Diskusi Filsafat Hukum Alumni ALT PID PII Jabar: Supremasi Hukum Indonesia di Tengah Multi Darurat

JAKARTA – Alumni Advance Leadership Training (ALT) dan Pendidikan Instruktur Dasar (PID) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat mengadakan Diskusi Filsafat Hukum Virtual dengan tajuk “Supremasi Hukum di Tengah Multidarurat” melalui Google Meeting, Minggu (8/9/2024).

Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 30 peserta dan merupakan bagian dari implementasi ilmu yang diperoleh selama kegiatan ALT dan PID PII Jabar, yang berlangsung dari 3 Agustus hingga 16 Agustus 2024.

Acara ini bertujuan untuk menjaga silaturahmi serta memperdalam pemahaman peserta mengenai isu-isu hukum di Indonesia.

Diskusi dipimpin oleh moderator Nafiatul Rahma yang merupakan Kepala Departemen Ta’lim Kaderisasi PW PII Jakarta dan yang menjadi pemateri atau pemantik pada diskusi tersebut adalah Dede Muhtadin, Ketua Umum Pengurus Daerah PII Kota Surabaya, dan Destu Rizky Syahputra, Pj. Komandan Brigade PII Lampung. Keduanya membahas tantangan utama terkait supremasi hukum di Indonesia yang dianggap mengalami kemerosotan di tengah situasi multi darurat.

Mereka mengungkapkan keprihatinan tentang bagaimana hukum di Indonesia seringkali tidak dapat diterapkan secara konsisten dan sering dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.

Dede Muhtadin menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia saat ini menghadapi krisis relevansi dan integritas.

“Hukum kita sering tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ada banyak kasus di mana hukum dimainkan oleh berbagai pihak, mengakibatkan penegakan hukum yang tidak adil dan tidak konsisten,” tuturnya.

Dede menekankan perlunya reformasi yang mendalam untuk mengembalikan supremasi hukum yang sebenarnya.

Destu Rizky Syahputra juga menambahkan bahwa situasi multi darurat yang meliputi berbagai krisis sosial, ekonomi, dan politik memperburuk masalah penegakan hukum.

“Dalam konteks multi darurat ini, hukum tidak hanya harus adaptif, tetapi juga harus mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Namun, seringkali hukum di Indonesia malah menjadi alat untuk kepentingan tertentu,” katanya.

Salah satu peserta diskusi, Ahmad, Sekretaris Umum Pengurus Wilayah PII Jakarta, mengemukakan pandangan penting tentang pendidikan hukum. Ahmad mengusulkan bahwa Indonesia sebaiknya belajar dari Prancis yang telah memasukkan konsep logical fallacy dalam kurikulum pendidikan SMA mereka.

“Pendidikan hukum di Indonesia harus lebih kritis dan praktis. Dengan mengajarkan logical fallacy sejak dini, kita bisa membentuk generasi yang lebih rasional dan memahami bagaimana hukum harus diterapkan secara adil,” ujarnya.

Pertanyaan dari peserta mengenai kurikulum pendidikan hukum di Indonesia juga menjadi fokus diskusi. Ahmad menekankan bahwa pendidikan hukum saat ini kurang mempersiapkan siswa untuk menghadapi praktik hukum yang kompleks dan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.

“Kurikulum harus mencerminkan tantangan nyata dan memberikan keterampilan yang relevan untuk berhadapan dengan dinamika hukum dan sosial saat ini,” tambahnya.

Diskusi ini diakhiri dengan pandangan terakhir dari moderator, Nafiatul Rahma yang menekankan bahwa memperbaiki supremasi hukum memerlukan keterlibatan aktif dari semua lapisan masyarakat.

“Kita perlu lebih dari sekadar reformasi hukum. Perubahan harus dimulai dari kesadaran dan partisipasi kita semua untuk memastikan hukum dijalankan dengan adil dan efektif,” tutup Rahma. (*/Red)

Comments (0)
Add Comment