*) Oleh : Hersubeno Arief
DALAM BEBERAPA HARI beredar sebuah iklan lowongan kerja yang cukup menarik, dan langka.
“Dicari pasangan capres-cawapres. Lowongan ini terbuka bagi seluruh warga Indonesia, lelaki dan perempuan. Syarat berusia menimal 40 tahun. Tempat pendaftaran Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Jalan Imam Bonjol No. 29, Jakarta Pusat. Waktu 4-10 Agustus 2018. Note : Hanya menerima capres yang sudah pasti mempunyai cawapres!”
Jelas iklan ini hanya bercanda. Satire bagi kandidat, maupun parpol. Sejak dibuka hari Sabtu, 4 Agustus, hingga hari ini belum ada tanda-tanda pasangan capres-cawapres yang mendaftar ke KPU.
Baik Jokowi, maupun Prabowo tampaknya masih sama-sama kebingungan untuk menentukan siapa cawapres yang akan dijadikan pasangan. Jokowi punya banyak pilihan, dan mengaku sudah mengantongi 10 kandidat, bingung siapa yang harus digandeng. Sementara Prabowo yang punya pilihan lebih sedikit, hanya empat calon, juga tak kalah pusing kepala.
Seperti makan buah simalakama. Dimakan, emak mati. Tidak dimakan, bapak yang mati. Dibuang tidak mungkin. Bila salah memilih, parpol pendukung bisa kabur. Banyak pilihan, maupun pilihan terbatas, ternyata sama-sama membingungkan.
Seiring batas waktu pendaftaran yang kian mendekat, para cawapres mulai meningkatkan tekanan. Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama diancam kabur partner koalisinya. PKB secara terbuka sudah mengancam Jokowi. Ancamannya kali ini cukup serius. Puluhan ulama NU juga sudah bertemu Ketua Umum PBNU Said Agil Siroj, agar ikut mendesak Jokowi menggandeng Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Di kubu Prabowo, yang terang-terangan mengancam adalah PKS. Tapi bukan tidak mungkin PAN juga kabur. Kedua partai itu dengan alasan berbeda, sama-sama tidak sepakat bila Prabowo memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Hengkangnya PKB memang tidak akan mengancam tiket Jokowi. Namun bila benar PKB membelot, maka Jokowi dihadapkan pada dua buah ancaman nyata.
Pertama, hilangnya suara kaum nahdliyin yang menjadi basis massa PKB. Kedua, terbentuknya Poros Ketiga, sebuah situasi yang selama ini, mati-matian dihindari oleh Jokowi dan para pendukungnya.
Exit poll Lembaga Survei Indonesia pada 2013 mendapatkan temuan data dari 249 juta penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih, sekitar 36% atau 91,2 juta di antaranya mengaku sebagai warga NU. Pada Pemilu 2014 PKB meraih 11 juta suara, atau sekitar 9.04%. Dalam beberapa survei terbaru PKB diprediksi akan menjadi partai papan atas bersama PDIP, Gerindra, dan Golkar.
Daya tawar Muhaimin tinggi
Ancaman hengkangnya PKB ini jangan hanya dilihat dari sisi Jokowi saja. Bagi kubu Prabowo hal itu bisa menjadi ancaman serius. Sudah cukup lama muncul godaan dari kubu sebelah, agar Muhaimin menyeberang. Godaan itu kian menguat, ketika Demokrat bergabung dengan Prabowo. Ada tanda-tanda kuat, bahwa Prabowo cenderung lebih mengambil AHY sebagai running mate-nya.
Prabowo sudah menyatakan membutuhkan figur muda yang bisa menjembataninya dengan generasi milineal. Hal itu itu hanya akan didapat bila dia menggandeng figur muda seperti AHY. Bukan Salim Segaf Al Jufri yang disodorkan PKS. Elit Gerindra Riza Patria menyatakan Prabowo mempertimbangkan akan mengambil cawapres dengan elektabilitas tertinggi. Lagi-lagi AHY memiliki nilai kompetitif itu.
Posisi ini menempatkan PKS dan PAN dalam posisi yang dilematis. PKS tidak punya pilihan lain, kecuali dengan terpaksa harus menerima AHY. PKS tidak mungkin bergabung dengan poros Jokowi. PAN lebih beruntung karena seperti kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, masih disediakan satu kursi terakhir.
Dengan membelotnya PKB, maka terbuka bagi PKS, dan PAN membuat poros baru. Jumlah kursi ketiganya mencukupi syarat presidential threshold. PKB (47), PAN (49), dan PKS (40). Total 136 kursi, lebih dari jumlah yang dibutuhkan sebanyak 112 kursi. Bila ini terbentuk, mereka bisa mengklaim sebagai poros keumatan. Sebab ketiga-tiganya adalah partai Islam, atau setidaknya berbasis Islam.
Siapa yang akan diusung? Posisinya cawapres jelas harus diisi oleh Muhaimin. Sesuai dengan slogannya “Siapapun capresnya, Muhaimin Iskandar cawapresnya.” Daya tawarnya yang kuat di kedua kubu membuatnya layak menempati posisi itu.
Untuk capresnya kabarnya nama yang dilirik adalah Gatot Nurmantyo. Anies Baswedan tidak mungkin dimajukan, karena dia sudah menolak “berkhianat” kepada Prabowo.
Figur Gatot dipilih karena bisa menjadi jalan tengah antara PKS dan PAN. Gatot juga selama ini namanya sudah muncul sebagai kandidat capres yang diunggulkan di berbagai lembaga survei. Satu lagi keunggulan Gatot adalah logistik. Sebuah problem yang selama ini menjadi salah satu alasan mengapa Prabowo cenderung merapat ke Demokrat.
Terbentuknya poros ketiga ini dipastikan akan menjadikan Pilpres 2019 jauh lebih menarik. Rakyat menjadi punya banyak pilihan. Bangsa Indonesia juga terhindar dari polarisasi dua kubu: Jokowi Vs Prabowo.
Poros Jokowi dan Prabowo hampir dipastikan tidak akan membiarkan itu terjadi. Jokowi akan kehilangan kantong suara nahdliyin yang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi suara keumatan. Poros Prabowo akan kehilangan basis suara keumatan yang juga sangat dibutuhkan untuk mengalahkan Jokowi.
Jokowi mungkin terpaksa harus menggandeng Muhaimin, dengan risiko ditinggal parpol pendukung yang lain. Prabowo bisa menghindari hal itu dengan memilih tidak maju. Dia bisa mengajukan figur capres-cawapres yang lain yang bisa menjadi representasi keumatan. Tapi apa Prabowo mau? (*/hersubenoarief.com)
[socialpoll id=”2513964″]