Siapa yang Peduli Menjaga Alam Cilegon Dari Kerusakan?

*) Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

 

DIANTARA kurang lebih setengah juta penduduk yang tinggal di Cilegon ini mungkin banyak yang merasa bahkan mengklaim sudah makmur, sejahtera, subur, dan menghidupi ini.

Tapi mungkin tidak sedikit pula yang resah dan khawatir dengan kondisi alam di kotanya tersebut.

Memandang dan merenungi tentang alam di kota yang makin bangga dengan jargon kota industri. sehingga membuat terlena, lupa tentang sawah, tegalan, air kali yang tinggal sedikit saja yang mengalir dan ketika hujan meluap jadi banjir, tentang tanah-tanah yang berubah menjadi pabrik, menjadi jalan raya, jadi bangunan-bangunan yang mencitrakan kemajuan zaman.

Tanah-tanah dijual kepada siapapun yang berduit, duit digunakan biaya pergi ke tanah suci, biaya anak sekolah. Ah itu masih mending, tapi ada yang menjualnya karena cuma pengen punya mobil, memanjakan anak atau bahkan hanya demi gengsi semata. Prikehidupan di kota tercinta telah berubah pesat, dari era agraris ke era industri, meskipun harus menjadi kacung di kota sendiri.

Alam dikotaku makin rusak, coba tataplah di bagian Selatan. Bahwa banjir yang sering terjadi belakangan ini di hampir semua kecamatan di Kota Cilegon, karena daerah hulu yaitu kawasan perbukitan cadas sudah tak lagi bisa menjadi penyimpan atau serapan air ketika hujan turun. Aktivitas manusia nya makin berorientasi pada kepentingan bisnis membuat mereka habis–habisan membabat tumbuhan, mengambil pasir hingga kadang menyisakan kubangan hanya untuk memperkaya diri. Mereka tak lagi berpikir dampak buruk atas peristiwa banjir dan keutamaan lain dari adanya tumbuhan baik berupa keindahan, membuat udara sehat dan sejuk serta manfaat lainnya.

Ironisnya, di kota ini semakin jarang pula kudengar obrolan seputar lingkungan di Cilegon yang semakin mengkhawatirkan, yang seharusnya dibahas serius oleh pemerintah kota (Pemkot) Cilegon dan dicarikan solusinya serta adanya tindakkan tegas yang riil. Sementara warga, yang dalam benak sanubari mereka merasa khawatir akan kondisi lingkungan di Cilegon ini, seakan tak berdaya melawan para perusak alam yang berduit tebal.

Penanganan banjir hanya berkutat pada wilayah hilir, padahal jelas pengakuan Sekertaris Daerah Pemkot Cilegon pada saat hearing persoalan banjir di DPRD tanggal 13 Februari 2018 lalu, bahwa pada tahun 2017 fokus menangani banjir di dua kecamatan yakni Pulomerak dan Jombang. Namun, nyatanya pada 9 Februari 2018 banyak sekali pemukiman warga di Kecamatan Jombang yang terendam banjir seperti Jombang Gardu, Rokal, Kampung Jambu, Sukmajaya, dan sebagainya. Pun dengan Kecamatan Pulomerak, sekitar sepekan yang lalu banjir menerjang kawasan utara Kota Cilegon itu.

Dan kegagalan itu sepertinya tidak mau diakui oleh Pemkot Cilegon, bahkan seolah tidak mau mengevaluasi diri. Hal ini didasari karena pada hari ini (Rabu, 14/3/2018) melalui program Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPRUTR), masih saja berkutat soal pemberihan sampah di wilayah hilir, tepatnya di aliran Kali Pasar Kranggot. Tanpa adanya upaya mencegah banjir di wilayah hulu dengan menindak tegas atau memberhentikan tambang-tambang pasir yang jelas-jelas telah merusak kawasan resapan air.

Lalu kemana para pegiat lingkungan di kota ini?

Semakin jarang kudengar suaranya. Melalui tulisan ini, kupanggil, kusentuh hatinya untuk kembali menyuarakan tentang kelestarian lingkungan, menajaga alam dari kerusakan.

Mungkin diperlukan jalan gila, nekat yang didasari keikhlasan dan kerelaan untuk melakukannya. Tak perlu bantingan biaya besar untuk apa semua itu. Sementara kita punya pilihan lain obsesi-obsesi porsi proyek serta receh-receh yang dalam bahasa ekstremnya hanya “bebalung” atay tulang.

Tema tentang lingkungan. Selama ini mungkin banyak diantara kita berujar dalam batinnya, “untuk memikirkan tentang lingkungan, pelestarian alam, sedangkan mereka yang diberi tugas dan biaya untuk itu saja tidak menggubrisnya?

Walau kita kere, bodoh tak punya pangkat dan jabatan ini itu, dan bahkan tidak punya kewajiban untuk melakukan itu, tetapi ini adalah jalan ibadah untuk berkeringat, ngempet ngelih, nggetih memperjuangkannya, mengapa?

Karena itulah jawaban dari keresahan, kekhawatiran tentang alam yang rusak. Jalan gila memang, gila tetapi sebenarnya ini adalah jalan hijrah. Jalan pindah dari kondisi yang buruk, kondisi menuju tenggelam ke kondisi yang baik. Dan perjalanan hijrah memang tidak mudah butuh pengorbanan.

Harus bermodal cinta dan kekompakan bersama untuk bergandengan tangan saling menguatkan dan modal cinta untuk kota Cilegon tercinta. (*)

 

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Daerah IndustriKerusakan Lingkungan
Comments (0)
Add Comment