Medsos, Perang intelejen, Hingga Revolusi Arab Spring

Oleh: Muhammad Subarkah*

Tidak ada perang di wilayah miskin dan bernilai stragis! Jawaban ini seakan menjadi hukum universal dunia.

Dan pernyataan ini pernah saya terima dalam perbincangan dengan seorang insinyur di meja kafe di Multan, sebuah kota kecil di Pakistan. Kota ini bersejarah. Penduduknya selalu bangga bahwa kota ini multi etnik, ada masjid dan ada juga gereja tua peninggalan Inggris yang dibangun di sana. Bila dilihat dalam hikayat Ramayana kota ini konon pernah disinggahi prajurit Rama Wijaya ketika berperang melawan Alengka.

Lelaki itu berkata dengan sangat yakin bahwa perang akan terus terjadi di daerah kaya.’’Semua orang akan berebut. Kalau tidak bisa menguasai secara langsung, bisa dilakukan dengan membentuk proxi. Bahkan mereka kalau bisa berkuasa tanpa perlu meletuskan satu pelurupun. Awesone (dahsyat memang, red) memang,’’ kata sambil meminum secangkir teh. Sore yang mulai meremang terasa kian membisu. Di jalanan terlihat lampu mulai menyala, meski di jalanan tampak lalu lintas masih ramai.

‘’Ingat Pakistan itu berada di tengah. Di sana ada India, di Barat ada Suriah, di timur ada Cina, dan di utara ada Afghanistan dan Rusia. Kami sadar akan diperebutkan,’’ ujarnya lagi.

Pernyataan itu memang terus mengiang. Apalagi tak lama kemudian muncul apa yang disebut revolusi Arab Spring, yang dipicu oleh sebuah gambar dan berita viral di medsos tentang adanya seorang lelaki muda pengangguran di Tunisa yang bakar dirinya karena kesal pada hidupnya sendiri.

Semua tahu setelah itu banyak rezim di Afrika Utara, misalnya Libya dan Mesir rontok. Dan di Suriah, dan Irak muncul perang besar yang disebut dipicu oleh Isis. Yang terakhir di Turki muncul kudeta yang gagal kepada pemerintahan Erdogan.

Ketika merenungkan soal itu, tiba-tiba mata ini membaca tulisan usang di Washington Post tertanggal 21 Mei 2015. Isinya sangat mengejutkan. Bercerita tentang: Britain hid secret MI6 plan to break up Libya from US, Hillary Clinton told by confidant. Terjemahahan bebasnya: Inggris menyembunyikan rencana rahasia MI6 untuk memecah Libya dari AS, ini dikatakan orang kepercayaan Hillary Clinton.

Bila dirunut lagi, berita ini memang tidak mengejutkan bagi orang yang paham. Sudah lama beredar berita tentang itu. Media sosial ternyata bisa menjadi alat bagi kekuasaan dan kepentingan asing untuk menguasai sebuah negara. Mereka bisa berani dalam isu pemilu seperti sudah terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, meletuskan perang ‘riil’ yakni perang senjata di dunia nyata.

Direktur LSI, Denny JA, yang nota bene mantan didikan di sebuah uversitas Amerika pun mengakuinya. ”Lima tahun ini mata kita terbelalak. Alqaidah dan ISIS begitu dibenci publik negara barat. Ternyata semakin banyak pejabat AS berkata, termasuk Hillary Clinto. Betapa kerja intelijen Amerika Serikat ikut melahirkan dua monster itu, kata Deny JA dalam sebuah tulisannya dengan menambahkan pernyataan Hillary Clinton, “jangan lupa! kita sendiri (Amerika Serikat) ikut menciptakan, memberi dana dan melatih Alqaidah di masa awal.’’

Nah, pada badan berita di Washington Post itu yang menyebut Moemar Khadari dengan ‘Gadafi’ tertulis begini: Inggris bertindak menipu di Libya dan David Cameron mengizinkan sebuah rencana MI6 untuk “memecah” negara tersebut, seorang kerabat dekat Hillary Clinton mengklaim dalam serangkaian laporan rahasia yang dikirim ke sekretaris negara tersebut.

Sidney Blumenthal, teman lama Clintons, mengirim email kepada Nyonya Clinton di akun pribadinya untuk memperingatkannya bahwa Inggris “bermain game” di Libya. Blumenthal tidak memiliki peran formal di Departemen Luar Negeri AS dan memo nya kepada Nyonya Clinton bersumber pada kontak pribadinya di Timur Tengah dan Eropa.

