CILEGON – Saat pengambilan sumpah anggota dewan terpilih pada Rabu (4/9/2019), sejumlah wartawan tidak bisa mengakses masuk ke dalam gedung karena tidak memiliki id card khusus peliputan dari panitia.
Padahal adanya pembatasan tersebut melanggar Pasal 18 Ayat 1 UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dimana setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Wartawan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Forum Komunikasi Wartawan Cilegon (FKWC) Kota Cilegon, mengecam sikap Kepolisian Resort Cilegon dan Sekretariat DPRD, yang menghambat kerja wartawan. Bahkan wartawan yang mengaku kesal akan menggelar aksi.
Ketua IJTI Kota Cilegon, Adim Muchtadim menjelaskan, wartawan tidak dianggap dihalangi melakukan peliputan dan pengambilan informasi soal pengambilan sumpah jabatan itu pelanggaran undang-undang.
Adim menyatakan, dalam tuntutannya pihaknya meminta 3 hal, pertama Kapolres AKBP Rizki Agung Prakoso dan Ketua DPRD Kota Cilegon Endang Efendi, untuk meminta maaf secara langsung kepada wartawan.
Kedua meminta agar sejumlah pihak yang bertanggungjawab, seperti Sekretaris DPRD Kota Cilegon Didi Sukriadi, dan Kabagops Polres Cilegon Kompol Sujatna, dicopot dari jabatannya.
“Karena Sekwan bertanggung jawab dengan semua proses pengambilan sumpah dan pengamanan,” tegas Adim.
Ketiga, Adim berharap kejadian pembatasan peliputan tidak boleh lagi terjadi kalangan Pemerintahan Kota Cilegon dan institusi lainnya.
Adim menegaskan, adanya Id Card yang distempel pihak kepolisan baik untuk tamu dan panitia menjadi bukti jika kepolisan dan dewan bertanggungjawab atas pelarangan liputan tersebut.
Adim menyatakan, dengan pembatasan peliputan sama halnya mengkebiri demokrasi kebebasan pers.
“Ini bukan lagi jaman orde baru. Ditambah paripurna itu juga terbuka untuk umum, siapa saja bisa masuk,” kecam Adim.
Uri Masyhuri, wartawan Koran Banten Raya yang juga mengaku jadi korban pelarangan peliputan, menilai bahwa kinerja stakeholder di DPRD Cilegon membatasi kebebasan pers.
“Kita tidak menyalahkan sekretariat dewan dan polisi, kita hanya ingin memastikan jika ini pelanggaran undang-undang soal kebebasan pers. Ini juga bentuk evaluasi untuk seluruh stakeholder, kita pewarta bukan teroris,” tegas Uri.
Uri yang juga anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Cilegon, menegaskan bahwa dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers ada sanksi pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi kinerja pers.
“Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp500 juta,” tegas Uri. (*/Ilung)