Oleh: Sunano*
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam salah satu tulisan yang dibukukan dengan judul “Membaca Sejarah Nusantara, 25 Kolom Sejarah Gus Dur” (Yogyakarta: LKiS, 2010), pada halaman 22–24 menjelaskan tentang perang Jawa-Tiongkok.
Secara jeli Gus Dur menjelaskan tentang islamisasi Jawa. Bahwa alasan politik kekuasaan kurang rasional dalam perang Jawa-Tiongkok, yang mungkin adalah persamaan agama. Bahwa Raden Wijaya adalah seorang Muslim sehingga pasukan Muslim Tionghoa sudi membantu. Bahkan Gus Dur lebih lanjut menjelaskan bahwa Wijaya adalah nama yang dimilikinya, yaitu Oei atau Wie, yang dalam cabangnya disebut Wong atau Wang.
Jika benar apa yang dituturkan oleh Gus Dur, maka Majapahit didirikan oleh orang Islam dari etnis Tionghoa. Masalah sumber referensi memang tidak dijelaskan oleh Gus Dur, sehingga jika ada perdebatan sejarah mengenai bukti arkeologis atau bukti historis bahwa Raden Wijaya adalah Muslim akan susah dijelaskan.
Pakar sejarah Nusantara, Denys Lombard dalam buku “Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia” (Jakarta: Gramedia, 2005) menjelaskan bahwa sejak awal abad ke-13 terjadi revolusi bahari dan telah mendorong berbagai pelabuhan di Sumatera dan Jawa menjadi pusat perdagangan penting dan sangat ramai. Bersamaan waktu, Islam menyebar di semua pusat perdagangan, pelabuhan, dan mencapai puncak kejayaan dalam bentuk kesultanan Islam.
Lombard mengistilahkan, selama dua abad, Samudera Hindia menjadi lautan bersuasana Islam, tempat perdagangan Lautan Tengah dan Laut Cina Selatan menyatu secara alamiah.
Lombard lebih jauh menjelaskan bahwa banyak elite militer Dinasti Mongol yang sudah diislamkan telah mendorong para penasihat Kubilai Khan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran ke arah Jepang, Champa, Vietnam, dan Jawa. Pasukan tempur ini terdiri atas para pedagang, petani, dan tukang kayu Tiongkok Selatan yang sudah akrab dengan pelayaran ke Asia Tenggara.
Hal tersebut terwujud dalam catatan sejarah tentang kedatangan militer Tiongkok ke Indonesia dalam jumlah sangat besar pada waktu Dinasti Yuan berkuasa. Jumlah pasukan Mongol untuk menyerang Jawa dengan perkiraan mencapai 20.000 orang, yang terdiri atas banyak tentara Muslim. Upaya damai penaklukan kerajaan Jawa dilakukan dengan mengutus Men-Shi sebagai wakil Kubilai Khan agar raja Jawa tunduk kepada kekuasaan Mongol. Namun, upaya ini malah dicederai dengan melukai wajah dan memotong telinga utusan resmi tersebut.
Kronik peperangan antara Jawa dan Tiongkok pada masa Dinasti Yuan yang ditulis oleh WP. Groeneveldt dalam buku “Historical Notes Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources” (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009) menjelaskan tentang penyerangan pasukan Mongol.
Pada tahun 1293, Kaisar Kubilai Khan mengirim pasukan untuk menghukum Raja Singasari yang dipimpin oleh tiga jenderal; Shih-Pi, biasa dipanggil Tarkun yang berasal dari Po Yeh Disktrik Li Chou (Provinsi Chih Li). Merupakan wakil Kubilai Khan untuk menaklukkan Jawa. Selama Dinasti Yuan, menjadi kebiasaan orang Semu (orang Arab, Persia dan Turki), yang merupakan leluhur komunitas Hui, memakai nama Han China sebagai tambahan nama etnis mereka. Karena itu, sangat diyakini bahwa Shih-pi adalah jenderal Muslim.
