*) Oleh: M Salman Ramdhani
KITA patut berbangga dengan rilis dari Global Firepower Index (GFI) yang menyebutkan bahwa kekuatan militer Indonesia berada pada posisi 14 dari 106 negara. Di Asia Tenggara militer kita nomor satu dengan meskipun secara jumlah personil aktif masih kalah dengan Vietnam. Di negara yang luas ini Indonesia hanya memiliki 870 ribu lebih tentara dibandingkan Vietnam yang sampai 5 jutaan. Meskipun begitu militer kita tetap disegani karena kemampuannya yang teruji dalam setiap operasi militer, latihan gabungan dan kejuaran internasional. Saya pun sangat respect dengan kemampuan pasukan-pasukan elitnya seperti Satuan 81 Gultor, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) dan Paskhas AU.
Kesuksesan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak dicapai dengan instant. 72 tahun kebersamaannya bersama rakyat Indonesia membentuk telah kekuatan NKRI makin tangguh. Kesatuannya dengan rakyat disadari oleh para pemangku kebijakan bidang pertahanan dengan menetapkan sistem pertahanan semesta. Sistem ini bersifat kerakyatan, kewilayahan, dan kesemestaan dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya yang dipersiapkan secara dini dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman.
Kebersamaan TNI dan rakyat dilapisi dengan jargon TNI manunggal rakyat. Karena dari masa kemerdekaan tentara sudah bersama dengan laskar-laskar perjuangan rakyat yang tersebar di seluruh wilayah tanah air berjuang mempertahankan proklamasi. TNI bahkan dipercaya lahir dari perjuangan rakyat bukan oleh kekuatan politik negara. Kucuran darah pasukan-pasukan laskar perjuangan dan TNI dalam perjuangannya dahulu kala telah jadi romantisme yang tak dapat dilupakan.
Tapi layaknya cerita roman, perseteruan atau konflik pasti akan selalu ada. Sejarah mengatakan para pasukan dan perwira pernah beberapa kali mengalami konflik. Contohnya eks Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan eks Pembela Tanah Air (PETA) pernah berseteru tentang siapa yang pantas mengisi posisi Panglima. Kelompok KNIL yang merasa lebih berkapasitas secara kompetensi ingin Urip Soemohardjo jadi Panglima, tetapi kelompok PETA tidak rela dengan alasan KNIL pernah mengabdi pada Belanda.
Meskipun kemudian pemerintah sudah menunjuk Panglima, para tentara malah menyelenggarakan Kongres pada November 1945 di Yogyakarta. Dalam Kongres yang hampir diwarnani baku tembak itu, terpilih Sudirman eks PETA dengan prestasi memukul mundur Sekutu dari Ambarawa. Disini eks KNIL kalah prestasi dan jumlah massa. Tapi meskipun Tokoh Pertempuran Ambarawa itu telah dipilih oleh Kongres sebagai Panglima, Bung Karno sempat gamang karena sikap “ngeyel” tentara dan kedekatan Sudirman dengan Tan Malaka yang notabene oposan pemerintah. Kita sendiri mungkin pernah mendengar perbedaan sikap Presiden yang ingin berunding dengan Belanda sementara Panglima yang memilih gerilya bersama pasukannya.
Paska Konferensi Meja Bundar (KMB) pemerintah harus membentuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Angkatan perang baru ini harus melalui penyatuan TNI dengan mantan KNIL, reedukasi prajurit TNI, dan pengirim calon perwira untuk mengikuti pendidikan militer di Belanda. Yang merepotkan adalah penyatuan antara TNI dan KNIL. Para pemimpin APRIS mendapatkan banyak respon negatif dari berbagai kalangan komando kesatuan. Perbedaan gagasan dan gangguan keamanan juga terjadi dimana-mana seperti gerakan perlawanan yang dimotori Kahar Muzakkar, Andi Azis, Brigade 16, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), dan sebagainya.
Berakhirnya perang saudara dan Republik Indonesia Serikat (RIS) membuat APRIS berubah nama menjadi APRI lalu TNI. Tahun 1950 Sudirman wafat, posisi Panglima diganti oleh T.B Simatupang dan Kepala Angkatan Darat oleh Nasution. Dimasa ini terjadi kembali konflik eks KNIL dan esk PETA. Simatupang dan Nasution yang lulusan pendidian KNIL menginginkan rasionalisasi pasukan TNI agar lebih profesional. Konsekuensinya jumlah pasukan eks PETA dan laskar dalam tubuh TNI akan dikurangi.
Kebijakan rasionalisasi ini ditentang keras dan ngotot oleh salah satu Panglima Divisi yaitu Bambang Supeno yang juga pencetus Sapta Marga. Dia didukung oleh Zulkifli Lubis ketua Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dan partai politik oposan pemerintah. Melihat situasi ini Nasution marah, apalagi kelompok sipil sampai ikut-ikutan mendikte dan menekan dirinya. Puncaknya 17 Oktober 1952 ada aksi demo yang diprakarsai Nasution dan tujuh panglima divisi ke DPR dan Istana dengan tuntutan pembubaran dan penggantian perlemen serta percepatan pemilu. Demo militer dan mahasiswa ini selesai dengan bentakan dari Sukarno.
