia 25 tahun keatas mungkin kata angon terasa karib di telinga karena suasana di Kampungnya dulu atau bahkan dulu merupakan bagian dari aktivitas atau profesi sehari-hari ini.

Angon yang berarti mengembala, sebuah kegiatan yang merepresentasikan kearifan manusia kepada alam. Angon, kata dari para leluhur yang sudah menggunakannya sejak berabad-abad atau millenium silam yang belum mengalami perubahan bahasa sampai saat ini. Sedangkan Wedus. “Wis diuger teu weduse, Mad?!” (Ilustrasi bahasa Cilegon: Bapak kepada Ahmad, anaknya). Saya kira umumnya sudah pada tahu kalau Wedus artinya Kambing.

Bermula dari kunjungan ke Cikeray sebuah wilayah perbatasan Kota Cilegon dengan Kabupaten Serang, Jum’at (20/10/2017) sore kemarin. Tidak sengaja saya bertemu dengan orang tua yang sedang angon wedus, dan alangkah lucunya wedus-wedus tersebut mendekati saya seakan ia mengajak bercengkrama.

Ah, jadi teringat masa kecil dulu, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saya memang suka sekali angon wedus bersama teman-teman di tegal atau padang rumput di belakang Kampung. Selain wedus, beberapa warga Kampung saya juga banyak yang angon Kebo atau Kerbau, Bebek dan Ayam.

Namun itu dulu, mungkin bukan cuma saya sendiri yang mengalaminya, dimana rasa kegembiraan dan keceriaan senda gurau anak-anak orang dewasa hingga orang tua begitu mudah didapatkan di Kampung yang masih tampak hijau dan asri tanpa sibuk hati dan pikirannya: punya uang atau tidak.

Walau bisa dikatakan profesi, umumnya dulu angon dijadikan kegiatan sampingan dan selingan warga Kampung yang profesi utamanya adalah Tani. Dari banyak cerita orang-orang tua; Cilegon ini dulu di Kampung-kampungnya masih banyak sawah-sawah sebagai mata pencaharian utama warga. Apalagi saat bercerita yang momentumnya pernah kita alami seperti saat musim panen tiba, sawah-sawah bisa digunakan anak-anak untuk bermain sepakbola, Ikan-ikan sawah masih mudah didapat, saat panas terik, terdengar suara merdu seruling cah angon kebo. Ah, masih banyak cerita nostalgia masa lalu yang begitu indah yang saya kira sangat sulit didapatkan lagi di Kota Cilegon yang sepertinya makin mantap dengan gemerlapnya matrealistik pembangunan duniawi ini.

Saya tak sanggup menguraikan dari fase ke fase geliat pesatnya cukul industri, deru bising pembangunan kota, apalagi kalau sampai merincinya dari tahun ke tahun, karena bagi saya itu semualah yang menggusur lahan-lahan tani dan ladang angon, mem-brainwash akal dan pikiran warga Kampung sehingga menjadi gengsian, kemaruk-hedonis, pragmatis dan picisan. Jadi silahkan lihat wajah kota kita sekarang, tapi setelah itu bayangkanlah masa silam sebagaimana saya ceritakan di atas atau kalau mau lebih otentik selamilah masa silammu sendiri dan kalau mau lebih valid, saya sarankan jangan cari di buku sejarah atau di Mad Google, tanyakanlah kepada orang tua Anda, bagaimana cara hidup atau riwayat Kakek, Buyut, Canggah, Wareng, Krepek, dan seterusnya.

dprd tangsel

Dan tentunya dengan keadaan Cilegon sekarang, wajar kalau semakin jarang kita melihat atau menjumpai bocah angon wedus. Di Kampung pinggiran kota saja mungkin hanya tersisa satu-dua atau beberapa saja yang masih angon wedus.

Walaupun lahan angon masih cukup tersedia untuk angon, namun karena kebanyakan generasi warga Kampung sudah enggan untuk angon wedus karena sudah dirasuki, disusupi, virus kapitalisme global melalui teknologi-teknologi yang terus berkembang yang bisa masuk saku celana, bisa dibawa kemana saja bahkan bisa sambil jongkok di jumbleng.

Padahal, selain merupakan tradisi kearifan lokal yang sudah sedemikan lamanya diwariskan turun menurun, kegiatan angon wedus juga terdapat makna filosofis dalam konsep kepemimpinan Jawa yang sering menggunakan idiom-idiom yang berlandaskan budaya angon wedus. Posisi pengembala selalu di belakang binatang ternaknya. Ia mengikuti kemanapun wedus asal pada tempat yang baik, tidak melenceng kemana-mana. Si pengembala rela mengikuti. Maka, apakah sudah jarangnya angon wedus sebagai konsep perwujudan kepemimpinan yang baik merupakan amsal dari pemimpin di Cilegon sekarang?

Konsep kepemimpinan bocah angon tersebut diperkenalkan pertama kali oleh para Wali Songo dengan disosialisasikan dalam bentuk tembang Jawa, yakni Ilir-ilir. Dalam tembang tersebut, tugas yang sedang diemban bocah angon adalah memanjatkan pohon belimbing yang bergigir lima. Gigir lima bisa kita artikan sebagai rukun Islam, kelima sila Pancasila, yang jelas bukan mo-limo; maling, madon, madat, mendem, dan main.

Dalam proses memanjat tersebut, “lunyu lunyu yo penekno”. Selicin apapun harus kita panjat. Jatuh naik lagi, turun lagi, naik lagi, melorot lagi, naik lagi, hingga kita dapat meraih buah belimbing.

Bocah angon itu boleh kita ibaratkan pemerintah. Untuk pemerintah, kita suruh penekno. Negara ini tanggung jawab mereka. Jika mereka tak sanggup ya lagu itu untuk kita, rakyat, berarti peneken. Panjatlah sendiri. Sementara upayakan kemandirian, jangan mengharap pada negara 100%, tergantung pada ekonomi makro. Saatnya kita bangun etos kerja dengan memaksimalkan potensi yang ada.

Lantas apa makna bocah angon? Bocah angon selalu berada di belakang. Ia rela dipimpin. Ia tidak rakus kekuasaan, rakyat biasa, Manusia yang mempunyai watak dan kebesaran jiwa sebagai manusia biasa, sehingga ia tidak berpenyakit jiwa apa-apa. Ia tidak iri manakala orang lain berkuasa. Bukan manusia kerdil, rakus, yang selalu ingin berkuasa.

Ciri bocah angon yang lain adalah pada habitat budaya anak gembala. Egaliter, bersahaja, siap tidur di bawah pohon, belepotan dengan lumpur. Bukan priyayi feodal, bukan anak manja yang sedikit-sedikit sakit, bukan hedonis, dan ambisius kekuasaan.

Tapi sepertinya saat ini kita di Kota Cilegon, saya rasa belum mempunyai bocah angon. Yang kita miliki sekarang mungkin bukan pengembala bebek, melainkan bebeknya. (*)

 

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten

Golkat ied