DIKISAHKAN Nabi Musa As yang ‘kelayaban’ naik ke atas Gunung Sinai, memenuhi panggilan Allah SWT. Musa pun menitipkan Bani Israil ke Nabi Harun As, saudaranya, untuk naik ke gunung Sinai (Thuursina), gunung Allah yang keramat itu. Sebuah tempat terkenal bernama Jabal Musa. Jabal Musa adalah nama sebuah puncak gunung tertinggi, dari sederetan gugusan pegunungan yang ada di semenanjung Sinai, Mesir.
Dinamakan Jabal Musa (Gunung Musa), karena di puncak gunung itulah Nabi Musa As menerima wahyu, selain menyampaikan beberapa keinginannya yang diantaranya ingin berjumpa dengan Allah SWT, sampai suruh menemui Nabi Khidir As. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Al Qur’an. Dalam agama Nasrani peristiwa ini terkenal dengan isitilah “Ten Commandments atau Decalogue”.
Menurut salah satu tafsir, Nabi Musa As menaiki puncak Thuursina ini saat dilanda rasa takut dan putus asa tatkala menghadapi Fir’aun. Dimana dari perasaannya tersebut, maka disampaikanlah permintaan kepada Allah SWT untuk dijadikan sebagai Makhluk pertama dan menjadi Nabi terakhir, tentunya permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Allah SWT, karena ketentuan_Nya Makhluk pertama yakni Nur Muhammad, jauh sebelumnya sudah Diciptakan, dan untuk menjadi Nabi terakhir pun belum waktunya, yang kelak diutus adalah Nabi Muhammad SAW Bin Abdullah dan Siti Aminah.
Nabi Musa As pun semakin “manja” kepada Allah SWT, sehingga berkeinginan berjumpa/ melihat Wajah Allah. Ia meminta sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan manusia di muka bumi. Ia meminta dapat melakukan penglihatan yang teragung, permintaan yang didorong oleh desakan rindunya, dorongan harapannya, gejolak cintanya, dan keinginannya untuk menyaksikan Allah yang Maha Mulia.
Namun dengan belas kasih_Nya, Allah SWT, dijelaskan kepada Nabi Musa As bahwa dirinya tidak akan dapat melihat Allah karena tidak akan mampu. Allah menunjuk sebuah gunung dimana jika gunung tersebut masih berdiri kokoh ketika Allah menampakkan diri maka Nabi Musa bisa melihat.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Engkau sekali-kali tidak akan mampu melihatku, tetapi arahkanlah pandangan engkau ke gunung itu. Maka jika ia tetap pada tempatnya, niscaya engkau dapat melihatku…” (QS. Al-A’raf: 143).
Gunung tersebut tampak kokoh berdiri dan lebih kecil keterpengaruhannya dan responnya daripada manusia. Akan tetapi, apakah gerangan yang terjadi?
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh…” (QS. Al-A’raf: 143).
Lantas bagaimana bentuk dan cara ‘penampakan diri’ Allah tersebut? Kita tidak bisa menyifati atau mengidentifikasinya.
Seluruh puncak gunung tersebut tenggelam hingga terlihat rata dengan tanah, hancur berantakan. Musa sangat takut, dan berlakulah sesuatu pada keberadaan dirinya sebagai manusia yang lemah.
“Dan, Musa pun jatuh pingsan…” (QS. Al-A’raf: 143).
“Maka setelah Musa sadar kembali….” (QS. Al-A’raf: 143).
Kembali kepada dirinya, dan mengetahui ukuran kemampuannya, dan menyadari bahwa dia telah melakukan permintaan yang melebihi batas. Lalu Nabi Musa disuruh belajar kepada hamba Allah yang lebih berilmu dari dirinya.
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu.
Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir AS.
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke.ari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 61-65)
*Belajar Ilmu Masa Kini, Masa Depan, dan Masa Silam Dalam Kehidupan*
Setelah bertemu Nabi Musa As meminta kepada Nabi Khidir untuk diperbolehkan mengikuti dan berkenan mengajarkan ilmu kepada kepadanya. Yang kemudian Nabi Musa dianjurkan sabar dan dengan syarat tidak bertanya.
