Fakta Banten – Ulama asal Malang Jawa Timur, KH Agus Hasan Bashori, menuturkan, jadwal shalat Subuh yang ada di Indonesia perlu dikoreksi kembali. Sebab, ada kekeliruan penghitungan waktu pada kalender yang dipakai masyarakat selama ini.
Dia menjelaskan, jika ditelusuri kembali sejarahnya, penetapan waktu Subuh yang terdapat pada kalender-kalender dunia sekarang ini sebenarnya dibuat petama kali oleh dua ahli astronomi asal Inggris, Lehman dan Melthe, pada 1908-1909 silam. Ketika itu, mereka menetapkan waktu Subuh dengan kriteria matahari dalam posisi minus 19 derajat di bawah ufuk.
Celakanya, penetapan waktu Subuh oleh Lehman dan Melthe tersebut kemudian diakui pula oleh masyarakat Mesir pada masa itu. Padahal, kriteria yang dibuat oleh kedua ahli astronomi itu menyelisihi kriteria yang dipakai Kesultanan Turki Utsmaniyah, yang menetapkan jadwal shalat Subuh dengan berpatokan pada waktu terbitnya fajar shadiq.
Bahkan, penetapan waktu Subuh oleh Lehman dan Melthe juga berseberangan dengan ilmu astronomi yang mematok sudut minus 18 derajat di bawah ufuk sebagai awal munculnya hamburan cahaya di atas langit (fajar kadzib). Dalam menetapkan kriteria waktu Subuh, kata Agus, Lehman dan Melthe tidak menggunakan dalil-dalil syar’i (Alquran dan hadis) sebagai landasannya. Itu karena mereka berdua memang bukan Muslim.
“Akibatnya, waktu Subuh yang mereka tetapkan menyelisihi fajar shadiq yang semestinya terjadi ketika matahari dalam posisi sekitar minus 15 derajat di bawah ufuk,” tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (21/8/2017).
Fajar shadiq adalah sebuah cahaya yang terlihat pada waktu dini hari sebagai batas antara akhir malam dan permulaan pagi. Sementara, fajar kadzib adalah sebuah cahaya yang agak terang yang terlihat memanjang dan mengarah ke atas (secara vertikal) di tengah-tengah langit, berbentuk seperti ekor serigala.
Meskipun, fajar kadzib telah berakhir, umat Islam belum bisa melaksanakan shalat Subuh karena cahaya putih fajar shadiq belum lagi menyebar di ufuk timur. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, “Bukanlah fajar cahaya yang meninggi di ufuk, tetapi yang membentang berwarna merah (fajar putih kemerah-merahan),” (HR Ahmad, dari Qais ibn Thalq dari ayahnya).
Imam Abu Mijlaz (Lahiq ibn Humaid as-Sadusi al-Bashri, wafat pada 101 H), seorang tabiin yang meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari RA, Hasan ibn Ali RA, Muawiyah ibn Abi Sufyan RA, dan Imran ibn Hushain RA berkata, “Cahaya yang menjulang (meninggi) di langit bukanlah Subuh, melainkan itu adalah fajar kadzib. Sesungguhnya subuh itu adalah apabila ufuk menjadi terbuka (tersingkap) berwarna putih.
“Dengan demikian, tanda awal waktu shalat Subuh adalah fajar shadiq, bukan fajar kadzib, apalagi fajar yang ditetapkan Lehman dan Melthe,” kata Agus.
Sepanjang 2009-2015, Agus telah melakukan penelitian terhadap penerapan waktu Subuh di berbagai daerah di Tanah Air. Mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Hasilnya, kata dia, memang terdapat perbedaan waktu yang cukup signifikan antara jadwal shalat Subuh yang terdapat di kalender Indonesia dan datangnya fajar shadiq.
“Menurut hasil observasi dan penelitian kami, jadwal shalat Subuh yang menjadi acuan masyarakat Indonesia selama ini rata-rata lebih awal sekitar 20 menit dari kemunculan fajar shadiq,” ujar anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Malang periode 2012-2017 itu lagi. (*)
Sumber : Republka.co.id