Makna Identitas: Muslim, Cendekia, Pemimpin

Oleh : Deby Rosselinni (Korwil PII Wati Banten)

 

Tidak ada kebaikan pada diri pemuda yang merasa cukup. Dan keberkahan hanya ada pada pemuda yang punya obsesi tinggi.” (Ahmad Syauqi)

Identitas itu penting, karena menjelaskan siapa kita. Identitas lebih dari ‘stempel’ orang lain atas kita, tetapi apa yang kita yakini atas diri kita sendiri. Maka kita terus berupaya ‘menjadi’, sesuai dengan konsep diri yang kita yakini. Identitas pun bersifat dinamis, mengikuti pergemulan pemikiran dan perasaan kita. Identitas kita sebagai Muslim misalnya, sudah cukup jauh kita melangkah, melewati lorong-lorong usia yang terus melaju; menghadapi segala persoalan hidup, rintangan yang terkadang membuat kita lelah, lelah berjuang.

Selama hampir lima tahun berjuang di Pelajar Islam Indonesia (PII), banyak hal yang telah mewarnai hidup saya. Termasuk membentuk identitas diri. Sepanjang jalan yang telah terlewat begitu banyak keindahan yang menyejukkan, dan juga hambatan yang mengusik jalur lurus yang saya kehendaki. Tetapi, semua kader (jika boleh saya katakan) yang telah mengikuti Pelajar Islam Indonesia (PII) hingga ke jenjang selanjutnya; pernah bergadang dua minggu dan sakit memikirkan umat, akan dibuat jatuh cinta dan sulit meninggalkan organisasi ini meski sering dibuat pusing.

Berbeda dengan kegiatan lain, di Pelajar Islam Indonesia (PII) susahnya saja saya bahagia. Hidup bukan lagi soal gengsi atau pencapaian prestasi di mata masyarakat. Sebab di sini, kepercayaan saya dilatih dan diuji akan kekuatan dan kebesaran Allah Swt yang tiada tandingannya. Ketika segala harapan pupus dan menjadi gelap, menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah adalah solusi, agar dijamin keselamatan dan kesejahteraan hidup. Contoh kasus, saat pertama kali ikut mengadakan LBT atau LIT—ini pengalaman yang sampai nenek-nenekpun mungkin tak pernah saya lupakan.

“Bahkan, barang siapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah SWT sedang dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 112)

Identitas itu penting, karena menautkan kita pada asal-usul kita. Manusia dibedakan dengan makhluk lain adalah karena ditiupkannya ruh Allah Subhanahuwata’ala yang menjadi salah satu unsur kedirian manusia. Dengan unsur ini manusia mampu mendayagunakan instrumen jasad dan hayatnya untuk menangkap dan memahami kebenaran (QS. As Sajdah [32]: 9, Al Hijr [15]:29, At Tahrim [66]: 12, Al Mujadilah [58]: 22) yang kemudian akan memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupannya.

Ruh adalah kekuatan berfikir yang memungkinkan manusia menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran seperti yang dikatakan Al-Ghazali dalam Al-Ihya sebagai sesuatu yang halus dalam diri manusia yang akan memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat mengungkapkan pengertian serta bersifat ketuhanan.

Dalam Catur Bakti, Pelajar Islam Indonesia (PII) merupakan tempat dimana para kadernya mengembangkan potensi diri sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Setiap diri manusia memiliki potensi; potensi kepemimpinan, kesenian dan kebudayaan. Dalam hal ini potensi kader-kader Pelajar Islam Indonesia (PII) diwadahi dan dikembangkan melalui berbagai program. Sebab tidak ada kebaikan pada seseorang dalam hidupnya, bila ia membiarkan dirinya seperti barang yang tak berharga.

Kita sebagai manusia, tidak diciptakan kecuali untuk mengabdi dan memberi maslahat. Maka sesungguhnya manusia yang paling berharga adalah dia yang paling banyak mengabdi kepada-Nya, paling kuat usahanya mengajak orang kepada kebaikan, dan paling banyak memberi guna. Tanpa itu, kita telah menyiakan hidup ini di hadapan-Nya, padahal hidup adalah karunia yang mahal dan penuh dengan pertanggung jawaban.

