SERANG – Wacana yang digulirkan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi soal pelarangan pemakaian cadar dan celana cingkrang dikdi kalan Aparatur Sipil Negara (ASN) mendapat kritikan dari Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banten Imam Maulana.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara multikultural di mana setiap orang memiliki cara berpakaian yang berbeda-beda. Tidak seharusnya cara berpakaian seseorang digeneralisir atau diidentikkan dengan paham tertentu.
“Saya fikir Indonesia ini kan negara yang menjunjung demokrasi, artinya setiap warga negara diberikan kebebasan untuk melakukan apapun selagi masih dalam koridor yang benar sesuai dengan falsafah bangsa. Kalau ada pelarangan cadar dan celana cingkrang, saya kira itu aturan yang gak masuk akal dan bentuk pengekangan terhadap kebebasan,” kata Imam saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon selular, Senin (5/11/2019).
Ia menilai, segala hal yang digeneralisir berasal dari kekhawatiran dan ketakukan akan sesuatu yang akan terjadi. Bila tindakan tersebut dilakukan justru menunjukkan sikap tidak bijak.
Selain itu, menurutnya soal selera berpakaian merupakan hal sensitif yang erat kaitannya dengan ideologi seseorang. Muslimah yang memakai cadar atau muslim yang memakai celana cingkrang tentu memiliki pandangan tersendiri.
“Kalau yang menggunakan cadar atau celana cingkrang itu motifnya adalah ekspresi ketaatan terhadap agamanya, ya biarkan sajalah. Gak ada hubungannya dengan terorisme, radikalisme, atau ekstrimisme,” paparnya.
Sedangkan radikalisme dan terorisme yang dikaitkan dengan cara berpakaian seseorang lanjutnya, aparat penegak hukum memiliki cara untuk mengatasi tindakan yang memecah belah bangsa.
“Radikalisme dalam perspektif frame publik hari ini adalah radikalisme dalam konotasi negatif. Seperti tindakan-tindakan yang ingin memecah belah bangsa atau ingin mengganti Pancasila. Saya kira tidak ada hubungannya sama cadar atau celana cingkrang. Jelas alasan tersebut tidak mendasar,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan, berarti sudah tidak mencerminkan pribadi bangsa Indonesia.
“Menag perlu hati-hati dan tidak gegabah dalam mengeluarkan kebijakan. Apalagi kebijakan tersebut ternyata banyak ditentang, artinya banyak menyinggung hajat orang banyak. Semestinya kementerian agama bekerja lebih substantif lagi,” tegasnya. (*/Ocit)