CILEGON – Belasan tahun Provinsi Banten berdiri dibawah kepemimpinan 3 gubernur sebelumnya, rakyat Banten selama ini seperti terdiam dan kehilangan daya kritisnya, terutama di era kekuasaan dinasti Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno yang dikenal sebagai pemerintahan korup. Padahal, dulu sekali 129 tahun lalu, Banten dikenal sebagai daerah dengan catatan perlawanan terhadap kekuasaan zalim.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo dalam bukunya ‘Pemberontakan Petani Banten 1888’, mengungkapkan pemberontakan besar petani yang dimotori oleh para ulama Banten pada 1888 sebagai salah satu bentuk perlawanan warga Banten atas kekuasaan dzalim.
Geger Cilegon adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten kala itu, terhadap kekuasaan pemerintahan dzolim Hindia Belanda yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.
Pemberontakan itu datang lima tahun setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883. Gerakan perlawanan awal mula terjadi pada 2 Oktober 1883, dua bulan setelah letusan. Seorang serdadu Belanda yang hendak membeli tembakau di Pasar Serang tiba-tiba saja diserang oleh seorang lelaki tak dikenal. Korban mencari perlindungan di sebuah toko China sementara pelaku kabur. Penangkapan dilakukan besar-besaran tetapi pelaku tak ditemukan.
Percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 19 November tahun yang sama. Kali ini, seorang pria masuk dengan paksa ke dalam tangsi militer di Serang. Setelah melukai penjaga bernama Umar Jaman, dia ditangkap. Para interogator militer menyatakan dalam laporan mereka bahwa motif serangan adalah kasus semangat ekstrem yang tidak bisa dijelaskan.
Menurut Sartono Kartodirdjo, pada hari-hari malapetaka itu, rakyat teringat kepada ramalan yang telah menyebut berbagai tanda kedatangan hari Kiamat. Rakyat diingatkan oleh Tuhan untuk bertobat serta sadar akan jalan tersesat yang ditempuh umat manusia, yaitu hidup di bawah pemerintahan kaum kafir Belanda.
Sejak peristiwa itu kehidupan beragama meningkat dan harapan rakyat terarah kepada suatu pembebasan. Peristiwa di Serang dan Cilegon itu merupakan suatu awal dari periode panjang perjuangan rakyat yang berpuncak pada 1888 dengan sebutan pemberontakan petani Banten atau “Peristiwa Geger Cilegon”. Pemberontakan itu dianggap sebagai titik balik sejarah perjuangan mengusir penjajah dari tanah Banten.
Di antara pejuang pada pemberontakan petani Banten atau yang populer dengan Peristiwa Geger Cilegon 1888 antara lain, KH Wasid, Haji Abdul Karim, Haji Akib, dan Ki Tubagus Ismail, Haji Arsyad Thawil, Haji Iskhak, Haji Muhammad Asyik, Haji Muhammad Hanafiah, Haji Muhidin.
Meskipun mereka pejuang yang namanya tidak begitu terkenal mereka adalah tokoh sejarah asal Banten yang mengorbankan jiwa demi tegaknya martabat Indonesia. Diantara mereka kehilangan nyawa dalam perjuangan, dan banyak juga tokoh lainnya yang berakhir dengan hukuman dibuang ke pengasingan di daerah yang jauh dari asalnya.
1. Haji Abdul Karim
Haji Abdul Karim adalah ulama besar di Banten yang paling menonjol saat gerakan pemberontakan. Dia dianggap sebagai orang suci di mata rakyat Banten. Dia tampil sebagai tokoh yang dominan di kalangan elite agama. Dia mendirikan pesantren yang didatangi banyak murid untuk berguru dalam waktu singkat. Selain rakyat, dia juga berhasil meyakinkan pejabat pamong praja untuk mendukung gerakannya.
Bupati Serang, penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan patih Haji RA Prawiranegara adalah sahabat-sahabatnya yang sangat terkesan oleh ide-idenya. Berkat kedudukan yang luar biasa, khotbah Haji Abdul Karim mempunyai [engaruh yang esar terhadap penduduk. Dia dianggap sebagai wali Allah yang dianugerahi barakat dan oleh karena itu seorang keramat. Di kemudian hari dikenal sebagai Kiyai Agung.
