Mengabdi 12 Tahun, Pegawai Honorer DJKN Banten Ini Bukannya Jadi P3K Malah Diberhentikan Sepihak

 

SERANG – Kasus kepegawaian baru-baru ini mencuat dari lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kantor Wilayah Banten yang berkantor di Kota Serang.

Di tengah harapan banyak pegawai honorer untuk naik status menjadi ASN atau P3K, nasib berbeda dialami seorang pegawai honorer instansi di bawah Kementerian Keuangan RI ini, yang ternyata malah dipaksa mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas.

Menurut pengakuan pegawai tersebut, dirinya sudah mengabdi selama lebih dari satu dekade di DJKN Banten. Dan kini, dia merasa diperlakukan tidak adil oleh atasan di kantor tempatnya bekerja.

Pegawai honorer DJKN Banten tersebut berinisial IN (32 tahun).

Hal ini bermula ketika dirinya dipanggil untuk rapat dengan pimpinan, yang memberitahukan bahwa alasan dirinya harus berhenti adalah karena suaminya bekerja pada instansi lain.

Padahal selama bertahun-tahun, IN mengaku telah bekerja dengan penuh dedikasi di DJKN tanpa ada masalah yang berarti terkait kinerjanya.

“Saya sudah mengabdi selama 12 tahun di sini, namun saya dipaksa untuk berhenti hanya karena suami saya bekerja di salah satu instansi lain. Ini sangat tidak adil. Seharusnya, prestasi dan kontribusi saya yang dinilai, bukan status pekerjaan suami saya,” ungkap IN dengan nada kecewa kepada wartawan, Senin (13/1/2025).

IN juga menambahkan bahwa selama ini dia merasa terhormat bisa bekerja di instansi pemerintah, meskipun hanya berstatus sebagai pegawai honorer dari instansi vertikal.

Dia merasa seharusnya mendapatkan perlakuan yang lebih baik, terutama di era di mana banyak pegawai honorer lain yang mulai mendapatkan perhatian lebih terkait kesejahteraannya. Namun, kenyataannya ia justru diminta untuk mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas.

“Saya siap mengikuti semua peraturan baru yang diberlakukan untuk melanjutkan kontrak kerja saya. Tapi, justru pimpinan di sini malah menyerang mental saya dengan opini-opini yang menyuruh saya untuk berhenti bekerja. Ini sangat membuat saya kecewa,” tambah IN.

Selain itu, IN juga merasa bahwa jika memang ada kebijakan pemangkasan pegawai honorer, keputusan tersebut harusnya didasarkan pada kompetensi atau keahlian, bukan berdasarkan status pribadi atau keadaan keluarga.

Menurutnya, alasan suami yang bekerja atau status kepemilikan rumah dan kendaraan tidak seharusnya menjadi dasar untuk memutuskan nasib seseorang yang telah mengabdi lama di sebuah instansi.

“Kalau memang harus ada pemangkasan pegawai honorer, mestinya keputusan itu diambil berdasarkan kinerja dan kompetensi, bukan faktor pribadi seperti suami yang bekerja atau memiliki rumah dan kendaraan. Semua pegawai honorer berhak diperlakukan dengan adil,” tegasnya.

Sampai saat ini, IN merasa kebingungannya semakin besar. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri,

“Kemana saya harus mencari keadilan? Siapa yang bisa membantu saya untuk memperjuangkan hak saya sebagai pegawai honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun?” tanyanya.

Kasus ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana pegawai honorer diperlakukan oleh pejabat di lingkungan pemerintahan.

Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi honorer, kejadian seperti ini justru menunjukkan adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh pegawai yang sudah lama bekerja.

Sementara itu, pihak terkait belum bisa dikonfirmasi terkait adanya pegawai honorer yang diduga dipaksa untuk berhenti bekerja di kantor DJKN Banten tersebut. (*/Rijal)

Comments (0)
Add Comment