LEBAK – Demi tetap melestarikan seni wayang golek di Tatar Sunda, Karyandi dalang muda yang sekaligus pengrajin wayang golek di Kampung Cibadak, Desa Warungbanten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, ini tetap setia menggeluti kerajinan pembuatan wayang golek meski peminatnya semakin menurun.
Karyandi, yang tengah mengamplas kepala wayang golek buatannya di Sanggar Kerajinan Wayang Golek Raksa Budaya kepada faktabanten.co.id mengatakan, semua proses pembuatan wayang golek hampir ia lakukan sendiri. Dari pembuatan pola wayang pada kayu hingga proses akhir pewarnaan.
Tampak terpampang wayang golek hasil karyanya seperti Pandawa Lima, Semar, Si Cepot dan lainnya. Kerajinan tersebut pun sudah ditekuni sejak lama. Pasang surut keberadaan kerajinan pun sudah dialaminya.
“Meski permintaan semakin hari semakin menurun, saya ingin wayang golek tetap ada,” ungkap Karyandi, Selasa (23/1/2018).
Sambil mengamplas, Karyandi mengatakan, membuat wayang golek sangat sederhana. Bahan utama yang digunakan adalah kayu jenis Jen-jen atau kayu Lawe. Lalu dihaluskan melalui hamplas, dan dibentuk sesuai dengan tokoh-tokoh pewayangan, dan diamplas lagi. Kemudian, di cat dan di pernis serta lainnya.
“Semua tokoh wayang golek pernah saya buat. Sementara hal yang sulit membuat wayang golek adalah membentuk wajah atau muka salah satu tokoh wayang golek setelah itu paling pakainnya,” ujarnya.
Ia bercerita awal mulanya ia menekuni seni wayang golek, dari mulai hobi nonton wayang golek. Kemudian, mulai tertarik untuk mencoba membuat tokoh-tokoh wayang golek sendiri, tanpa ada bantuan dari orang lain.
“Sampai saat ini saya terus menekuni seni ini, dan belum pernah tersentuh oleh pemerintah, baik daerah dan pusat,” tuturnya.
Sementara itu Kepala Desa Warungbanten Ruhandi, kepada faktabanten.co.id memaparkan, kebudayaan daerah, termasuk wayang golek merupakan aset yang penting, karena kebudayaan daerah yang menjadi ciri khas suatu daearah.
“Karena itu, saya akan terus melestarikan dan mengembangkan kesenian ini sampai kapan pun,” ujar Ruhandi.
Ia merasa bangga dengan hasil karya Karyandi, meski sampai saat ini belum tersentuh oleh pemerintah. Menjadi pengrajin kesenian merupakan sebuah kebanggan tersendiri. Apalagi kerajinan yang telah ditekuni Karyandi sudah terjual ke mana-mana.
“Biasanya Wayang Golek hasil karya, terjual di berbagai kota di luar Lebak, Meski begitu, pembeli dari orang Lebak juga ada, tapi jumlahnya sedikit,” tuturnya.
Padahal, Karyandi hanya menghargai satu wayang golek dengan harga Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu.
Ruhandi pun menuturkan, sebenarnya usaha yang digeluti oleh sanggar Raksa Budaya ada keinginan lebih dikembangkan. Namun hal itu urung dilakukan, karena terbentur dengan permodalan.
Ia mengatakan sebenarnya keberadaan pengrajin seni dan budaya di Lebak, kalau mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, akan meningkat.
“Jika ada yang mendukung, terutama dari pemerintah, kebudayaan akan senantiasa terjaga dengan baik,” imbuhnya.
Ruhandi pun menerangkan, kelangsungan potensi kebudayaan daerah di seluruh Kabupaten Lebak juga harus ditingkatkan. Yaitu dari mulai pembenahan manajemen dan inovasi. Dengan cara inilah kemungkinan taraf hidup masyarakat di sekitar sentra pengrajin kesenian dan budaya yang mempunyai modal kecil akan ikut terangkat. (*/Sandi)