Temuan Ombudsman Banten pada PPDB 2024, Ada Markup Nilai Rapor

SERANG – Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Banten merilis sejumlah temuan selama pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di Provinsi Banten. Temuan itu juga didapat atas laporan dari masyarakat, serta hasil pemeriksaan dugaan maladministrasi khususnya pada PPDB di semua jenjang baik SD, SMP, maupun SMA Negeri.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Banten Fadli Afriadi mengatakan, ada tujuh masalah yang ditemukan, meliputi keterlambatan penyusunan petunjuk teknis (juknis), transparansi pengisian kursi kosong SMA, hingga markup nilai rapor.

Selain itu ada penambahan daya tampung, siswa titipan, jual beli kursi, hingga kredibilitas lembaga penyelenggara kompetisi.

“Untuk juknis ini nyatanya ada keterlambatan dalam penyusunan sehingga ada beberapa kendala yang akhirnya muncul,” kata Fadli dalam acara Media Briefing, di kantornya, Kota Serang, pada Senin, (22/7/2024).

Ombudsman menyoroti terkait adanya temuan praktik markup nilai, yaitu dengan mengubah nilai rapor milik siswa agar bisa diterima di sekolah impiannya.

Hal ini bisa terjadi karena juknis PPDB tidak mengisyaratkan verifikasi faktual raport yang diunggah pada sistem.

“Banyak kita temukan ini, karena siswa tidak perlu membawa fisiknya (rapor), dan ini tidak disyaratkan dalam juknis itu,” ujarnya.

Pihaknya mengaku masih terus melakukan pemeriksaan terkait adanya praktik yang dapat merugikan siswa lain yang layak untuk masuk sekolah yang diinginkan.

Berdasarkan hasil investasi ke sekolah, bahwa markup nilai tidak dilakukan oleh pihak sekolah, dengan begitu hal itu bisa dilakukan oleh oknum.

“Yang aneh itu, kalau dilihat data tahun ini nilai terendah jalur prestasi rata-rata 80 bahkan sampai 90. Ini luar biasa,” jelasnya.

“Maka kami berharap jangan sampai sekolah itu kejar-kejaran nilai, kalau tidak layak jangan dipaksa, tapi ini perlu di dalami,” tambahnya.

Yang tak kalah heboh lanjut dia, terkait temuan pada kredibilitas lembaga penyelenggara kompetisi, yang mengeluarkan sertifikat prestasi.

Berdasarkan temuannya, terdapat salah satu lembaga yang membuat ajang kompetisi olimpiade salah satu mata pelajaran secara online, dan dapat diikuti secara gratis.

Namun peserta harus membayarkan sejumlah uang bila ingin mendapatkan poin emas dalam sertifikat yang dikeluarkan. Sertifikat itu pun diakui oleh sekolah, dan bisa menjadi tambahan poin agar siswa bisa diterima.

“Setelah kita lihat ternyata mendapatkan emas itu ada 100 orang, dan itu tetap diterima dan diakui, dan juga diberikan poin,” katanya.

“Misalkan nilainya 84 kemudian dari emas tambahan 18 poin langsung jadi 92 diterima itu. Ini perlu pendalaman, termasuk secara juknis agar tidak membingungkan,” sambungnya.

Sementara untuk temuan lainnya seperti jual beli kursi, penambahan daya tampung, hingga siswa titipan merupakan praktik yang sering terjadi setiap tahunnya.

Menurutnya, praktik itu akan berdampak besar pada kualitas pendidikan di Banten. Misalnya daya tampung yang melebihi satu rombongan belajar (rombel) akan membuat siswa tak nyaman, dan penyampaian guru yang tidak maksimal.

“Secara ketentuan ini sudah diatur, kalau misalkan satu rombel 32 orang sedangkan dipaksa menjadi 40 orang maka akan berdampak pada mutu pendidikan,” katanya. (*/Faqih)

Comments (0)
Add Comment