JAKARTA – Kecaman yang dilayangkan pemerintah Indonesia atas pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, disebut pengamat tidak cukup karena tak menyentuh persoalan kekerasan yang menimpa seorang guru karena memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyarankan Indonesia mengambil langkah dialog untuk menyamakan pandangan atas nilai-nilai atau ajaran Islam yang kerap berseberangan dengan sekularisme di Prancis.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Presiden Macron segera meminta maaf kepada seluruh umat Islam dan menghentikan penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo yang disebutnya sebagai “biang keladi” kekerasan di Prancis.
Ia menilai tanggapan Macron tidak menunjukkan kepekaan terhadap umat Islam yang memercayai kesucian Nabi Muhammad sehingga sosoknya tidak boleh digambar.
Sehingga imbas pernyataan Macron itu, menurutnya, justru memicu respons yang sesungguhnya tidak perlu seperti aksi boikot terhadap produk-produk Prancis.
“Tentu kita prihatin atas kejadian itu tapi hendaknya respon Presiden Macron tidak terlalu simplifikasi ketika kemudian menyampaikan ‘Islam dalam kondisi krisis’,” ujar Yon Machmudi dilansir dari BBC News Indonesia, Rabu (28/10/2020).
“Karena itu menyangkut keyakinan yang dianut umat Islam di dunia,” sambungnya.
‘Kecaman tidak menyentuh persoalan utama’
Indonesia sejauh ini baru mengecam pernyataan Presiden Emmanuel Macron tersebut karena dianggap menyudutkan agama Islam.
Tapi kata Yon, kecaman itu tidak cukup. Pemerintah Indonesia, lanjutnya, juga harus berbicara tentang pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian Samuel Paty.
Ia menduga sikap pemerintah tak lepas dari pernyataan sejumlah pemimpin negara yang menyampaikan kritik atas pernyataan Macron. Hanya saja kritik maupun kecaman tidak menyentuh persoalan utama.
Dia menilai, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar bisa mengambil peran lebih. Yakni mengajak Presiden Emmanuel Macron untuk berbicara tentang bagaimana menyamakan persepsi atas ajaran agama Islam dengan sekularisme di Prancis.
“Paling tidak komunikasi dibangun dan mudah-mudahan peristiwa seperti ini bisa diminimalisir dampak-dampaknya ke depan.”
“Pembicaraan dialog diperlukan agar sama-sama memahami posisi antara Indonesia sebagai mayoritas umat Islam dan Prancis dengan sekularismenya.
Sejumlah negara seperti Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Maroko satu suara mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Belakangan, kecaman itu berbuah aksi boikot terhadap produk Prancis.
Di Kuwait, Yordania, dan Qatar barang-barang bermerek dagang dari Prancis telah ditarik dari beberapa toko.
“Kami mengimbau kepada umat Islam di manapun untuk mempertimbangkan melakukan boikot pembelian dan pemakaian produk apapun buatan Prancis,” ujar Juru bicara DSKS, Endro Sudarnono, Rabu (28/10/2020).
“Presiden Macron mengeluarkan statement yang bersifat Islamofobia sekaligus melindungi majalah Charlie Hebdo yang jelas-jelas melakukan publikasi terhadap pelecehan Nabi Muhamad SAW,” sambungnya.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, berkata karikatur Nabi Muhammad merupakan hal sensitif bagi umat Islam. Tapi hal itu, klaimnya, tak dipahami pemerintah Prancis.
“Dalam agama Islam, haram hukumnya mencela Tuhan orang lain. Kalau kamu mencela, mereka akan mencela Tuhanmu. Kalau Charlie Hebdo tidak menghiraukan nilai-nilai agama, itu kesalahan berat,” ujar Anwar Abbas kepada BBC.
Apa tanggapan MUI atas pernyataan Macron?
MUI berpendapat, pernyataan Presiden Macron mengundang permusuhan dan perselisihan umat Islam.
Kendati perbuatan memenggal kepala Samuel Paty tidak bisa dibenarkan namun, katanya, tindakan guru sejarah itu yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad ke murid-muridnya lebih tidak bisa dibenarkan.
“Kalau menurut saya tindakan kekerasan itu salah tapi yang memancing orang berbuat salah itu lebih salah lagi.”
Itulah mengapa, ia mendesak Presiden Macron segera menghentikan penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo yang disebutnya sebagai “biang keladi” kekerasan di Prancis.
Namun demikian, MUI belum menganjurkan aksi boikot terhadap produk Prancis.
“Tidak sekarang. Kalau enggak ada perubahan dan sikap dari Presiden Macron dan Charlie Hebdo akan kami imbau boikot. Untuk selesaikan ini gampang, Macron minta maaf kepada umat Islam. Saya yakin umat Islam akan memaafkan.”
Umat Islam harus tenang menyikapi masalah ini
Di sisi berbeda, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, berpandangan apa yang dikatakan Presiden Emmanuel Macron bahwa Islam mengalami krisis tidak sepenuhnya salah.
Ini karena agama Islam belum sampai pada “konstruksi sosial-politik yang dibutuhkan untuk berintegrasi secara damai dan harmonis dengan dunia”.
Kendati demikian, ia melihat cara Presiden Macron menyikapi permasalahan di negaranya cenderung sepihak yakni dengan sudut pandang sekularisme dan mengabaikan ajaran agama Islam.
“Karena Nabi Muhammad SAW adalah subyek suci dalam agama Islam dan merupakan simbol utama Islam. Merendahkan kehormatan Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam,” jelasnya.
“Tapi menanggapi penghinaan terhadap Nabi dengan membunuh pelakunya adalah tindakan biadab yang berpotensi memicu instabilitas yang meluas tanpa kendali,” sambungnya.
Karena itulah, ia meminta umat Islam di Indonesia menyikapi persoalan ini dengan tenang dan tidak terbawa secara emosional.
Solusi atas kekerasan yang terjadi di Prancis, katanya, dengan menggelar dialog antar-negara yang didasarkan atas konsensus terhadap nilai-nilai keadaban yang disepakati bersama.
Apa respon pemerintah?
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah turut mengecam tindakan pelaku pembunuhan Samuel Paty. Tapi pemerintah menilai mengaitkan perbuatan itu dengan agama “adalah suatu kesalahan besar”.
Pada Selasa (27/10/2020), Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar Prancis, Olivier Chambard. Dalam pertemuan itu, kata Teuku, Olivier menyampaikan maksud pernyataan Presiden Macron.
Lewat Duta Besar RI di Prancis pula, Indonesia melayangkan nota diplomatik yang mendorong diaktifkannya dialog antar-agama sehingga menumbuhkan “pengertian yang lebih baik terhadap perbedaan agama,” kata Teuku. Sementara mengenai seruan boikot, pemerintah tidak bisa melarang. Tapi pemerintah tidak akan memberikan ruang bagi tindakan yang bakal merugikan hubungan bilateral kedua negara. (*/BBC)