Setelah peristiwa demo diatas, ketegangan pusat dan daerah terus terjadi. Isu yang diangkat terkait kebijakan Bung Karno yang mengarah otoriter, kesenjangan, korupsi, kedekatan dengan komunisme internasional, hingga masalah antar perwira dan sebagainya. Perwira eks PETA masih memiliki andil besar dalam mengorganisir kekuatan rakyat untuk terlibat aksi protes dan pembangkangan. Sejarah mencatat Letkol Ahmad Husein (Dewan Banteng), Letkol Barlian (Dewan Garuda) hingga gerakan PRRI, Letkol Ventje Sumual dan Warouw dengan gerakan Permesta yang dibantu Brigjend A.E Kawilarang eks KNIL, Kolonel Zulkifli Lubis dengan PRRI dan disinyalir juga Bom Cikini, dan lainnya.
Situasi dan kondisi sosial politik yang semakin memanas di tahun -tahun berikutnya makin meningkatkan gesekan di tubuh militer. Polarisasi yang terjadi kali ini yaitu militer loyalis Sukarno yang dekat dengan gerakan kiri nasional juga internasional dan militer anti Sukarno yang dekat dengan negara-negara Barat dan pernah dilatih disana. Kita bisa menelusuri nama-nama militer yang terlibat seperti R. Hartono, Suryadarma, Umar Dhani, Ahmad Yani, Nasution, Suharto, Yoga Sugama dan sebagainya. Konflik ini juga meruncing hingga keseluruh matra dan “meledak” paska G30S. Angkatan Darat pun sampai tega menggalang kekuatan sipil untuk melakukan pembantaian.
Perseteruan di tubuh militer juga seringkali bersahutan atau disengaja dengan meningkatnya eskalasi gerakan sipil. Tercatat bentrokan besar terjadi saat Tritura antara massa Front Pancasila yang terdiri dari KAMI dan KAPPI dengan pasukan Cakrabirawa. Kemudian setelah Suharto memegang Supersemar, Ali Murtopo perwira tinggi loyalis Suharto, dengan lihai mengorganisir gerakan bersama pentolan gerakan mahasiswa Sofyan Wanandi untuk mengenyahkan PKI dari parlemen dan melemahkan dominasi Nasution di legislatif untuk memuluskan berdirinya orde baru.
Ada lagi konflik Pangab Jenderal Soemitro dan kelompok Aspri Soeharto yaitu Ali Murtopo dan Sujono Humardani. Sumitro ditengarai ingin melemahkan dominasi Ali yang tinggi dengan “gurita” Operasi Khusus-nya (Opsus). Puncaknya terjadi peristiwa Malari; sebuah demonstrasi anti asing yang dipimpin Hariman Siregar –tokoh mahasiswa yang membelot dari Ali, saat kunjungan Perdana Menteri Jepang. Aksi yang yang berujung kerusuhan masal ini ditengarai dibumbui juga dengan keterlibatan preman dan gerakan ekstrim kanan binaan Opsus. Karena kejadian ini, Pangab Sumitro semakin terdesak dan akhirnya mengundurkan diri.
Gerakan Opsus juga bisa jadi salah satu faktor berkembangnya kolaborasi militer dengan kalangan pengusaha dan aparat sipil yang berujung KKN. Menurut investigasi TEMPO, dalam gerakannya opsus mengandalkan penyelundupan sumber daya alam Indonesia ke luar negeri dengan bantuan perusahaan ekspedisi laut. Dana awal operasionalnya di masa orde baru juga dibantu oleh Probosutejo yang juga adik seibu Suharto dengan cara “mengolah” surat garansi Bank BI. Dana lainnya juga didapatkan dari hasil-hasil judi, kolaborasi dengan Lukas sang “Godfather” Jakarta dengan Sugiyanto perwira baret merah sebagai centeng. Belum lagi dengan perusahaan-perusahaan bentukan Opsus yang dibekengi kekuatan militer yang bisa jadi secara tidak langsung membantu peningkatan pengaruh Angkatan Darat yang memang saat itu menjadi anak emas orde baru.
Di masa-masa pra dan paska reformasi ketegangan militer ditandai dengan adanya kelompok ABRI merah dan ABRI hijau. Berbagai analisa secara terbuka bermunculan, baik yang memang terbukti dengan jelas atau masih dalam wacana konspiratif; Contohnya jejaring Ali Murtopo, L.B Murdani, dan A.M Hendropriyono, penggalangan eks DI/TII dan eks PKI, atau jejaring Prabowo dan Kivlan Zein. Polarisasi wacana itu terlihat dari romantisme rakyat atas kedekatan perjuangan bersama militer dahulu kala. Memang bagi sebagian rakyat Indonesia memori dan romantika sering jadi salah satu basis analisa yang sebenarnya sulit dipertanggungjawabkan dalam tataran ilmiah.
Mungkin sulit, tapi di HUT nya yang ke 72 ini TNI harus benar-benar mampu melakukan reformasi dengan kolaborasi yang apik dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Apalagi selain soal konflik dahulu atau mungkin bahasa halusnya adalah “tradisi persaingan” yang ada di tubuh TNI, pekerjaan rumah mereka yang cukup besar adalah penggunaan kekuatan TNI dalam kejadian konflik-konflik agraria oleh kaum pemilik modal. Karena konflik internal atau kolaborasinya dengan pengusaha, jangan sampai rakyat kembali menjadi korban. (*)
*) Penulis adalah mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII)