Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
Alkisah di sebuah Provinsi yang bernama Banten dimana rakyat dan pejabatnya sedang dilanda mabuk kemegahan. Tergila-gila keedanan pada pembangunan infrastruktur demi mitos kemajuan ekonomi. Biar tidak malu sama Jakarta, Bandung atau Surabaya mungkin. Yah begitulah kalau standar kemaluan sudah terlanjur impor, malu saja jadi tidak otentik.
Melihat semakin gencarnya pembangunan infrastruktur yang sudah, sedang dan akan diselenggarakan di tanah Banten, dari mulai Jalan Tol Serang-Panimbang, Bandara, Double Track dan Track Baru KAI, Kota Maja, JLU, Pelabuhan Warnasari, Reklamasi sana sini serta beragam investasi asing dari Pembangkit Listrik Swasta hingga Apartemen megah yang berlomba-lomba diundang untuk datang ke bumi Banten.
Dalam sudut pandang saya, ada dua perspektif soal infrastruktur, sederhananya; pertama, membangun infrastruktur demi memacu kegiatan ekonomi, ini adalah yang diaplikasikan oleh negara-negara kolonial pada negeri jajahannya. Kedua, membangun ekonomi dari bawah di Pedesaan kemudian infrastruktur menjadi salah satu efek dari keberhasilan ekonomi. Inilah yang tampak Banten semakin jauh saja.
Persoalan dalam membangun infrastruktur demi memacu ekonomi adalah infrastruktur belum tentu selesai sementara gejolak politik di depan mata. Keberhasilan ekonomi masih pertaruhan, sedang yang pasti adalah utang yang menggunung. Pun, ketika infrastruktur seperti jalan tol, lintas ini-lintas itu, pelabuhan dan bandara super megah dan lain sebagainya itu sudah rampung, lalu siapa yang pertama kali menikmatinya kalau bukan kaum kelas menengah ke atas. Masa masyarakat desa, kaum menengah bawah? Sudra? Mereka mah apa atuh.
Puntadewa kalah dan mesti melepas Hastinapura negaranya, bahkan Drupadi permaisurinya, dalam pertaruhan di meja judi melawan Kurawa (IMF, Bank Dunia, investasi asing sipit). Di mana sesungguhnya titik kesalahan Puntadewa? Apakah karena dia kalah? Apakah bila saat itu Puntadewa menang lantas pilihan untuk mempertaruhkan nasib bangsa menjadi benar?
Tidak! Sekali-kali tidak, kalah-menang Puntadewa, biarpun suntikan dana dari ekonom dunia menjadikan kemegahan, ketertataan dan kemakmuran tetap adalah sebuah dosa meletakkan negara sebagai bahan pertaruhan ekonomi global. Tapi Puntadewa mungkin masih seribu kali mending, karena dia kurang bisa ber-talbis. Talbis sendiri adalah cara buyut Iblis Menipu mbah Adam di surga dulu.
Kapan Membangun Jiwa dan Badannya?
Karena kalau lagu kebangsaannya masih sama seperti yang dulu, setahu saya liriknya adalah “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Apa sudah diubah jadi “Bangunlah infrastrukturnya”?
Pembangunan bandara internasional di daerah Lebak untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi Kota Jakarta yang semakin sumpek, menarik hati para wisatawan dan pemodal mau tidak mau membawa dampak sosio-kultural pada masyarakat, tidak hanya pada lokasi pembangunan bandara. Ada efek yang panjang, melebar dan jauh yang musti diantisipasi sejak dini.
Kemana masyarakat Banten akan mengaduhkan keresahan? Ke pemerintah? Ternyata tidak, pemerintah dari tingkat provinsi sampai pusat bukan pilihan utama bagi masyarakat untuk mengutarakan kegalauan.
Pemerintah seperti sesuatu yang ghaib bagi mereka, semacam ada tapi lebih banyak tidak adanya. Kalau sewaktu-waktu ada pejabat pemerintah yang mau mendengar suara rakyatnya, biasanya di situ juga harus ada kamera tivi, wartawan dan ya mungkin kamera hape yang aktif di sosial media supaya bisa dijadikan alat talbis pencitraan.
Rakyat Banten Harus Berjuang Melawan Penjajahan Global
Namun memang perubahan sedang di depan mata rakyat Banten, pembangunan infrastruktur yang berkiblat pada modernisasi, pemujaan terhadap berhala batu dan semen pada akhirnya mulai menggerus kepekaan-kepekaan terhadap hal-hal silmi. Guyub dan rukun terancam, bukan saja sesama manusia, bahkan kepada suara jangkrik padahal keberagaman bersama suara jangkrik itu sebenarnya masihlah keberagaman materialistik, masih dapat tercecap panca indera. Itu saja manusia modern banyak yang belum lulus lantas bagaimana Bhinneka Tunggal Ika sampai kepada hal-hal yang non-materi?
Ancaman terhadap kebersamaan dan keberagaman bukan saja datang dari pihak yang memang menyatakan menentang keberagaman, tapi juga terancam oleh yang mengaku sedang memperjuangkan keberagaman.
