FAKTA – Kyai Haji Entol Burhani merupakan salah satu tokoh penting di Mathla’ul Anwar (MA), organisasi sosial keagamaan yang berdiri di Menes, Pandeglang, Banten pada 1916.
Posisinya terakhir di organisasi ini adalah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar pada 1985-1991, serta ketua Majelis Fatwa pada 1992 hingga wafat pada 1994, dikutip dari Website Resmi MA.
Meski karir kepegawaiannya tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama (kini, Kementerian Agama) dengan jabatan terakhir Kepala Seksi Urusan Haji Kandepag Kabupaten Pandeglang, tetapi posisinya di MA telah berada di puncak sebagai Sekretaris Jenderal sejak 1950.
Artinya, pengaruh beliau di organisasi sosial keagamaan nampak lebih pesat dibanding dengan karirnya sebagai pegawai pemerintah.
Mungkin karena KH Burhani lebih mengutamakan pengabdiannya sebagai aktivis di Mathla’ul Anwar, ketimbang mengejar jabatan di Departemen Agama.
Padahal, andai mau memanfaatkan posisinya di MA untuk mendongkrak nilai jualnya sebagai pejabat, bukan tidak mungkin ia berhasil menduduki jabatan penting dan strategis, baik di tingkat kabupaten atau provinsi, bahkan di pusat sekalipun.
Tapi kyai yang selalu tampil bersahaja itu enggan melakukannya.
Ia lebih ingin tampil apa adanya, mengabdi sesuai dengan posisi yang diamanatkan kepadanya.
Hampir sepanjang kepengurusan K.H. Uwes Abu Bakar ia selalu dipercaya sebagai Sekjen sampai wafatnya Ki Uwes pada 1974.
Hanya pada periode 1974-1984 ia tidak terlibat secara intens di MA (meski menjabat sebagai salah satu ketua), karena adanya perbedaan orientasi keagamaan dengan kepengurusan Ketua Umum KH. Saleh Su’aedi yang cenderung Wahabi dan memiliki orientasi politik Islam ala Masyumi-Parmusi serta tidak terlampau simpatik terhadap ideologi Pancasila dan pemerintah yang berkuasa.
Meski demikian, posisinya di PB tetap penting, yakni sebagai Ketua I sampai 1984.
Posisi ini sepertinya diberikan sekedar sebagai pelengkap untuk menampung aspirasi lain, meski tidak memiliki suara yang menentukan dalam kebijakan organisasi.
Buktinya, selama menjabat sebagai salah satu ketua, suara dan pengaruhnya nyaris tak terdengar.
Pada Muktamar MA di Menes pada 1985 ia kemudian terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum, dengan sekretaris jenderal H.M. Irsjad Djuwaeli.
Di tengah tingginya tekanan kekuasaan untuk menerima kebijakan pemerintah dan kuatnya aspirasi sebagian kalangan pemuda untuk melakukan oposisi ideologi dan politik, terpilihnya KH. E. Burhani sebagai ketua umum dapat disebut sebagai kompromi yang tak terhindarkan.
Karena itu, terpilihnya KH. E. Burhani sebagai ketua umum PB MA sekaligus menjadi babak baru yang penting bagi organisasi sosial keagamaan ini, terutama berkaitan dengan penerimaan asas tunggal Pancasila dan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan pemerintah.
Melalui duetnya dengan H.M. Irsyad Djuwaeli, MA kemudian tidak hanya dekat dengan pemerintah, tetapi juga dengan kekuatan politik utama ketika itu, Golongan Karya (Golkar).
Dalam hal ini, peran H. Alamsjah Ratu Perwiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama sangat penting.
Ia tidak hanya didaulat sebagai Ketua Dewan Pembina MA, tetapi juga membuka akses secara lebih luas kepada kader-kader MA untuk melakukan pengembangan jaringan dengan Golkar dan sumber ekonomi di dalam lingkaran kekuasaan untuk kebutuhan organisasi.
Sementara Alamsyah sendiri secara pribadi sangat royal menggelontorkan dana pribadinya, dan memanfaatkan posisinya sebagai Menteri Agama bagi pengembangan dakwah dan pendidikan di MA.
Selain itu, Alamsjah juga merekrut beberapa pejabat penting dan politisi Golkar serta kelompok pengusaha sukses untuk masuk ke dalam kepengurusan, baik sebagai Pembina atau penasehat, maupun sebagai pengurus harian.