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Akan tetapi, dalam perjalanannya Nabi Musa sampai tiga kali mempertanyakan perbuatan Nabi Khidir yang dinilainya melanggar syariat Allah. Pada akhir perjalanannya, Nabi Khidir menjelaskan perihal perbuatannya tersebut.
Tiga pertanyaan Nabi Musa itu adalah saat Nabi Khidir melubangi kapal, mencekik anak kecil dan mendirikan tembok yang roboh.
Melubangi kapal adalah ilmu masa kini, dimana pada saat itu raja yang berkuasa suka merampas kapal-kapal bagus yang melewati wilayah tersebut. Dan dengan bocornya kapal, maka kapal yang sedang ditumpanginya tidak dirampas.
-Mencekik anak kecil adalah Ilmu Masa Depan, Nabi Khidir sengaja membunuh anak kecil tersebut karena dengan ilmu ma’rifatnya ia tahu kalau nanti setelah besar anak kecil tersebut akan menjadi orang kuat yang banyak membuat kerusakan terhadap orang yang beriman.
-Mendirikan tembok roboh adalah ilmu masa silam, dimana dibawah tembok tersebut terdapat harta karun peninggalan masa lalu yang bisa dipergunakan oleh ahli warisnya yaitu anak-anak yatim.
Mungkin ilmu masa kini, masa depan, masa silam itulah yang diajarkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Ilmu yang seharus kita pijaki dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apalagi arus globalisasi modern sedang deras-derasnya mendera kita, sehingga kita lebih banyak melupakan sejarah masa silam, lupa asal usul dan meninggalkan kebudayan dari para leluhur. Atau bahkan mungkin ada sebagian dari kita yang hanya berpikirnya hanya masa depan_sedang berdiri di 2017 tapi isi hati dan pikirannya (Bati-bati politik) 2018/19 dan seterusnya.
Padahal tentang ilmu masa silam banyak hal yang bisa kita gali dan pelajari dinegeri ini. Kebudayaan dan peradaban bangsa kita ini sangat tua, tentunya sangat kaya raya dalam segalanya, ragam, corak etnis, bahasa, masakan apalagi sejarah dan isi bumi lautnya.
Ilmu masa kini, masa depan dan masa silam ini hendaknya selalu disadari dalam kehidupan kita, ketiganya adalah siklus yang hendaknya dipahami secara posesioning untuk bisa mengambil ketepatan presisi berfikir didalam mendasari keputusan-keputusan yang kita lakukan.
Bahkan ilmu ini tanpa disadari sudah diaplikasikan oleh banyak bapak kepada anaknya, seperti illustrasi berikut ini: “Nak, kamu ini kok bandel banget sih (Masa kini), lha terus besok-besok kamu mau jadi apa? (Masa depan), Bapak mu dulu, bandel juga gak sampe begitu! (Masa lalu).”
**
Maka tatkala hamba Allah yang bernama Khidlir mendapat hak-hak spesial yang para Nabi dan Rasul lain tidak dikasih oleh Allah, itu juga ambil saja rasa syukur dan ilmunya. Khidlir boleh melakukan kriminalitas, bahkan teror. Ia membocorkan kapal yang ditumpanginya. Kemudian membunuh anak-anak. Lantas tanpa dibayar ia memperbaiki pagar besar dan panjang. Musa protes, dan itu yang membuat beliau lulus secara khusus. Bahwa beliau bertanya, itu melanggar janji dengan Khidlir, sehingga Sang Guru meninggalkannya. Hadza firaqun baini wa bainak.
Tetapi Nabi Musa lulus karena teguh pertahanan moral dan hukumnya. Bahkan mempertahankan kebijaksanaan sejarah, tidak langsung memberontak kepada Khidlir, menantangnya berantem atau apapun bentuknya.
Perpisahan Khidlir-Musa bukan peristiwa kegagalan ilmu, melainkan peneguhan pemilahan antara kebenaran dengan kebathilan. Musa mengambil ‘Ilmul Khudlur” dari Khidlir. Ilmu kehadiran. Bahwa sehebat-hebat perjuangan Musa melawan Fir’aun, ia tetap memerlukan “kehadiran” kuasa Allah. Maka dihadirkanlah Khidlir. Kuasa bumi tidak bisa berdiri sendiri. Tetap ada kuasa langit. (*/Ilung)
(Dikutip dari berbagai sumber)