Teringat pesan guru besar saya Emha Ainun Nadjib yang mengatakan; “Lawan kita bukan Kristen, bukan Hindu, bukan Buddha. Lawan kita adalah penjajahan yang masuk ke dalam pikiran kita yang disebarkan melalui media-media. Di mana Islam diletakkan paling belakang. Islam selalu disalahkan, dihina dan dijelek-jelekkan oleh orang Islam sendiri yang memiliki kepentingan pada penjajahan global. Anda harus berpikir sebagai pejuang. Di mata Allah, pejuang itu yang nomor satu”.
Bila mendengar suara beliau, terpancar suatu harapan yang makin buram kembali tersulut, harapan untuk tetap menjadi diri sendiri di hadapan roda zaman yang mengikis otentisitas kedirian.
Bahwa desa adalah diri kita, jati diri, “Sampai nanti masuk surga, desamu tetap dibawa karena inilah titipan Tuhan padamu,” ungkap Mbah Nun. Harapan makin nyala.
Suket Teki, Kondisi Politik Nasional, Desa Titipan Tuhan
“Wong salah ora gelem ngaku salah.
Suwe-suwe sapa wonge sing krasan.
Mripatku uwis ngerti sak nyatane.
Sira selak gelati menangmu dewek.
Tak tandur pari jebul tukule suket teki…”
Seolah lirik Suket Teki memang berbicara tentang laku lampah sebentuk pemerintahan dan pendukungnya yang “hambegugug muto wathon” yang diingatkan sekian kali tetap saja “ora gelem ngaku salah” yaah “suwe-suwe sapa wonge sing krasan” kan. Sebuah lagu beraroma progresif revolusioner.
“Ini bukan sekadar soal nanti ada bandara. Bukan sekedar soal perubahan ekonomi atau sekedar perubahan budaya. Ini tingkatannya revolusi peradaban,” kata guru saya lagi.
Manusia Banten yang terbiasa dengan pola pandang holistik-siklikal karena dipengaruhi tatanan Keraton Kesultanan Banten pada saatnya nanti memang akan menghadapi perubahan drastis dengan “dipaksa” menghadap ke arah yang berbeda dari cara pandang mereka selama ini. Keraton yang semestinya adalah titik tengah, ahlul bayt, Krakatau akan terlupakan dan lautnya hanya menampung sampah kebudayaan.
Roda ekonomi akan bertumbuh tentu saja, bagaimanapun bandara itu besarnya kan butuh tukang bersih-bersih, satpam dan yang setingkat. Hinakah menjadi pekerja kecil semacam itu? Tentu tidak, hanya kalau nanti di akhirat ditanya soal desa titipan Gusti Ingkang Murbeng Rat lan Dimadhi, gimana kita menjawabnya?
Sektor perdagangan di wilayah Selatan tentu akan naik drastis. Namun juga pertaruhannya adalah pada perubahan corak, pola pikir, selera dan cita rasa.
Sekarang saja di wilayah Utara Banten yang dikenal heterogen memang sudah semakin terasa. Wajah Krakatau telah terburamkan asap dari cerobong-cerobong pabrik dan apartemen pencakar dan pengoyak langit. Bintang di angkasa Cilegon semakin jarang bisa dipandang. Spiritualitas dalam laku keseharian menjadi dangkal terkungkung dalam jual beli.
Spiritualitas yang terpisah dari keseharian dengan segera menjadi komoditas dagang, karena dengan mudah dikalengkan, diberi merek dan diperjualbelikan menjadi pelatihan-pelatihan yoga atau pelatihan shalat khusyuk.
Apakah kita akan membiarkan kebaikan yang ditandur oleh poro leluhur menjadi “malah cukule jebul suket teki”
Untuk Bahagia, Rakyat Banten Bangunlah Infrastruktur Bathin
Kita memang tidak memiliki lagi tokoh yang bisa menghibur, apalagi mencerahkan. Jangankan ulama atau negarawan, pelawak saja kita sudah gak punya. Secara ukuran matematis rasional, adakah jalan untuk memecahkan segala persoalan di Banten dan bangsa ini?
Apakah para warga desa dengan segala rutinitas hidup –yang sebenarnya malah beres tanpa ada negara– berkewajiban memikirkan ini semua? Maka adakah kewajiban selain menegakkan kegembiraan serta meneguhkan kedaulatan
“Pastikan kemandirian dan kedaulatan dirimu. Karena di Indonesia tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada adalah kedaulatan petinggi-petinggi politik,” pesan Mbah Nun.
Maka, Ayo Rakyat Banten bekerja berdaulat mempersiapkan diri. Kita berkumpul dan bergembira, bukan atas mitos sosok, bukan dengan alasan mitos-mitos dangkal, pula bukan karena moralitas kawanan asal ikut yang banyak. Kita bangun kekuatan infrastruktur bathin internal manusia kita yang tangguh menghadapi zaman baru! (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten
R