Ike Mese yang berasal dari Uighur (Provinsi Xinjiang), yang merupakan suku terpandang, paling cerdas, dan berkebudayaan tinggi di antara suku-suku Turkistan lainnya. Xinjiang pada masa Dinasti Yuan merupakan salah satu provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jenderal ketiga adalah Gaoxing (Kau Shing) yang berasal dari Ts’ai Chou yang merupakan seorang dari bangsa Han.
Kedatangan militer Mongol tersebut membawa dampak signifikan terhadap jumlah populasi Tionghoa dan orang Islam di pulau Jawa dan Sumatera. Kegagalan penyerangan tentara Mongol menyebabkan banyak pasukan bisa kembali ke Tiongkok.
Mereka menyebar dan menetap di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa dan pesisir timur Sumatera. Sisa pasukan Mongol tersebut banyak mengembangkan teknologi kapal, pertanian, dan pertukangan yang sudah sejak lama maju di Tiongkok. Mereka juga membangun jaringan perdagangan antar pulau dan luar negeri.
Komunitas Muslim Tionghoa yang bermukim di Jawa terekam secara jelas oleh Ma-Huan yang membuat catatan perjalanan ekspedisi Laksamana Cheng Ho selama tujuh kali (1405–1433). Catatan tersebut menginformasikan komunitas Muslim Tionghoa di berbagai bandar pelabuhan yang dikunjungi Cheng Ho.
Di bandar pelabuhan Tuban, orang Tionghoa merupakan sebagian besar dari penduduk yang menurut taksiran mencapai “seribu keluarga lebih sedikit”. Di bandar pelabuhan Gresik, juga banyak orang Tionghoa menetap dan berdagang emas, batu mulia, barang impor. Banyak di antara mereka sudah menjadi pedagang kaya.
Mereka juga banyak yang menganut agama Islam dan mentaati aturan agama. Oleh Groeneveldt lebih rinci menjelaskan bahwa di ibukota Majapahit, penduduk terbagi menjadi tiga, orang Hui yang merujuk pada komunitas Arab, mereka makan dan berpakaian sangat layak dan bersih, orang Tionghoa yang banyak memeluk Islam dan Pribumi yang sangat kotor dan jelek.
Komunitas Islam di Majapahit jika merujuk pada sumber primer berupa situs makam sudah ada sejak Raja Hayam Wuruk. Kompleks makam raja-raja dan bangsawan Majapahit di Troloyo sebagai pemakaman Islam bagi keluarga raja. Kompleks makam Troloyo berada di selatan keraton berdekatan dengan perumahan bangsawan dan keluarga Raja Hayam Wuruk.
Seperti ditulis Adrian Perkasa dalam “Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit” (Yogyakarta: Ombak, 2012), menjelaskan bahwa kuncup makam pada kompleks makam Kubur Pitu (makam tujuh) menggunakan lambang surya Majapahit dan bertuliskan Arab “la ilaha illahu mukhammadun rasawlu allahu” dengan inskripsi angka tahun meninggal 1397, 1407, 1427, 1467, 1476 M.
Maka, jika melihat tahun meninggalnya, berarti merupakan makam keluarga raja sejak Hayam Wuruk, Wikramawardhana hingga Ratu Suhita. Penggunaan simbol surya Majapahit menandakan kedekatan hubungan dengan keluarga raja atau orang yang sangat penting.
Bukti nisan bertuliskan arab di kompleks pemakaman Troloyo menjelaskan bahwa Islam sudah berkembang pada puncak kejayaan Majapahit.
Catatan sejarah yang dipercaya sampai sekarang memang tidak ada yang menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Islam, tetapi Islam sudah mulai berkembang sejak awal berdiri. Komunitas Islam dari Arab dan Tiongkok memiliki posisi cukup penting sebagai ahli pertukangan dan saudagar kaya yang menguasai perdagangan eksport Majapahit.
*Sunano, penulis buku ‘Muslim Tionghoa di Yogyakarta’.