JAKARTA – Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan IMF siap untuk memobilisasi pinjaman senilai US$ 1 triliun untuk membantu negara-negara anggota menangani krisis.
Pernyataan itu disampaikannya pasca sekitar dua puluhan negara mempertanyakan apakah mereka bisa menerima pinjaman dari lembaga itu di tengah kekacauan ekonomi yang disebabkan oleh wabah virus corona (COVID-19).
Selain menyatakan kesiapan IMF, Georgieva juga mengatakan bahwa negara-negara yang terdampak perlu mengeluarkan stimulus fiskal yang kuat dan terkoordinasi untuk membatasi kerugian yang disebabkan wabah asal China itu.
“Ketika virus menyebar, kasus untuk stimulus fiskal global yang terkoordinasi dan tersinkronisasi semakin kuat setiap saat,” katanya, sebagaimana dilaporkan AFP, Selasa (17/3/2020).
Sementara itu, seorang juru bicara IMF mengatakan bahwa beberapa negara yang menanyakan perihal pinjaman untuk menangani krisis yang disebabkan COVID-19 kepada IMF itu diantaranya adalah negara yang sudah memiliki program pinjaman IMF. Juga ada beberapa negara yang belum memiliki program pinjaman IMF sama sekali.
“Pertanyaan itu tidak selalu merupakan permintaan formal,” katanya.
Namun demikian, juru bicara itu menolak untuk menyebutkan salah satu negara yang menanyakan perihal itu. Ia hanya mengatakan pilihan paling logis bagi banyak dari mereka adalah beberapa fasilitas pembiayaan darurat yang pernah Georgieva katakan bahwa senilai US$ 50 miliar di antaranya akan tersedia dengan cepat untuk meringankan pukulan ekonomi dari wabah virus corona.
Saat ini IMF memiliki program pinjaman dan bantuan keuangan dengan sekitar 40 negara. Program ini bernilai sekitar US$ 200 miliar.
Sebelumnya, melalui postingan dalam blognya, Georgieva mengatakan bahwa tindakan fiskal yang terkoordinasi pada skala krisis keuangan 2008-2009 mungkin diperlukan untuk menangani dampak corona ke ekonomi.
Pada tahun 2009 saja, katanya, Kelompok 20 negara (G-20) mengerahkan sekitar 2% dari produk domestik bruto (PDB) mereka dalam stimulus. Jumlah itu sekitar US$ 900 miliar jika diuangkan saat ini.
“Jadi ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan.” tulisnya.
Dia juga mengatakan pemerintah harus terus memprioritaskan pengeluaran kesehatan dan memberikan dukungan kepada orang-orang dan bisnis yang paling terkena dampak karena ada kebijakan seperti cuti sakit dan bantuan pajak yang ditargetkan.
“Bank sentral juga harus terus mendukung permintaan dan meningkatkan kepercayaan diri dengan meredakan kondisi keuangan dan memastikan aliran kredit ke ekonomi riil,” katanya. (*/CNBCIndonesia)