CILEGON – Tahun 2018 menjadi periode yang cukup berat bagi Industri baja nasional. Dimana importasi membanjiri pasar dalam negeri dari produk hulu hingga produk hilir. Kondisi ini menjadi faktor defisitnya neraca perdagangan RI selama tahun lalu.
Namun atas usulan dan keluhan yang diajukan produsen baja, asosiasi baja serta serikat karyawan produsen baja nasional, pemerintah memberikan respon positif dengan menerbitkan ketentuan baru importasi besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 tahun 2018 yang berlaku sejak 20 Januari 2019.
Meski demikian, masih banyak terdapat hal yang perlu dilakukan khususnya untuk mengendalikan importasi dalam rangka memperbaiki neraca perdagangan RI dan meningkatkan kinerja industri baja nasional yang utilisasinya saat ini rata-rata hanya mencapai di bawah 50 persen.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim, mengungkapkan permasalahan lain yang juga dihadapi berkaitan dengan membanjirnya produk baja impor ke pasar dalam negeri, yakni maraknya produk baja impor ber SNI. Seperti diketahui bahwa tujuan dari penerapan SNI adalah sebagai technical barrier untuk mengendalikan importasi, namun nyatanya produk impor ber SNI dari produsen baja luar negeri dengan sangat mudah masuk ke Indonesia sebagai akibat adanya kemudahan dalam pemberian SPPT-SNI bagi produsen baja luar negeri.
“Industri baja ini merupakan mother of industry, sehingga perlu kita lindungi dari ancaman produk impor, baik dengan tariff barrier maupun non-tariff barrier seperti penerapan SNI wajib,” ujar Silmy.
Selain terkait dengan importasi, industri baja juga saat ini dihadapkan pada permasalahan maraknya pabrik dengan teknologi induction furnace yang merupakan relokasi dari China. Dimana di China sendiri pabrik dengan induction furnace yang merupakan obsolete technology telah dilakukan penutupan sejak tahun 2014 dikarenakan tidak ramah lingkungan.
“Selain tidak ramah lingkungan, proses produksi dengan menggunakan teknologi induction furnace juga menghasilkan produk baja yang tidak memenuhi persyaratan kualitas terutama untuk baja kebutuhan konstruksi karena proses produksi yang dilakukan sederhana, tanpa melalui proses refining, dan tidak menerapkan quality control yang ketat. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan sangat berbahaya bila digunakan untuk pekerjaan infrastruktur,” jelas Silmy.
Dalam menyikapi kondisi dimana banyaknya produk non standar yang beredar dan memperhatikan keamanan pengguna, Krakatau Steel bersama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) bekerjasama untuk melakukan hal-hal yang diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi industri baja nasional dan pengguna baja.
Dalam rangka pengembangan daya saing industri baja di Indonesia, Kepala BSN, Bambang Prasetya melakukan kunjungan kerja ke pabrik PT Krakatau Steel (Persero), Tbk yang berlokasi di Kawasan Industrial Estate Cilegon, pada Jumat (29/03/2019).
BSN melakukan kunjungan industri ke pabrik PTKS Cilegon sebagai awal mula kerjasama dalam membentuk tim teknis antara PTKS dan BSN. Melalui kunjungan tersebut, sebagai produsen baja hulu yang merupakan badan usaha milik negara dengan saham mayoritas milik pemerintah, PTKS diharapkan menjadi model dan pelopor penggerak industri baja yang berkomitmen penuh terhadap penerapan SNI untuk mensinergikan pengembangan industri baja hulu dan hilir di Indonesia, agar pelaku industri baja domestik dapat menghasilkan produk baja yang berdaya saing dan sesuai standar sebagai upaya untuk membendung impor.
“Kami ingin mempromosikan industri-industri yang memiliki cerita sukses dalam menerapkan SNI bagi produknya, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi industri lain dalam penerapan SNI, khususnya SNI baja,” ujar Bambang.
Bambang mengatakan, komitmen PT Krakatau Steel dalam penerapan standar dapat menjadi contoh bagi industri lainnya.
“Penetapan SNI baja didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertimbangan perlindungan konsumen dari beredarnya baja yang tidak aman. Saat ini, BSN telah menetapkan 11.815 SNI, untuk produk baja, BSN sudah menetapkan 36 SNI,” jelasnya.