Maka pengurus PB MA pun untuk pertama kalinya dalam sejarah organisasi dipenuhi oleh orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, sehingga menutup secara nyaris sempurna ruang bagi kelompok garis keras untuk terlibat di dalamnya.
Sejak saat ini pula MA kemudian lebih akrab dengan hotel berbintang di Ibukota untuk melaksanakan konsolidasi organisasi, ketimbang dengan perguruan-perguruan yang tersebar di pelosok desa dan pinggir kota.
Fase ini merupakan angin segar dan nafas baru bagi MA. Bila sebelumnya organisasi ini tidak terlampau dihiraukan dan bahkan cenderung diabaikan, sejak 1985 MA kembali menggeliat.
Bahkan, tidak sedikit pada da’i dan muballigh MA yang sebelumnya dilarang ceramah dan khutbah, kemudian kembali diberikan ruang yang terbuka untuk melakukan bimbingan keagamaan.
Pendek kata, periode E. Burhani merupakan masa di mana MA mengalami perubahan orientasi kultural dan keagamaan yang penting sebagai mitra pemerintah dalam mensukseskan pembangunan nasional.
Perubahan orientasi organisasi ini tentu tidak dilakukan E. Burhani sendirian. Di belakangnya terdapat sederet tokoh muda dan ulama MA yang prihatin terhadap masa depan MA yang kian merosot seiring dengan menjauhnya organisasi ini dari kekuasaan.
Tokoh-tokoh itu antara lain Irsjad Djuwaeli, HM. Ali Affandi, Lili Suhaeli, Komari Saleh Hutagalung, Abdul Hadi Mukhtar, dan sederet nama lainnya. Mereka itulah yang membidani terselenggaranya Muktamar 1985 di bawah bayang-bayang pemerintah, dan melakukan berbagai gerakan agar MA mempertimbangkan untuk mendekat dengan kekuasaan.
Terpilihnya KH. E. Burhani sebagai Ketua Umum PB MA ketika itu merupakan pilihan tepat dan tak terhindarkan. Peserta muktamar kemudian secara aklamasi memilihnya sebagai pimpinan organisasi sosial keagamaan yang dalam beberapa tahun kemudian berhasil mengembangkan sayapnya ke beberapa provinsi hingga menjadi organisasi berskala nasional saat ini.
Karirnya sebagai pegawai pemerintah di Departemen Agama dimulai pada tahun 1948 dengan jabatan muadzin. Setahun kemudian Burhani muda diangkat sebagai naib yang mengatur dan mengadministrasikan pernikahan.
Pada 1951 ia kemudian diangkat sebagai Naib Kepala di Kabupaten Pandeglang yang dijabatnya hingga 1962. Selepas itu posisi kepegawaiannya kemudian meningkat menjadi Pembantu Urusan Agama (1962), Pembantu Urusan Agama Tingkat I (1967), Pengatur Tk. I (1972), Penata Muda (1976), dan Penata Muda Tk. I (1983).
Dalam karir kepegawaiannya, ia juga tercatat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Menes pada 1959; Kepala Sub Seksi Kepenghuluan Departemen Agama Kabupaten Pandeglang (1975), dan Kepala Seksi Urusan Haji (1979) di tempat yang sama.
Meski posisinya sebagai aktivis organisasi sosial keagamaan dan pegawai Departemen Agama kab Pandeglang, ia tetap intens mengelola pesantrennya di Pasirwaru.
Di pesantren ini, selain terdapat beberapa orang santri khusus, umumnya para santri adalah juga siswa atau siswi di madrasah Perguruan Pusat Mathla’ul Anwar, Cimanying, Menes, baik tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA).
Hampir secara keseluruhan pendidikannya ditempuh di perguruan pusat Mathla’ul Anwar, Menes, dan berguru langsung kepada salah satu tokoh pendirinya, yakni KH. Mas Abdurrahman bin Jamal. Meski demikian, sebagai putra tokoh agama, ia juga sempat nyambi sebagai santri di Pasirwaru (Menes), tempat ia kemudian menetap dan mendampingi santri-santrinya sampai akhir hayat.
