CILEGON – Hubungan darah dan keluarga masih menjadi penentu seseorang dalam mendapatkan jabatan. Di Indonesia praktik semacam ini ternyata masih tumbuh subur, baik di pemerintah pusat maupun di daerah.
Terbaru, publik di Cilegon dibuat heran dan menimbulkan prasangka serta tuduhan akan adanya praktik nepotisme di Pemerintahan. Yakni setelah Walikota Cilegon Edi Ariadi melantik adik kandungnya sendiri sebagai Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda), Jumat (9/10/2020).
Posisi Sekda ini bisa disebut merupakan jabatan orang nomor tiga di Pemerintahan, yang memimpin ASN dan juga bertugas mendampingi Walikota dan Wakil Walikota.
Istilah nepotisme ini mulai lekat ke telinga masyarakat Indonesia setelah Reformasi. Ketika itu, rakyat dan mahasiswa kerap mengaitkan rezim Orde Baru dengan tiga kata. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bentuk konkret praktik nepotisme ini dicontohkan saat Presiden Soeharto memberi keistimewaan kepada putranya untuk menggerakkan program mobil nasional. Bahkan anak perempuan dan beberapa kerabat Pak Harto pun menjadi bagian dari anggota kabinet.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme setidaknya memiliki tiga arti. Pertama, perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Berikutnya, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan atau pangkat di lingkungan pemerintah. Ketiga, tndakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Di dalam bahasa Arab, nepotisme disebut al muhabah. Digunakan untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan.
Lantas, bagaimana Islam memandang praktik nepotisme dalam kekuasaan?
Rasulullah SAW pernah dituduh berlaku nepotisme. Dalam HR Bukhari, dikisahkan bahwa ada beberapa pemuda dari kalangan Anshar yang menyindir Rasulullah SAW. Saat itu, Nabi sedang memberikan bagian kepada orang Quraisy berupa 100 unta sebagai bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) usai melawan suku Hawazin.
Orang Anshar itu mengatakan, “Semoga Allah SWT mengampuni Rasulullah SAW karena beliau memberikan bagian kepada orang Quraisy dan meninggalkan kita. Padahal, pedang-pedang kitalah yang menumpahkan darah-darah mereka.” Mendengar perkataan tersebut, sahabat Anas bin Malik lantas mengadu kepada Rasulullah SAW. Nabi pun mengutus seseorang kepada kaum Anshar untuk mengadakan satu pertemuan di kemah yang sudah dijaga sehingga tak ada orang lain mendengar pertemuan itu.
Di sana, Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh aku memberi bagian kepada orang-orang yang masa hidup mereka masih dekat dengan kekafiran. Apakah kalian ridha orang-orang itu pulang dengan membawa harta, sebaliknya kalian kembali ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah SAW. Demi Allah, sungguh apa yang kalian bawa pulang lebih baik dari apa yang mereka bawa.”
Kaum Anshar berkata: “Kami ridha wahai Rasulullah.” Kemudian Nabi bersabda lagi: “Sungguh sepeninggalku nanti kalian akan melihat banyak perkara yang sangat berat. Untuk itu, bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul SAW di telaga al-Haudl.“
Hadis tersebut merupakan klarifikasi dari Rasulullah bahwa tindakannya memberikan ghanimah yang besar bukan karena kedekatan sebagai sesama Quraisy. Pemberian tersebut lebih kepada strategi dakwah Rasulullah untuk mengambil hati kaum Quraisy yang baru saja memeluk Islam. Tak hanya itu, tudingan nepotisme pun patut diragukan karena sebelumnya Rasulullah mengalami siksaan dan intimidasi luar biasa dari kaum Quraisy semasa di Makkah. Rasulullah pun mengangkat derajat kaum Anshar karena dekat dengan Nabi.
Rasulullah juga sempat menunjukkan sikap penolakannya terhadap praktik nepotisme ketika seorang perempuan bangsawan ditangkap karena mencuri. Saat itu, kaum Quraisy kebingungan saat wanita bangsawan dari kalangannya ketahuan mencuri. Mereka pun meminta Usamah bin Zaid, sebagai pemuda yang disayangi Rasulullah, untuk meminta keringanan hukuman potong tangan yang divonis untuk perempuan tersebut. Nabi SAW pun berkhutbah usai berbicara dengan Usamah.
“Amma ba’du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, maka hukuman atasnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Muslim).
Selain secara tersirat, Rasulullah SAW pun secara tersurat melarang praktik nepotisme. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut: “Barang siapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah SWT, Rasulullah, dan orang-orang yang beriman.”
Karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta sempat mengeluarkan fatwa pada 12 April 2000. Ketika itu, masyarakat Indonesia masih dilanda euforia setelah Reformasi. Kutipan atas fatwa MUI DKI Jakarta berbunyi, “Nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang.”
Legalitas nepotisme secara terbatas itu pun sempat tersirat dalam QS an-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan serta memberi bantuan kepada kaum kerabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan Yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan larangan-Nya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhi-Nya.”
Mengangkat pejabat sedarah pernah dipraktikkan Khalifah Utsman bin Affan saat sedang memerintah. Hanya, Khalifah Utsman mengangkat berdasarkan keahlian dan integritas orang tersebut. Dia mengangkat beberapa pejabat, seperti Muawiyah sebagai gubernur Syam (satu suku) dan mengganti pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari dengan Abdullah bin Amir, yang masih sepupu Utsman.
Sosok Muawiyah dikenal sebagai politikus piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Muawiyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagai pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar ataupun Utsman. Dengan demikian, tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab, beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya tidak bisa dianggap ringan.
Begitu pun penggantian Gubernur Basrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi.
Setelah menurunkan jabatan Abu Musa, Khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Sayangnya, pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan. Rakyat pun menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basrah. Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut.
Berkaca dari sejarah Indonesia, perjalanan pemerintahan Islam dan ketentuan dari hadist-hadist dari Rasulullah tersebut, bagaimana masyarakat memandang praktik yang terjadi di Pemerintahan Kota Cilegon ??? Wallahu a’lam. (*/Red/Republika)