JAKARTA – Duta Besar Ethiopia untuk Indonesia, Prof Admasu Tsegaye membantah pemberitaan di media bahwa di negaranya saat ini tengah menghadapi ancaman perang sipil.
Ia menegaskan, pemberitaan-pemberitaan soal perang tersebut jauh dari kenyataan, karena yang terjadi sebenarnya hanya aksi kriminal dari kelompok barisan sakit hati disebabkan kekalahan dalam pemilu di Tigray, salah satu negara bagian di Ethiopia.
“Ini bukan perang sipil, hanya ada kelompok kecil bernama TPLF (Tigray People’s Liberation Front) yang melakukan aksi kriminal di wilayah Tigray,” ujar Dubes Admasu, di Kedutaan Ethiopia di Jakarta, Rabu (25/11).
Dubes mengungkapkan, kelompok kriminal itu telah menyerang angkatan militer nasional yang ada di wilayah Tigray untuk merampas peralatan militer. Selain itu, TPLF juga telah melakukan pembantaian terhadap ratusan warga di kawasan tersebut.
Menurut Dubes, aksi-aksi tersebut berawal dari kekalahan TPLF dalam pemilu Ethiopia tahun 2018 lalu. Sebelumnya, TPLF merupakan merupakan kelompok yang berkuasa selama 27 tahun di Ethiopia.
Selama kepemimpinan mereka, yang ada hanyalah korupsi dan ketimpangan pembangunan yang tidak merata dan membawa Ethiopia pada kemunduran dibandingkan dari negara-negara Afrika lainnya.
“Hal tersebut kemudian memunculkan gelombang protes mayoritas warga Ethipoia yang menghendaki perubahan, mengingat negeri mereka di bawah TPLF tidak mengalami kemajuan yang signifikan,” kata dia menjelaskan kronologi kejadiannya.
Kemudian keingin rakyat terwujud semenjak pucuk pimpinan Ethiopia beralih ke Perdana Menteri Abiy Ahmed sejak April 2018. Dalam waktu kurang dari delapan bulan, Abiy melakukan perubahan masif dan membawa harapan bagi banyak orang di Eithopia.
“Kebijakannya diaparesiasi karena berani melakukan rekonsiliasi nasional, mengajak berbagai elemen yang berbeda untuk duduk bersama membesarkan Ethiopia,” ungkap Dubes.
Abiy membebaskan tahanan politik dan jurnalis yang ditangkap dibawah rezim TPLF karena berbeda pendepat. Bahkan partai politik dan kelompok bersenjata yang diasingkan juga dirangkul kembali mengambil bagian dalam kondisi politik yang damai.
Reformasi hukum digalakkan. Begitupun dengan kebijakan ekonomi yang inovatif dan pro rakyat dilakukannya. Selanjutnya, memulihkan perdamaian antara Ethiopia dan Eriteria.
Buntut dari pendekatan humanis yang digunakan Perdana Menteri Abiy Ahmed berbuah manis dan decak kagum dari dunia internasional pun berdatangan.
“Ethiopia dengan berbagai image buruk, seketika berubah drastis dan hadiah nobel perdamaian bergengsi pun disematkan kepada Perdana Menteri Abiy Ahmed,” kata Dubes Admasu.
Dubes menduga, hal tersebut yang kemudian membuat TPLF tidak puas dengan upaya reformasi transformatif ini. Kemudian skenario jahat pun digagas untuk menuduh pemerintah pusat dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada.
“Kelompok gangster ini juga aktif mencitrakan keburuan pemerintah Ethiopa dengan berbagai propaganda yang mengarah pada kehancuran bangsa,” lanjutnya.
Untuk mewujudkan ambisi ilusi TPLF, lanjut Dubes, Mereka mempersiapkan pasukan misil selama 2 tahun lamanya untuk melakukan aksi-aksi destruktif. Semua tindakan kriminal ini di tempuh oleh kelompok ini untuk mempertahankan status quo agar bisa berkuasa lagi.
“TPLF kerap menjarah sumber daya negara, dengan harapan agar pemerintah pusat merasa takut dan mau memunuhi kenginan bejat kelompok ini,” ungkapnya.
Dalih TPLF Menolak Penundaan Pemilu
Ketika covid-19 mulai merebak dan menjadi ancaman universal, Dewan Pemilihan Nasional (DPN) Ethipoia, Dewan Federasi, dan Parlemen mengumumkan keputusan untuk menunda pemilu karena pandemi ini tidak dapat diprediksi.
Namun, TPLF menolak dengan tegas dan melakukan tindakan inkosntitusional dengan membuat lembaga-lembaga negara termasuk DPN yang dengan sengaja memenangkan kelompok mereka.
“TPLF pun dengan pongahnya memanggil kembali perwakilannya di parlemen pusat untuk mengundurkan diri dan melapor di Tigray,” tutur Dubes Admasu.
Pemerintah Ethiopia mencoba merangkul dan bersabar dengan tindakan ilegal TPLF hingga mengajak kelompok tersebut dengan kepala dingin. Namun justru kelompok ini melancarkan serangan bersenjata ke komando utara pasukan pertahanan nasional dan pasukan polisi federal pada Rabu 4 November 2020, lalu.
Aksi TPLF ini semata-mata hanya ingin merampok artileri dan peralatan militer yang kemudian menyerang negara tetangga, Ibu Kota Eritrea dengan serangan roket berikutnya ke kota-kota besar negara.
Dubes Adamsu menilai aksi TPLF tidak bisa dibiarkan, serangan roket tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan TPLF merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan di wilayah perbatasan.
Tidak puas berbuat onar, TPLF juga membantai lebih dari 600 warga sipil di Wilayah Maikadra Tigray.
Kemudian untuk mendapatkan simpati internasional, Kelompok ini memaksa warga Tigray meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi di Sudan.
“Namun tidak sedikit warga yang menolak dan akhirnya menjadi korban dari kebuasan milisi TPLF,” tutur Dubes.
Pemerintah Ethiopia menghimbau kepada para pelaku makar agar menyerahkan diri dalam waktu 72 jam untuk di proses di pengadilan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sipil.
“Aparat nasional Ethiopia diperintahkan untuk menegakkan hukum dan memelihara ketertiban di wilayah Tigray untuk menyelamatkan negara tersebut agar tidak jatuh ke dalam ketidakstabilan,” kata Prof Admasu.
Aktor intelektual TPLF harus dimintai pertanggungjawaban untuk menjawab berbagai aksi bejat yang kerap dilakukan. Tidak hanya itu, jika terbukti, maka wajib diadili sesuai perbuatan dan tindakannya.
Pemerintahan Ethiopia saat ini lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar warga yakni kebutuhan pokok yang menjadi fokus utama. Sesuai arahan Perdana Menteri Abiy Ahmed agar semua langkah yang diperlukan untuk memulihkan perdamaian, keamanan, hukum dan ketertiban di negara bagian Tigray.
“Dewan Amnesti internasional pun akan segera menyambangi Tigray untuk menciduk para pelaku kejahatan,” ungkap Dubes Admasu. (*/Red)