Oleh: Muhammad Salman Alfarisi RM
Tanggal 23 Mei 2016, Poppy McPherson menulis “‘No Muslims Allowed’: How Nationalism is Rising in Aung San Suu Kyi’s Myanmar” di The Guardian. Isinya mengenai pembatasan dan pelarangan yang diberikan oleh pemerintah beserta masyarakat Myanmar kepada Muslim Rohingya. Mereka tidak dibiarkan bermalam dan menikah dengan etnis Myanmar lainnya yang beragama Budha.
Belakangan ini isu Rohingya muncul lagi. Seperti dilansir dari beberapa media, di negara beribu kota Yangon itu persekusi dan penindasan kembali menjadi sorotan masyarakat dunia. Dalam kasus terakhir, ada seratus lebih orang yang meninggal seperti yang diberitakan Sindonews.com pada awal September ini .
Tentu banyak orang yang bertanya, mengapa kelompok Muslim Rohingya sangat tertindas dan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti itu.
Laporan dari International Crisis Group (ICG) pada tahun 2014 dengan apik menceritakan kondisi historis masyarakat Muslim Rohingya. Sekitar tahun 1430 sampai 1530 sebetulnya ada sebuah kerajaan Budha Rakhine di wilayah setempat yang berpatronasi ke Kesultanan Mughal, India. Setelah mereka independen, kerajaan tersebut masih mempertahankan identitas Muslimnya seperti gelar dan simbol. Bahkan beberapa posisi penting masih diisi oleh orang Islam.
Penting juga untuk diketahui bahwa lokasi kerajaan tersebut secara geografis terpisah dari wilayah Myanmar sekarang. Ada pegunungan curam yang menjadi pembatas, konsekuensinya perekonomian dan politik menjadi terpisah pula. Baru setelah kerajaan Burma menaklukkan daerah tersebut pada 1785 menjadi terintegrasi dengan wilayah lainnya.
Situasi ini tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1886, wilayah Rakhine dimasukkan ke wilayah British India setelah pasukan Anglo Saxon itu menang atas Burma. Sejak itu, terjadi peningkatan populasi Muslim, sebab mereka dipekerjakan oleh Inggris dalam pengelolaan pertanian. Efeknya, timbullah persoalan sosial ekonomi yang mengecewakan kelompok Budha.
Sebagaimana yang termaktub di laporan ICG, ketegangan ini semakin meningkat pada Perang Dunia II. Kelompok Muslim ketika itu berpihak pada Inggris sementara Budha berada disisi Jepang. Pada masa perang sudah usai, ada kelompok Mujahidin di Rakhine yang memberontak dimana kelompok Budha dan pemerintah menjadi target mereka. Serentetan aksi yang sebetulnya tidak disepakati oleh banyak faksi Muslim.
Konsekuensinya, pemerintah Burma memberlakukan daerah khusus yang disebut dengan Mayu. Semenjak itu pula istilah Rohingya muncul, sebagai identitas Muslim, baik dari segi politik maupun etnis. Kondisi ini juga tidak bertahan lama. Kudeta militer tahun 1962 menghentikan segala kegiatan politik Muslim.
Kudeta militer ini juga membubarkan daerah khusus Mayu dan menolak kewarganegaraan mayoritas Muslim yang ditinggal di Rakhine. Bersamaan dengan itu, mulailah penderitaan mereka sampai saat ini. Bahkan belakangan, menurut laporan McPherson, ada desa dan kawasan yang tidak boleh dimasuki oleh Muslim dan mereka bagaikan musuh dimana-dimana.
Situasi yang dialami kelompok Rohingya ini masuk kedalam kategori bias blatant stereotype (stereotip mencolok). Mulanya, ketika Inggris berkuasa bias ini disebabkan oleh situasi ekonomi yang tidak menguntungkan bagi kelompok Budha. Lambat laun situasi menjalar kedalam nilai dalam makna hadirnya kelompok Islam minoritas yang menjadi ancaman bagi Budha mayoritas.
Bias ini kemudian menjadi luas, masuk kedalam masalah identitas sosial di Myanmar. Pada satu sisi etnis lain beragama Budha dianggap bagian dari Myanmar, di sisi lain Rohingya berada di luar kategori ini. Mereka dianggap pendatang, meskipun sudah menempati kawasan Rakhine, setidaknya sejak abad ke-15.
Identitas sedemikian rupa bisa dilacak secara geografis dan historis. Sebagaimana disinggung diawal, wilayah Rakhine merupakan kawasan yang dipisahkan oleh pegunungan curam. Wilayah ini, semenjak awal bukanlah bagian yang integral dari Myanmar sampai ditaklukkan oleh Burma.
Semenjak meningkatnya populasi Muslim di sana akibat kebijakan Inggris, daerah itu tidak hanya terpisah dari segi geografis, namun juga sosiologis yang berdampak pada situasi psikologis masyarakat. Apalagi dengan berbedanya keberpihakan Muslim Rohingya, di mana mereka berada disisi Inggris sementara Budha disisi Jepang. Puncaknya, tidak diakuinya kewarganegaraan Rohingya pasca kudeta militer tahun 1962.
Poin penting yang mesti diperhatikan, konflik seperti yang dilihat sekarang tidaklah terjadi begitu saja. Situasi ini merupakan warisan mendarah daging bagi kedua kelompok . Hal ini terjadi akibat segregasi yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
Diskusi diatas barangkali menimbulkan pertanyaan lanjutan. Mengapa tidak ada aksi dari kelompok internasional, terutama ASEAN misalnya untuk mengintervensi Myanmar dalam menyelesaikan kasus ini. Di sinilah rumitnya situasi yang barangkali belum jamak dipahami orang.
Negara-negara ASEAN, menyepakati serangkaian komitmen. Diantaranya adalah prinsip non interference dimana negara anggota harus menghormati masalah domestik negara lain. Alasan inilah yang membuat negara lain kesulitan untuk ikut menyelesaikan masalah Rohingya secara politik.
Sementara ini, hanya pengiriman tenaga medis dan bantuan kemanusiaan lainnya yang dapat dilakukan. Bantuan ini tentu saja disamping penampungan pengungsi yang lari dari Myanmar seperti yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia. Situasi ini tentu saja memprihatinkan, sebab persekusi terhadap kelompok Muslim Rohingya sangatlah luar biasa dan sudah tidak manusiawi lagi. Lalu bagaimana? Mari berpikir dan berdoa.
Sumber: locita.co