SERANG – Komunitas adat Kanekes yang lebih populer disebut Baduy, kini menghadapi ancaman serius. Yakni hilangnya satu generasi. Hal ini terungkap dalam jumpa pers yang dilakukan para pecinta dan pemerhati Baduy pada Sabtu (10/10/2020) di salah satu cafe yang di Kota Serang.
Dalam kegiatan itu, turut hadir pemerhati Baduy Uday Suhada, Jaro Pamarentah dari lembaga adat Baduy Saija, keturunan ke 9 Wirasuta (Pangeran Astapati, panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa yang berasal dari Baduy Dalam), Lisa Karnaatmadja dan Seniman Banten Rohaendi serta anak-anak muda yang tergabung di Indigenous Organic.
Uday mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi Baduy saat ini. Menurutnya Baduy saat ini memgalami banyak perubahan yang membahayakan.
“Mereka terancam kehilangan satu generasi. Penyebab utamanya adalah kemajuan teknologi. Android yang dimiliki dan digunakan oleh anak-anak Baduy telah merubah pola pikir, sikap dan perilaku mereka. Kini sebagian besar anak muda Baduy enggan lagi membantu orang tuanya berhuma,” ujar Uday.
Dalam diskusi itu terungkap bahwa tercatat sebanyak 9.000 nomor handphone atas nama warga Baduy di Desa Kanekes yang teregister di Kominfo Lebak. Yang aktif sekitar 6.000 nomor.
Sementara, komunikasi yang dibangun sebelum masuknya Handphone kata Uday, tahun 1994 hingga tahun 2007 an, komunikasi mengandalkan telepati.
“Dulu saya berkali-kali mengalami hal itu. Kini android menjadi andalan mereka,” ucapnya.
Bahkan android itu lanjut Uday, kini sudah menjadi sarana untuk berniaga secara online. Yang mengkhawatirkan adalah tidak adanya kontrol terhadap konten yang mereka akses. Mayoritas mereka adalah pengguna medsos, bahkan menjadi YouTuber, tiktok dan sebagainya. Mereka bebas mengakses konten apa saja dan kapan saja.
“Sementara orang tuanya, disamping sibuk berhuma, juga tidak faham apa itu android, medsos dan apa bahayanya dari content negatif yang merusak cara berfikir dan berperilaku anaknya,” jelas Uday.
Persoalan ini ditambah lagi dengan menjamurnya YouTuber yang membuat content tentang Baduy yang sering melangkahi hukum adat Baduy.
“Karena itu saya mengajak para pengguna medsos untuk lebih bijak dalam membuat konten. Hormati hukum adat dan jangan eksploitasi mereka,” harapnya.
Jaro Saija sebagai Kepala Desa Kanekes tidak membantah kondisi tersebut. Saija pun merasa kesulitan menghadapi situasi yang merubah perilaku anak muda Baduy.
“Makanya saya mengharapkan bantuan dari pemerintah dan para pemerhati Baduy dalam menghadapi masalah ini. Kami tidak ingin generasi penerus kami hancur karena kemajuan teknologi. Sebab tugas hidup orang Baduy itu adalah bertani, melestarikan adat istiadat, bukan main medsos,” ujar Saija.
Sementara Lisa Karnaatmadja sebagai keturunan Baduy mengungkapkan keterpanggilannya untuk memperbaiki kondisi tersebut.
“Anak-anak saya di Indigenous Organic didorong untuk melakukan sesuatu. Alhamdulillah atas ijin dari Pemangku Adat Baduy Dalam dan Jaro Pamarentah, telah membuat film dokumenter yang berjudul Urang Kanekes, Satu Generasi yang Hilang yang akan dipublish dalam waktu dekat ini” terangnya.
Sedangkan Rohaendi mengungkapkan keprihatinannya atas banyaknya akun medsos dengan embel-embel Baduy.
“Saya temukan banyak akun anak muda Baduy yang membuat status, mengupload foto dan tiktokan, yang sebenarnya ditabukan. Maka saya kontak satu persatu, menegur dan mengingatkan mereka,” pungkasnya. (*/Faqih)