Dalam catatan resmi yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Nomor: 121/3497/PUOD Tanggal 13 Oktober” dan ditandatangani tanggal 3 November 1992, Kyai Burhani lahir di Pandeglang, 27 Maret 1927. Pendidikan awalnya dilalui di Sekolah Rakyat (SR V) pada tahun 1939, kemudian melanjutkan ke MTs Mathla’ul Anwar yang diselesaikan pada 1945.
Kementerian Dalam Negeri tidak memberikan catatan lain soal pengalaman pendidikannya lebih lanjut. Tetapi dari informasi keluarga diketahui beliau sempat menjadi santri di beberapa pesantren di Pandeglang. Karena itu, data yang kurang akurat dan tidak lengkap ini tidak memberikan informasi yang memadai terkait dengan latar belakang pendidikannya.
Lebih dari itu, kita juga dapat membuat tanda tanya besar terkait dengan adanya fakta lain posisinya sebagai Sekjen PB MA yang disandangnya sejak tahun 1950, yang berarti hanya lima tahun setelah yang bersangkutan menamatkan sekolahnya di Tsanawiyah.
Bagaimana mungkin seorang yang masih terlalu muda dan belum matang diberi kepercayaan yang begitu besar sebagai sekretaris jenderal sebuah organisasi yang lumayan besar saat itu.
Dalam pada itu, tidak banyak pula keterangan yang dapat diperoleh tentang kehidupan keluarganya. Ia tercatat memiliki 2 (dua) orang istri, yakni Hj. Ani Murtafiah (perempuan asal Medan yang lahir pada 1930), dan Ayu Su’aeda (asal Pandeglang, lahir tahun 1933). Dari kedua istrinya ini ia dikarunia 3 (tiga) orang anak, masing-masing Ahmad Basuni (lahir 1960), Ulfah Fatimah (lahir 1967), dan Maftuhatul Anwariyah (lahir 1971). Dari ketiga putra-putrinya ini nampaknya tidak satu pun yang aktif secara intens di Mathlaul Anwar dan memiliki posisi penting dan signifikan.
Sepintas hampir tak secuilpun tanda kalau ia orang penting di organisasi sosial keagamaan berskala nasional, yakni Mathlaul Anwar (MA).
Penampilannya selalu bersahaja, dan nyaris tidak ada yang menonjol. Terkadang ia hanya mengenakan peci hitam dipandu sorban merah, berkain kotak-kotak (terkadang celana panjang warna gelap) untuk menghadiri acara yang paling penting sekalipun.
Sepatunya hampir tidak berganti. Malah ia juga sering terlihat mengenakan sepatu sandal saat memimpin sebuah rapat di organisasi yang dipimpinnya.
Bicaranya pun nyaris seperlunya. Omongnya irit. Bila tidak penting betul, ia lebih memilih diam. Ia memang bukan tipe “pelempar gagasan”, yang secara terbuka mengundang orang untuk berdiskusi. Setahu saya, tak pernah ia ketawa terbahak-bahak, sebagaimana seringkali para aktivis organisasi melakukannya.
Intonasinya pun datar, tanpa memberikan penekanan terhadap masalah paling penting dari yang diungkapkannya. Mungkin itu sebabnya ia tidak pernah nampak menonjol. Bahkan di organisasi yang dipimpinnya pun ia lebih sering duduk di samping sekretaris yang ditunjuknya memimpin rapat. Karena itu sebagian orang MA tidak menyangka beliau yang menjadi pemimpin organisasinya.
Lebih dari itu, sejauh laporan Menteri Dalam Negeri, pengalaman kyai Burhani dalam bidang manajemen dan keorganisasian pun nampak biasa-biasa saja, bahkan bisa dikatakan di bawah standar.
Tercatat hanya 3 (tiga) pengalaman pelatihan yang pernah diikuti, masing-masing kursus Analisis Data Keuangan (1060), Ujian Dinas Golongan III (1974), penataran pelaksana Haji (1980), dan Pelatihan Calon Haji (1981). Tentu saja data ini tidak memberikan data yang signifikan terkait dengan posisi dan urgensi perannya sebagai salah satu orang terpenting dalam organisasi Mathla’ul Anwar.
Bahkan, nampaknya, laporan intelejen inipun ditulis sekedar untuk memberikan data awal jika suatu saat ia perlu dipanggil untuk memberikan “keterangan. (*/Red)