Terkait produk yang dihasilkan oleh PTKS, yaitu Hot Rolled Coil (HRC) dan Cold Rolled Coil (CRC) telah menerapkan SNI wajib yaitu, SNI 07-0601-2006 dan SNI 07-3567-2006. Sedangkan Wire Rod menerapkan SNI sukarela dengan SNI 07-0053-2006.
“Penerapan SNI sukarela membuktikan bahwa menerapkan SNI tidak harus dipaksa melalui regulasi atau pemberlakuan SNI secara wajib,” ungkap Bambang.
Dalam kunjungan industri tersebut, BSN menyatakan akan mendukung industri baja nasional khususnya Krakatau Steel yang menjadi role model penerapan SNI serta memastikan penggunaan baja sesuai standar untuk sektor konstruksi dengan mengabolisi SNI 7614:2010, yaitu Baja batangan untuk keperluan umum (BjKU).
“Berdasarkan hasil rapat tim baja (Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BSN, asosiasi produsen, dan pakar akademisi) pada tanggal 28 Februari 2019 lalu disepakati bahwa SNI ini diusulkan untuk diabolisi, dengan terlebih dahulu mencabut Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan SNI Baja batangan untuk keperluan umum (BjKU) secara wajib yang dikeluarkan oleh Kemenperin. Usulan abolisi dikarenakan adanya kesulitan dalam pengawasan penggunaannya di lapangan,” jelas Bambang.
Saat ini, terdapat 2 SNI terkait baja yang dianggap sulit dalam pengawasan penggunaannya di lapangan, yakni SNI 7614:2010 Baja batangan untuk keperluan umum dan SNI 2052:2017 Baja tulangan beton.
Sebagaimana diketahui, ruang lngkup SNI 7614:2010 menetapkan istilah dan definisi, syarat mutu, syarat lulus uji, penandaan dan penggunaan baja batangan untuk keperluan umum. Yang dimaksud BjKU dalam SNI adalah baja berbentuk batang, berpenampang bulat dengan permukaan polos yang digunakan bukan untuk keperluan penulangan konstruksi beton, yang dihasilkan dari canai panas atau canai panas ulang.
Sementara, ruang lingkup SNI 2052:2017 Baja tulangan beton menetapkan acuan normatif, istilah, definisi, bahan baku, jenis, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan, syarat lulus uji, dan cara pengemasan baja tulangan beton yang digunakan untuk keperluan penulangan konstruksi beton dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan.
Adapun yang dimaksud baja tulangan beton yang dalam SNI ini adalah baja karbon atau baja paduan yang berbentuk batang berpenampang bundar dengan permukaan polos atau sirip/ulir dan digunakan untuk penulangan beton. Baja ini diproduksi dari bahan baku billet dengan cara canai panas (hot rolling).
Kedua SNI inilah yang secara kasat mata sulit dibedakan dalam pengawasan di lapangan dan penggunaannya sering disalahgunakan.
“Di lapangan, penggunaan SNI 7614:2010 Baja batangan untuk keperluan umum sering dipakai untuk konstruksi bangunan. BjKU seharusnya digunakan contohnya untuk teralis atau pagar. Lain halnya dengan baja tulangan beton, yang memang harus digunakan dalam konstruksi bangunan. Apabila tidak memenuhi SNI, dapat memunculkan risiko,” tegas Bambang.
PTKS adalah salah satu dari sekian industri yang menerapkan selain SNI secara wajib juga SNI sukarela. Bagi perusahaan, penerapan SNI baja sangat penting karena untuk keselamatan terutama bidang konstruksi. Apabila tidak memenuhi SNI, dapat memunculkan risiko yang mungkin saja bisa mengancam nyawa manusia.
“Penerapan SNI akan menentukan kualitas produk baja, khususnya untuk penggunaan di sektor konstruksi karena berdampak langsung pada aspek keamanan dan keselamatan masyarakat umum sebagai pengguna akhir baja, dimana hal tersebut ditujukan untuk menghindari terjadinya kerusakan struktur yang dapat menyebabkan korban jiwa khususnya pada saat terjadi gempa bumi. Maraknya produk baja non-standar menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh industri baja nasional sehingga perlu menjadi komitmen dan perhatian bersama untuk menyelesaikannnya. Sinergi antara Pemerintah, Asosiasi Baja dan Produsen Baja Nasional harus terus ditingkatkan untuk mewujudkan kemandirian industri baja nasional dan berdaya saing tinggi,” tutup Silmy. (*/Red)