SERANG – Tradisi lisan merupakan salah satu kekuatan budaya yang dimiliki Indonesia khususnya di Banten. Banten ternyata memiliki tradisi lisan luar biasa.
Demikian yang diungkapkan Niduparas Erlang, Peneliti Tradisi Lisan, mahasiswa doktoral Ilmu Susastra FIB UI yang juga dosen Universitas Pamulang pada Seminar Sejarah Banten yang membahas mengenal tradisi lisan Banten dan jenis-jenisnya dalam upaya pelestarian nilai-nilai budaya daerah.
Sebelum membahas tradisi lisan di Banten, Niduparas membahas tradisi, yakni segala sesuatu yang diwariskan dari satu generasi berikutnya. Paling tidak bertahan dua generasi.
Sementara lisan, merupakan segala wacana yang bukan aksara. Niduparas juga mengungkap folklore yang berkaitan dengan folklore lisan, folklore setengah lisan, folklore bukan lisan.
“Tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita, mitos, legenda, dongeng tapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni. Atau segala wacana yang diucapkan, meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sebagai sistem wacana yang bukan aksara,” paparnya, seperti dikutip di Kanal YouTube Museum Negeri Banten yang diunggah pada Sabtu, 9 Juni 2022.
Dikatakan Niduparas, berbagai tradisi lisan berfusi dan berakulturasi bahkan beberapa sudah tidak teridentifikasi itu bagian tradisi lisan pra Islam di Banten.
Ia memilih dua sisi sebagai sampel yakni masyarakat pesisir dan peladang. Masyarakat peladang dianggap jauh lebih tua sistem pertanian dalam bentuk persawahan.
Pengkajian tradisi lisan, lanjut dia, pendekatan yang dilakukan terhadap tradisi lisan tidak boleh hanya memusatkan perhatian padan teks atau secara tekstual saja, melainkan perlu dibarengi dengan pendekatan terhadap konteksnya atau secara kontekstualnya juga.
Untuk itu penekanan penelitian atau pengkajian tradisi lisan bukan hanya pada teks (lisan) melainkan juga pada konteks pagelaran tradisi lisan itu sendiri yang meliputi performance, pesan, dan audiens.
Niduparas juga membahas warisan budaya tak benda yang meliputi tradisi dan ekspresi lisan, seni pertunjukan, adat istiadat masyarakat adat, ritus, dan perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta, serta kemahiran tradisional.
Ia menghadirkan 9 dari 10 objek pemajuan kebudayaan sesuai UU pemajuan kebudayaan no.5 tahun 2017. Yakni berupa tradisi lisan, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, ritus juga manuskrip.
Untuk tradisi lisan di Banten, Niduparas membaginya dalam periode Islam dan pra-Islam.
Untuk periode Islam mencakup berbagai tradisi lisan dalam masyarakat pesawah, lingkungan kesultanan, pesantren, dsb. (Jawa, Sunda, Lampung, Cina Benteng, Betawi, Bugis dll)
Sementara periode paa-Islam mencakup berbagai tradisi lisan dalam masyarakat pesisir (Cirebon-Indramayu) dan masyarakat peladang (Sunda).
Sedangkan untuk bentuknya berupa larungan, karinding, calempung, calung renteng, angklung buhun, carita pantun, kacapi pantun atau buhun, ngalemar, jampe, banghalikan atau sasuilan.
Larungan menurut Niduparas, masih dilestarikan oleh masyarakat nelayan di Pakuhaji, Tangerang. Sementara karinding masih dibudayakan masyarakat Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Kabupaten Tangerang.
Pada calempung lanjutnya, masih bisa ditemukan di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Dan calung renteng masih ada di Kabupaten Pandeglang. ***