Masing-masing manusia bertanggunjawab atas apa yang dilakukannya (QS. Al An‟am [6]: 164) Heterogenitas manusia kemudian diaktualisasikan di dalam kehidupannya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengubah dan mendayagunakan potensi diri (QS. Al Anfal [8]: 53, Ar Ra‟d [13]: 11).

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam aktualisasi diri dan berada pada jalan kebenaran akan senantiasa mendapat bimbingan-Nya (QS. Al Ankabut [29]: 6).
Ingatlah, lebah yang sakit akan terbuang dari sarangnya, karena ia tidak lagi bernilai. Pohon yang menngering, akan disingkirkan dari kebun karena tak ada lagi manfaat yang bisa diharap kecuali sekadar menjadikannya kayu bakar.

Begitupun dengan manusia, hendaknya memiliki kontribusi dalam hal apapun, semampunya dalam membangun peradaban Islam. Bukan justru menjadi beban yang memberatkan orang lain.

Dengan tujuan “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi seluruh rakyat Indonesia dan ummat manusia”, para kader Pelajar Islam Indonesia (PII) telah dilatih untuk menjadi seorang Muslim, Cendekia, dan Pemimpin.

Muslim, Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Wadah Pembentukan Pribadi Muslim, meyakini bahwa nilai-nilai Islam adalah satu-satunya nilai yang benar dan wajib untuk diimplementasikan dalam segenap aspek hidup: memiliki sikap ketundukan hanya kepada Allah saja dalam arti konsepsi dan cara pandang, sikap dan aktualisasi berada dalam garis bimbingan dan rido Allah. Dengan demikian, segala bentuk gerak, langkah yang diambil dan semua unsur-unsur organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) harus disusun serta dilaksanakan dalam perspektif Islam.

Partisipasi Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk turut terlibat membentuk peradaban manusia melalui gerakan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, pun tak lepas dari kerangka ini.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Ada dua perkara yang tidak bisa diungguli keutamaannya oleh yang lain, yaitu: iman kepada Allah dan memberi manfaat kepada muslim.” Sebagai seorang muslim kita harus yakin Allah bersama kita. Ketergantungan hati kepada Allah, sebagaimana diuraikan Ibnu Qayyim, hanya bisa dimiliki oleh orang yang sungguh-sungguh membina dan mendidik jiwanya, dengan selalu mengaitkan segala persoalan dari sudut yang benar: Islam.

Maka menjadi Islam, semestinya lebih dari sekadar label agama pada kartu identitas, tetapi juga menjelaskan perilaku kita sehari-hari. Karena Islam adalah jalan hidup.

Cendekia, dalam arti upaya meneladani sifat fathanah nabi, sehingga memiliki wawasan dan antisipasi yang luas serta kerangka metodologi yang kuat sehingga dapat menangkap dan memahami keberanian, mengkonseptualisasi dan mengaktualisasikannya secara komprehensif. Cendekia juga berarti kader Pelajar Islam Indonesia (PII) akan mampu memahami Islam dan berbagai hal dengan kreatif dan dinamis.

Pendidikan seumur hidup (long live education) telah dikenal umat Islam dari risalah Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam sejak 14 abad yang lalu. Menjadikan intelektualisme (kultur belajar) sebagai komitmen sepanjang usia, penting dilakukan. Komitmen ini harus terus dijaga, tak hanya saat masih aktif di kelembagaan formal Pelajar Islam Indonesia (PII), melainkan juga ketika telah menjadi kader umat di lain tempat. Di lingkungan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) sendiri, intelektualitas harus menjadi karakter kader yang dibangun melalui berbagai macam program, terutama dengan mentradisikan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada penguatan intelektual, misalnya: melalui forum-forum diskusi, kegemaran membaca dan berlatih menulis gagasan secara ilmiah, serta berbagai aktivitas lain yang berbuah terhadap pencerahan akal-budi dan intelektualitas baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan aktivitas-aktivitas ini pula diharapkan konsistensi intelektualitas itu tetap terjaga.

