*) Oleh: Ihda Ahmad Soduwuh
SAYA MERASA memasuki Hari Raya Idul Fitri dengan kekalahan. Bukan dengan kemenangan sebagaimana iklan-iklan tayangan di televisi, radio, atau di media sosial dan koran. Ibadah selama Ramadlan entah ke mana efeknya begitu kaki melangkah menuju pusat perbelanjaan. Di pasar modern itu seringkali saya harus menahan marah atau bermuka masam hanya karena bersenggolan dan susah lewat.
Bak hidup seekor laron, lebaran sudah selesai momennya. Perayaannya luar biasa disambut ratusan juta manusia negeri ini. Mungkin keriuhan alami di hutan rimba khatulistiwa akan kalah dibanding letusan petasan dan deru mesin kendaraan. Emisi mudik dan sampah selama perjalanan menumpuk di sana-sini. Mengotori yang tadinya bersih dari kebobrokan mental manusia.
Dalam Tetes berjudul Kita Belum Berpuasa terdapat ironi “mudikers” semacam itu. Mengaku lulus di bulan puasa tapi dipuncaki pamer segala-gala saat memasuki Syawal. Bahkan reuni yang ditujukan sebatas perekat silaturahim jadi ajang fashion show, car show, carrier show, dan show-show lain. Atau mungkin di lubuk terdalam penyelenggara terdapat niat ini sedari awal? Wallahu’alam.
Definisi sukses dunia lebih diramaikan dibanding prestasi ruhani setelah tiba di kampung halaman. Memang yang wadag lebih mudah dibandingkan dibanding sesuatu yang abstrak seperti jiwa dan pola pikir. Seolah puasa hanya ada di sebulan yang lalu. Malah bisa jadi saat bulan suci itu kita tidak menghentikan kebiasaan berbohong, menyakiti orang lain, dan merusak lingkungan. Puasa hanya sekadar formalitas pada tahap lapar dan dahaga.
Berbaik sangkanya begini. Mereka yang jor-joran melepas nafsu saat jelang Hari Raya sebenarnya tengah merahasiakan amalan puasa. Mbah Nun dalam Tetes tersebut menuliskan bahwa kekhusyukan iman berikut cinta berbuah pengabdian pada Gusti Allah terletak pada wilayah rahasia dan rohaniah. Kesadaran ini agak membuat pikiran saya sedikit santai selama berkunjung dari rumah ke rumah. Tidak sibuk berburuk sangka seperti tahun-tahun sebelumnya. Alasan “toh itu urusan pribadinya” jadi dalihku untuk tak menggubris fenomena semacam itu.
Bisa dibilang simbol Islam yang digambarkan dunia kapitalis merebak hanya di hari pertama. Itu kalau di pusat kota. Sedangkan di desa-desa kostum relijiyes masih berseliweran di jalan-jalan yang belum beraspal. Warga kota menuju tempat liburan, penduduk desa masih ingin saling sowan untuk mengikhlaskan kesalahan dan pererat keakraban. Di tempat wisata akan dengan mudah temukan mereka yang ber-KTP Islam belum tentu berperilaku baik dan manfaat bagi semesta. Memarkirkan kendaraan sembari marah-marah, membuang sampah sembarangan, bahkan menyisakan makanan-minuman jadi indikator termudah.
Apakah ini bentuk sekularisme akhlak dan manfaat? Keduanya dilepaskan dari hubungan dengan agama dan entah pergi ke mana. Mental pendatang, apalagi pelancong, mengikis tanggungjawab dari wisatawan domestik itu. Jangankan karakter menahan sebagai hasil gemblengan sebulan puasa, sedangkan sisi kemanusiaan saja sudah langka ditemui. Berebut jalan, keuntungan, sampai lupa kalau fasilitas umum memang harus berbagi.
Ketika yang tidak beridentitas Islam saja saling pepet, semprot umpatan, apalagi saat pakai seragam yang dianggap simbol pendekat kepada Tuhan? Saya pernah menjumpai fenomena semacam itu di banyak tempat. Ketika agama dijadikan tak ubahnya “ scope ” di atas senapan penembak jitu. Identitas dijadikan sasaran sekaligus penakluk kemanusiaan. Kembali ke nol seperti semboyan salah satu BUMN, hanya jadi slogan juga bagi para alumni bulan Ramadlan. Sudah mengalami peningkatan ruhani sebulan penuh, eh dianjlokkan bahkan sampai minus di akhir pendakian.
Jika bukan gagal puasa, apalagi? Puluhan tahun hidup otomatis menjalani ritual ini entah berapa puluh kali. Jika masih pada tahap menahan tenggorokan tak terlewati makanan-minuman, apa bedanya dengan saat masih sekolah SD dulu? Tak heran ada yang melabelkan “bocah ngapa yak?” pada fenomena stagnansi puasa ini. Seharusnya ada peningkatan keruhanian yang tak sekadar fisik. Tapi ini malah dikesampingkan. Bahkan sebulan pembersihan lahir-batin itu dilupakan begitu saja begitu takbir berkumandang di masjid-masjid.
Sekian tahun lalu saya pernah menangis sepanjang perjalanan menuju Mocopat Syafaat. Niat ingin mengadu tentang ini kepada Mbah Nun di Kadipiro. Terjawab langsung tanpa perlu menyodorkan pertanyaan oleh narasumber di atas panggung. Bekal itulah yang membuatku tatag menjalani Hari Raya yang terus berulang ini. Mafhum bahwa ini puasa, sifatnya rahasia. Akan lucu kalau saya teriak-teriak, “Hei, saya ini puasa. Jangan bikin saya marah.” (*)
Ihda Ahmad Soduwuh
Penulis adalah Jamaah Maiyah yang berdomisili di Semarang.
(Dikutip dari: Caknun.com )