Keberadaannya tentu menjadi ancaman yang mencemaskan pemerintah kolonial. Gelombang kebencian pun muncul terhadap orang-orang Eropa. Pemusnahan kekuasaan asing menjadi tujuan gerakan Haji Abdul Karim. Kepada murid-muridnya, dia mengatakan tidak akan kembali ke Banten selama masih terbelenggu kekuasaan asing. Maka kemudian berangkatlah dia ke Mekkah, tanah airnya yang kedua dengan diantar oleh ribuan rakyat Banten.
Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.
2. KH Wasyid
Tokoh penting lain dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Kyai Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat.
Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke tahayul. Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu.
Berkali-kali KH Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, KH Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari.
Keadaan inilah yang membawa KH Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden. Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkannya menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Bersama Haji Tubagus Ismail, KH Wasid memimpin pemberontakan di Cilegon pada 9 Juli 1888 yang populer dengan sebutan Peristiwa Geger Cilegon. Berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pemberontak. Tetapi seorang pembantu rumah tangga Goebels dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan.
KH Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang diasingkan ke daerah yang jauh.
3. Syeikh Arsyad Thawil
Pada tahun 1311 Hijriyah/1893 Masehi, Syekh Arsyad Thawil pulang ke tanah kelahirannya, Banten. Pada saat itu Banten sedang dihadapi bencana besar, setelah Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang merenggut setidaknya 36.417 korban jiwa, kemudian disusul dengan terjadinya wabah penyakit hewan pada tahun 1885, pada saat itu pula masyarakat percaya akan tahayul dan perdukunan. Tak hanya itu, penjajah Belanda kemudian membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukukam-hukuman yang diberikan kepada rakyat secara tidak adil.
Kemudian para alim ulama dan petani sepakat untuk melakukan perang total dengan pihak kolonial Belanda yang kemudian disetujui oleh Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah dan beberapa ulama lainnya.
Secara serentak kaum muslimin ikut mengangkat senjata dalam jihad tersebut, termasuk Syeikh Arsyad Thawil. Syekh Arsyad termasuk tokoh utama dalam pertempuran Geger Cilegon 1888 sehingga ia menjadi ulama paling dicari oleh pihak kolonial.
Akibat pemberontakan itu Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten lalu mengasingkannya (semua pemimpin yang diasingkan berjumlah 94 orang). Beberapa yang diasingkan diantaranya: Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris ke Bukittinggi, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke Flores, Syekh Arsyad Thawil sendiri lalu dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Selainnya kemudian dibuang ke Tondano, Ternate, Ambon,Kupang, dan kota lainnya.
Namun di negeri pembuangannya, Syekh Arsyad aktif mengajar masyarakat di Manado. Ia mengajar dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, di antaranya adalah fikah, nahwu-sharaf, tasawuf, hadits dan lain-lain. Kiprah Syekh Arsyad Thawil di Manado memang tidak hanya berlaku sebagai tahanan saja, dengan keluhuran ilmu pengetahuan agama ia ditokohkan.
Tak kurang ratusan ulama dari Manado, Gorontalo, Ambon, Poso, dan daerah lainnya belajar kepada Syekh Arsyad. Ia pun diakui sebagai salah satu pembawa ajaran Islam ke wilayah mayoritas pemeluk Nasrani tersebut. Bahkan ia menikahi anak pendeta yang telah diislamkannya, bernama Magdalena Runtu.
Banyak alim-ulama Nusantara yang bersanad (muasal) ilmunya kepada Syekh Arsyad Thawil al-Bantani hingga ke atas. di antaranya seperti Habib Ahmad bin Husein bin Salim bin Djindan dan putranya, Habib Salim bin Djindan, dan Habib Alawi bin Abdurrahman bin Smith, Dari sanad ini lah juga akan menurunkan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani al-Makki. (*)