Kendati demikian, Nyonya Clinton tampaknya telah mengambil beberapa laporannya secara serius dan meneruskannya kepada para diplomat senior yang bekerja di tingkat tertinggi kebijakan luar negeri Amerika.

Yang pertama dari memo Libya Blumenthal – yang telah bocor ke New York Times – dikirim pada 8 April 2011, karena pasukan pemberontak berjuang untuk memperoleh keuntungan dari pasukan Gaddafi, dan memiliki “permainan bermain Inggris” di baris subjek.

Memo tersebut memperingatkan bahwa para diplomat Inggris dan petugas MI6 menjaga saluran rahasia kembali dengan rezim Gaddafi “dalam upaya untuk melindungi posisi Inggris jika pemberontakan tersebut mengalami jalan buntu”.

Blumenthal mengklaim bahwa mata-mata MI6 sedang dalam diskusi dengan Saif Gaddafi, putra diktator tersebut, “mengenai hubungan masa depan antara kedua negara jika dia mengambil alih kekuasaan dari ayahnya dan menerapkan reformasi”.

Memo tersebut juga mengklaim bahwa pemberontak Libya sangat mencurigakan terhadap Inggris dan menduga bahwa Inggris akan “puas dengan jalan buntu” di mana Gaddafi atau keluarganya tetap berkuasa di negara tersebut.

Kecurigaan mereka dipicu saat menteri luar negeri Gaddafi, Moussa Koussa, membelot ke Inggris pada Maret 2011, kata Blumenthal. Pemberontak tampaknya melihat pembelotan tersebut sebagai bukti bahwa Inggris memiliki jalur komunikasi rahasia dengan jajaran tertinggi rezim Gaddafi.

Tulisan berita ini makin menarik karena kemudian diserta copian email dari lalu lintas pembicaraan. Dan ini dapat ditengarai sekaligus ‘dibaui’ apa yang sebenarya terjadi di sana. Apa yang terjadi di Libya? dan Apa yang tengah dilakukan negara Amerika Serikat dan Inggris.

Di sini jelas muncul bahwa perang persepsi dan perpecahan di media sosial mendahului perang senjata yang riil dan penaklukan sebuah negara kepada negara lain. Pelajarannya, perpecahan di sebuah negara ternyata dinikmati sebagai sebuah ‘anugerah’ bagi negara lain.

Menyadari hal itu, kemudian ingatan kembali kepada forum disusi yang ada di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) beberapa tahun silam. Kala itu juga membahas mengenai budaya media sosial dan ancaman perpecahan sebuah negara.

Salah satu pembicara, yakni seorang budayawan, dengan jelas dan terang mengatakan media sosial lebih banyak mudharatnya dari pada sisi kebaikannya. Bahkan secara ekstrim dia mengatakan, bahkan kalau perlu dilarang.

‘’Kalau saya jadi pemimpin sebuah negeri saya akan persulit, bahkan larang media sosial. Media sosial tidak terbukti tak ada manfaatnya bagi bangsa. Media sosial karena berdiri di atas landasan hak pribadi dengan mengatasnamakan nilai kebebasan yang bersendikan kebebasan itu tak bisa dipakai alat untuk mencari kompromi. Sebab, kompromi itu sangat penting bagi negara. Beda dengan gerakan politik sejati yang berusaha mencari titik temu atau kesepakatan. Media sosial tak bisa dipakai sebagai alat untuk bersempakat karena masing-masing kepala punya sikapnya sendiri-sendiri,’’ katanya.

Sama dengan yang lainnya, dia juga mengatakan apa yang kini terjadi di Libya dan Mesir, hingga Irak dan Suriah. Semua negara centang perang dalam konflik akibat media sosial yang dipicu sebuah viral di media sosial yang bermula dari Tunisia. Berbagai rezim jatuh dan hampir jatuh. Hanya Turki yang bisa bertahan dan itu pun dilakukan dengan salah satu caranya sempat melakukan ‘moratorium sementara’ untuk menata dunia medsosnya. Bahkan China lebih dahulu mengkontrol media sosialnya sebelum negara itu terpecah pada konflik.

Tapi beda dengan negara itu, Indonesia bebas merdeka. Belakangan memang ada pengaturan media sosial, tapi berbau ‘game perebutan kekuasaan’ karena dilakukan menjelang Pilkada dan Pilpres 2019. Yang terahir kini berkembang pertanyaan apakah Indonesia bisa seperti negara itu? Apakah agama Islam yang dianut negara itu menjadi biang penyebabnya.
photo

Dan untuk penyebabnya, ada jawaban dari seorang teman yang mantan Ketua Komisi Hukum DPR periode yang lalu. Dia mengatakan begini: Pertama, pertanyaan (mengenai agama sebagai) perpecahan di Timur Tengah dan di Afrika Utara (seperti Libya dan Mesir) itu mengandung atau bersifat ‘prejudice’ (curiga) terhadap umat Islam.