Inilah yang disebut Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Wahana Penghantar Sukses Studi.

Pemimpin, berarti memiliki sikap dan kemampuan sebagai seorang pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, yang mampu mengambil keputusan secara tepat dan mengelola potensi lingkungannya menjadi sesuatu yang bernilai dalam aktualisasi kekhalifahannya. Sebagai pemimpin diri sendiri dan calon generasi penerus bangsa, kader Pelajar Islam Indonesia (PII) memegang teguh komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap negara bukan diberikan kepada pemerintah (peguasa), melainkan kepada eksistensi negara itu sendiri. Eksistensi negara, di dalamnya mencakup fungsi-fungsi keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap negara adalah komitmen penegakan atau transformasi nilai-nilai ilahiyah berupa penciptaan keadilan, pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran.

Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah Islam memiliki visi dan misi untuk diperjuangkan. Setiap muslim dan muslimat yang mengimani, mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam akan dihadapkan pada halangan, rintangan, dan tantangan berupa godaan, cobaan dan ujian. Oleh karena itu ia harus sabar, yaitu tabah hati menanggung segala resiko sebagai konskuensi orang yang berpegang teguh pada pendirian dan bersikap serta bertindak sesuai dengan pendiriannya itu (istiqamah).

Di Pelajar Islam Indonesia (PII), kader dan anggota dilatih untuk mengembangkan daya nalar, tanggungjawab dan kepedulian terhadap permasalahan-permasalahan sosial. Sehingga mereka –para kader dan anggota Pelajar Islam Indonesia (PII), merupakan komunitas yang tidak berjarak dinamika masyarakat itu sendiri. Setiap kader dan anggota dilatih untuk tampil sebagai pemimpin, tandang ke gelanggang walau seorang menjadi pelopor bukan saja didalam lingkungan organisasi tetapi juga di masyarakat luas. Untuk menjadi pelopor, penggerak dan penjaga misi perjuangan guna mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Sebab itulah, Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Alat Perjuangan.

Telah kita ketahui bersama, begitu banyak alumni Pelajar Islam Indonesia (PII) menjadi sosok yang menginspirasi, menjadi tokoh besar di negeri ini. Sebagai muslim yang taat, seorang cendekia yang luar biasa, dan pemimpin yag menawan. Tak perlulah saya sebutkan satu persatu, sebab itu akan menghabiskan beratus-ratus halaman.

Identitas para kader Pelajar Islam Indonesia (PII) telah terbentuk. Kompetisi yang semakin sulit di masa ini, menjadi tantangan yang berat bagi orang-orang yang tak memiliki identitas diri dan kreatifitas. Bekal pengetahuan tidak lagi menjadi memadai, sebab perkembangan pengetahuan dan informasi demikian pesat. Dalam waktu yang relatif pendek banyak pengetahuan menjadi basi, banyak keterampilan menjadi kurang berguna lagi. Bukan Cuma penumpukan informasi yang banyak di otak kita yang dibutuhkan, melainkan melatih otak untuk terampil mengolah semua yang diterima, agar menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita.
Maka Pelajar Islam Indonesia (PII) menampilkan kader-kader kreatif yang telah memcoba membangun keberartiannya dengan potensi diri masing-masing di organisasi ini, perjuangan yang tiada henti. (***)

Biodata Deby Rosselinni

Menulis cerpen, puisi, novel dan esai. Beberapa karyanya telah dimuat di berbagai media dan diterbitkan. Ketua bidang Kaderisasi Pengurus Wilayah PII Banten 2016-2018, dan sekarang sebagai Ketua Koordinator Wilayah PII WATI Banten 2018-2020. Tinggal di Cilegon. Mahasiswi di Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Debyrosselinni6@gmail.com. Fb: Deby Rosselinni.

 

CendekiaMuslimPemimpin
Comments (0)
Add Comment