*) Oleh: Emha Ainun Nadjib
“Bahasa membawa budaya!” kata orang.
Lebih dari itu. Bahasa membawa iman. Kata membawa aqidah. Kata memuat konsep dan pengertian keilahian. Umpamanya kata ummat, itu lebih dari sekadar a community. Allah, itu lebih utuh dan mutlak dibanding konsepsi yang terkandung di belakang kata Tuhan. Juga Islam, lebih sempurna dari keselamatan.
Apalagi qurban, yang selama ini ‘diterjemahkan’ menjadi korban. Ia menjadi bukan hanya berbeda, tapi bahkan bertentangan. Dan anehnya, kita bengong saja terhadapnya.
Korban itu a victim. Kata dan konsep yang mirip dengan itu dalam Bahasa Jawa, yakni tumbal. Misalnya, Jon dijadikan tumbal. Artinya, Jon dikorbankan, Jon is victimized. Konotasinya negatif, fungsinya tersia, posisinya buruk.
Sedangkan qurban itu konotasinya positif, fungsinya bermanfaat, dan posisinya baik. Nabi Ismail di-qurban-kan, lain dengan Ismail dikorbankan. Ismail bukan tumbal, bukan disia-siakan, melainkan diuji cinta kasihnya kepada Allah, diuji kepatuhannya dan tanggung jawab kemakhlukannya, serta diberi peluang untuk sungguh qarib kepada sumbernya.
Tak seorang pun mau dikorbankan. Tapi setiap Muslim mendambakan qurban dan di-qurban-kan. Sebab dengan iman yang bulat, terbukti yang tersembelih adalah leher kambing.
Hayo gimana!
Ordinat kata dan pengertian macam itu, yang terdapat dalam al-Qur’an, selama ini sering dipakai untuk nama. Misalnya Burhan, Luqman, Sultan… tapi tak ada famili kita kasih nama anaknya dengan Qurban, sebab kita merasa jangan jadi korban.
Yang berbunyi ban-ban begitu kita hanya punya Daiban, Marhaban, Kasban… [*]
Telah diterbitkan dalam: “Secangkir Kopi Jon Pakir”- Bandung: Mizan, 1992
(Sumber: Caknun.com)