Kedua, pertanyaan tersebu sama sekali tidak berdiri di atas causa dan sejarah dari konflik yangg ada disana pada satu sisi, sedangkan disisi lain dia seakan mengatakan ajaran Islam dan umat Islam itu tidak mampu memberi kedamaian, melainkan melahirkan konflik yangg berkepanjangan.

“Ada pihak yang mengenyampingkan fakta, bahwa Afghanistan (juga Timur Tengah, Afrika Utara, Pakistan dan India) misalnya, semua kita tahu, sejak awal abad ke-XX telah menjadi wilayah yang diperebutkan dan karena itu menjadi medan konflik antar Timur dan Barat guna menguasai kekayaan alamnya. Sedangkan Libia dan Irak, adalah korban dari keserakahan barat yg ingin menguasai kekayaan alamnya – lalu untuk membuka jalan masuk (intervensi) di desain rekayasa informasi – dan dengan modal rekayasa informasi tersebut lahir stigma yg menyalahkan pemimpin di kedua negara tersebut,’’ ujarnya.

Dengan itu, lanjut dia, maka diperolehlah alasan: pertama, untuk mengintervensi negara tersebut secara meliter dan menghabisi penguasa dan pemerintahannya. Semua bantahan dan fakta hampir tak berguna, penggulingan jalan terus.

Kedua, bahwa konflik di ‘middle-east’ dan Balkan tidak akan pernah tumbuh serta bertahan hingga kini, jika tidak ada pasokan dana, logistik dan senjata serta amunisi yang datang dari Barat atau Timur. Belum lagi operasi intelijen.

Dengan kata lain damai atau konflik itu semuanya berkaitan dengan kepentingan kapitalisme Barat dan Timur. Dan semua konflik tersebut timbul dan berkembang pasca sekutu memenangkan perang dunia kedua. Sebelum itu tidak pernah ada konflik yg demikian di sana. Di balik itu, tidk satu pun dari negara-negara yg disebutnya berkonflik itu memiliki pabrik senjata dan amunisi yang dipergunakan dalam konflik tersebut.

“Pertanyaan ku adalah: mengapa dia (pihak itu) tidak mempertanyakan: apa alasan Negara-negara Barat dan Timur tidak menghentikan pasokan senjata dan amunisi yg dipakai dalam konflik tersebut? Bukankah konflik itu akan terhenti jika senjata, amunisi serta logistik tdk ada? Mengapa ia begitu naif membuat pertanyaan yang nadanya terkesan kuat menyalahkan rakyat dan umat islam? Padahal umat Islam adalah korban. Namun dengan pertanyaan itu seakan-akan dikesankan sebagai pencinta konflik/perang? Hal itu jelas terlihat dari pertanyaannya yg mengkaitkan jumlah umat islam indonesia sebagai yg terbesar di dunia dng kemungkinan konflik dan upaya mencegahnya”. jelasnya.

Mengetahui penegasan itu, kembali timbul perenungan. Apakah perpecahan akan terjadi di negeri ini? Apakah perpecahan sebenarnya di sengaja untuk mendukan negeri ini, tanpa perang. Apakah nanti konflik akan berpindah ke Indonesia ketika bahan bakar fosil telah habis digantikan energi terbarukan, misalnya dari minyak sawit yang sebagian besar lahannya hanya ada di Indonesia.

Pertanyaan pun terus menggebu, mengiangkan kembali pemicaraan di sebuah kafe di kota kecil Pakisktan dulu itu. Apakah kita akan seperti Libya, Mesir? Apakah kita pecah belah karena media sosial (medsos). Lalu apa jalan keluarnya? Apalagi kita tahu banyak sekali intelejen asing yang berkeliaran. Mereka mencari data apa saja, dari masalah pribadi seseorang hingga masalah negara demi keuntungannya sendiri!

Dan yang terakhir ada ribut soal hoak, Muslim Cyber Army, hingga soal pelarangan cadar. Apakah ada yang mengayuh di antara isu itu? Lalu siapakah yang paling diuntungkan..? (*/Republika.co.id)

Arab Springmedia sosial
Comments (0)
Add Comment